Panggung musik Sonic/Panic (Sumber gambar: Instagram musicdeclares_indonesia)

Hypereport: Suara Lantang Musisi Respons Isu Perubahan Iklim

24 December 2023   |   14:09 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Di Indonesia, ada sejumlah musisi yang konsisten menyuarakan isu-isu lingkungan lewat lagu-lagu berlirik kritis. Mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa musik punya daya gedor lebih kuat untuk ikut membentuk peradaban, alih-alih hanya digunakan sebagai media hiburan belaka.

Melalui musik, topik-topik yang tadinya terasa berat bisa dibawakan dengan lebih cair oleh para musisi. Sifatnya yang universal juga membuat musik menjadi bahasa yang lebih mudah dipahami oleh banyak orang. 

Baca juga: Hypereport: Menggugah Kesadaran Lingkungan Melalui Sapuan Kuas

Salah satu musisi yang lantang menyuarakan persoalan lingkungan di Indonesia adalah Gede Robi Supriyanto. Sudah lebih dari 20 tahun, Robi bersama band Navicula mengangkat masalah lingkungan lewat lirik dalam sejumlah lagunya.

Lagu bertajuk Bubur Kayu, menjadi salah satu yang memiliki sensitivitas yang apik. Lagu yang masuk ke dalam album Love Bomb tersebut menyoroti kerusakan lingkungan dan berbagai kelindan yang mengitari masalah kusut tersebut.

Kemudian, lagunya yang lain berjudul Orangutan juga cukup jeli dalam menyuarakan persoalan satwa yang menjadi bagian penting dari alam. Lagu tersebut menjadi simbol hutan sebagai habitat para satwa kini mulai terancam.

Robi mengatakan ketertarikannya terhadap isu lingkungan telah ada sejak kecil. Orang tuanya yang berprofesi sebagai petani membuatnya punya sensitivitas lebih terhadap hal-hal berbau alam. Sesuatu yang kemudian menginspirasinya dalam berkarya.

Di sisi lain, sejak remaja, dirinya juga aktif dalam berbagai organisasi atau pergerakan yang membawa tema lingkungan. Dari sini, kemudian dia mulai mencoba mengawinkan topik-topik yang disukainya tersebut dengan hobinya yang lain, yakni bermusik.

“Ada yang bilang kalau berkarya itu dimulai dari sesuatu yang kita sukai atau yang dekat dengan kita. Karena kami dekat dengan tema seperti ini, maka lagu-lagu yang muncul pun akhirnya enggak jauh-jauh dari hal ekologi juga,” ungkap Robi kepada Hypeabis.id.

Navicula mengusung genre grunge sebagai warna musik mereka. Namun, musik cadasnya juga kerap dibalut dengan beragam genre lain, seperti etnik, psychedelic, alternatif, dan lainnya.  Kekuatan band asal Bali ini ada pada lagu yang dibuat. Lagu mereka sarat dengan pesan dan makna, tetapi juga punya lirik puitis yang mudah membuat pendengar tergugah.

Robi kerap membayangkan lagu-lagunya hanya sebuah pintu masuk sebelum sesuatu yang lebih besar lagi diketahui. Sebuah pengantar untuk menciptakan kesadaran bersama dalam persoalan iklim.

Untuk mewujudkan itu, Robi sadar dirinya tak bisa berjalan sendiri. Menurutnya, perlu ada kolaborasi antarmusisi untuk menggaungkan masalah ini secara bersama-sama. Terlebih, dirinya juga melihat ada banyak musisi yang punya lagu dengan tema seperti ini juga.

Akhirnya pada Februari 2023, inisiasi menyatukan musisi mulai mendapatkan arah yang cerah. Dia membentuk IKLIM, yakni Indonesia Climate, Knowledge, Arts & Music Lab. Tujuannya untuk membangun gerakan kolektif musisi.

Selanjutnya, ada 13 musisi yang akhirnya sepakat untuk bergerak bersama. Tigabelas musisi tersebut adalah Endah N Rhesa, Iga Massardi, Tuantigabelas, Tony Q Rastafara, Iksan Skuter, FSTVLST, Nova Filastine, Kai Mata, Guritan Kabudul, Prabumi, Made Mawut, Rhythm Rebels, dan bandnya sendiri, Navicula.

Masing-masing musisi kemudian akan membuat satu lagu yang nantinya akan jadi sebuah album kolektif. Namun, untuk mematangkan konsep, sebelum proses kreatif membuat lagu dimulai, para musisi dibekali workshop tentang berbagai persoalan lingkungan yang terjadi.

Dalam workshop tersebut, juga turut dideklarasikan label rekaman kolektif bernama Alarm Records, sebuah label musik sadar musik lingkungan pertama di Indonesia. Album Sonic/Panic pada akhirnya di-launching dalam perhelatan berjudul IKLIM Fest yang diadakan di Monkey Forest, Ubud, Bali pada 4 November 2023.

“Dengan ini, Indonesia ikut ambil bagian dalam gerakan Music Delares yang juga digaungkan musisi dunia, seperti Thom Yorke (Radiohead), Massive Attack, Fat Boy Slim, Kevin Parker (Tame Impala), Jarvis Cocker (Pulp), Billie Eilish, dan masih banyak lagi. Indonesia jadi yang pertama di Asia,” imbuhnya.

BARASUARA
Dihubungi terpisah, personel Barasuara Iga Massardi mengatakan bergabungnya dia di IKLIM tak lain karena ada visi yang sama yang ingin dicapai. Selain itu, unsur pertemanan dengan Robi juga membuatnya percaya dengan gerakan ini.

Namun, yang pasti, jauh sebelum ini, band beraliran rock alternatif ini memang dikenal punya ketertarikan pada isu alam. Salah satunya terefleksi dari lagu bertajuk Guna Manusia yang dirilis pada 2019 lalu. Dengan pilihan lirik yang apik, lagu tersebut menceritakan tentang penurunan daratan di beberapa titik di Jakarta.

Untuk di album Sonic/Panic ini, Iga kembali menelurkan lagu berjudul Polo Nyaba. Kali ini, dia menggarap lagu ini bersama Badruz Zeman, musisi asaln Madura yang tengah naik daun.

Polo Nyaba adalah sebuah istilah dari bahasa Madura yang terdiri dari polo atau pulau dan nyaba atau napas. lagu ini terinspirasi dari Gili Iyang, sebuah daerah di pulau Sumenep yang terkenal dengan tingkat oksigennya yang baik.

Daerah tersebut juga mendapat julukan pulau oksigen. Menambah keunikannya, pulau ini juga memiliki populasi lansia berusia seratus tahun yang cukup banyak dibanding daerah lain di Indonesia. Namun, wilayah ini kini berada dalam status terancam akibat berbagai pembangunan.

Iga dan Badrus kemudian menarasikannya ke dalam lagu kisah dongeng pertarungan antara dewa Bungkas dengan raksasa jahat Bha-Bhutah. Dramaturgi yang hadir seolah menjadi refleksi tentang krisis iklim dan perenungan soal keseimbangan alam.

Tak hanya konsep yang menarik, lagu ini juga hadir secara unik karena menggunakan lirik dengan bahasa Madura. Iga mengaku punya alasan tersendiri mengapa akhirnya bahasa Madura yang dipakai.

“Saya mencoba memposisikan bahasa Madura seperti bahasa dunia saja. Setiap bahasa punya romantismenya sendiri. Kalau sekarang orang bisa menyanyikan lagu berhasa latin atau Korea, kenapa enggak dengan bahasa Madura,” ucapnya. 

Iga berharap lagunya dan sejumlah tembang lain yang hadir dari musisi Indonesia bisa punya peran penting dalam membangun gerakan bersama sadar lingkungan. Sebab, menurunya, perubaha iklim telah berjalan begitu cepat. “Jangan sampai kita benar-benar di ujung jurang baru sadar,” imbuhnya. 
 

Sementara itu, pengamat musik nasional Nuran Wibisono mengatakan musik sebagai media menyuarakan isu-isu genting memiliki sejarah panjang. Dimulai dari isu anti perang, seperti terjadi pada era 1960-an dan berlanjut hingga 2000-an ketika banyak musisi menentang perang Irak.

Dalam perkembangannya, berbagai isu lain, termasuk lingkungan juga muncul. Menurutnya, musik sebagai alat kampanye isu tertentu memang tak pernah hilang di mana pun dan dalam periode apa pun, termasuk di Indonesia. 

“Kalau sekarang terasa lebih kencang dan diangap lebih hidup dibanding tahun-tahun sebelumnya, bisa jadi karena masalah yang ada sudah membesar dan masuk fase genting,” jelasnya. 

Baca juga: Hypereport: Meramal Tren, Menangkap Peluang 2024

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Awas, 4 Dampak Psikologis FOMO Medsos pada Generasi Z

BERIKUTNYA

Hypereport: Tampil Modis dan Nyaman dalam Balutan Busana Ramah Lingkungan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: