Angka kekerasan berbasis gender di ranah online (KBGO) di Indonesia masih tinggi. (Sumber gambar: Robbin Worral/Unsplash)

8 Cara Terhindar dari Kekerasan Berbasis Gender Online

20 December 2023   |   16:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Media sosial dalam beberapa tahun terakhir diramaikan dengan  banyak informasi soal revenge porn atau pornografi balas dendam. Berawal dari utas yang ditulis oleh pihak korban, kasus tersebut pun biasanya menjadi perbincangan publik dan viral di jagat maya.

Tak sedikit kasus yang akhirnya bisa ditindaklanjuti dan berujung dengan ditangkapnya pelaku, tapi tak sedikit juga yang menempuh jalan terjal dalam mencapai keadilan. Pornografi balas dendam mengacu pada ancaman atau tindakan penyebaran konten intim nonkonsensual yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan.

Baca juga: Kasus KBGO di Indonesia Masih Tinggi, Ini Dampak Serius yang Dialami Korban

Sakit hati ditinggalkan, tidak ingin pisah, memaksa rujuk kembali, atau menginginkan sesuatu tetapi tidak dituruti, jadi beberapa alasan yang membuat pelaku mengancam atau menyebarkan konten intim milik pasangan atau mantan pasangannya.

Kendati demikian, revenge porn hanyalah satu dari beberapa bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang masih marak terjadi di Indonesia. Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet menemukan bahwa per September 2023, terdapat sebanyak 647 aduan terkait KBGO. Ancaman penyebaran konten intim non-konsensual (NCII) menjadi yang paling banyak dilaporkan dengan 236 kasus.

NCII adalah tindakan memanfaatkan konten intim atau seksual (gambar atau video) milik korban untuk mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemauannya. Sedangkan kasus kedua yang paling banyak dialami yakni sekstorsi dengan 178 kasus, dan NCII sebanyak 155 kasus.

Sekstorsi atau pemerasan seksual adalah tindakan eksploitasi seksual oleh pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan atau otoritas yang dimiliki untuk memaksakan tindakan, gambar, atau video seksual dari korban.
 

h

Perempuan menjadi kelompok yang paling rentan untuk menjadi korban KBGO. (Sumber gambar: Chris Yang/Unsplash)

Data tersebut diprediksi akan meningkat hingga akhir tahun 2023, dan melebihi aduan pada 2022. Tahun lalu, SAFEnet mencatat ada sebanyak 698 aduan terkait KBGO. Dari jumlah tersebut, NCII menjadi yang paling banyak dilaporkan dengan 375 kasus, disusul sekstorsi dengan 353 kasus, doxing (210 kasus), pencemaran nama baik (208 kasus), dan flaming (194 kasus).

Sementara itu, data dari Komnas Perempuan per Desember 2023 menemukan ada 1638 kasus terkait KBGO. Data tersebut memerinci bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik yang dilakukan oleh mantan pacar menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan dengan 534 kasus. 
 
Disusul dengan KBGO yang dilakukan oleh orang tidak dikenal di media sosial sebanyak 382 kasus, teman di media sosial (373 kasus), dilakukan oleh pacar (220 kasus), dan sisanya yakni sebanyak 20 kasus.

"Ini sebenarnya fenomena gunung es dalam artian jumlah tersebut baru yang dilaporkan ke SAFEnet atau Komnas Perempuan. Artinya masih banyak kasus yang tidak terlihat, atau tidak tahu harus mengadu ke mana, dan tidak tahu bagaimana harus bertindak," kata Volunteer SAFEnet Widayanti Arioka dalam acara webinar, Selasa (19/12/2023).

Salah satu faktor yang membuat kasus KBGO di Indonesia masih tinggi yakni masih adanya budaya seksisme dan misoginis online, serta ketidaksetaraan gender di ranah offline yang masih langgeng di masyarakat. Hal inilah yang membuat perempuan menjadi kelompok yang paling rentan untuk menjadi korban KBGO. Akan tetapi, bukan berarti penyebaran konten intim nonkonsensual tidak terjadi kepada laki-laki maupun gender non-binari lainnya

Perlindungan terhadap privasi di dunia maya menjadi kunci utama keamanan diri dari berbagai kekerasan atau kejahatan di dunia maya. Pada dasarnya, yang dimaksud dengan privasi adalah batasan atas diri atau informasi mengenai diri dari jangkauan mata publik.

Dalam ranah online, melindungi privasi berarti melindungi data pribadi, terlebih data sensitif, dari siapa pun yang bisa mengakses informasi tersebut, baik secara online maupun offline. Adapun, data pribadi meliputi nama, nomor identitas pribadi, alamat, nomor kontak, karakteristik personal, data biometrik, serta informasi properti dan aset teknologi.

"Di dunia maya, data pribadi seperti ini sangat dianjurkan untuk tidak diumbar, terutama oleh diri sendiri saat menggunakan menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, atau aplikasi percakapan seperti WhatsApp, Line, Telegram dan lainnya," kata Wida.

Mengutip dari booklet panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online yang disusun oleh SAFEnet, berikut adalah 8 tip melindungi privasi di media sosial dan aplikasi percakapan.


1. Pisahkan akun pribadi & akun publik

Tak sedikit orang yang masih mencampurkan hal pribadi dan publik dalam satu akun media sosial atau aplikasi percakapan yang sama. Agar lebih aman, kalian bisa menggunakan beberapa akun untuk memisahkan hal-hal bersifat pribadi dan hal-hal yang bisa dibagi ke publik, untuk melindungi diri di dunia maya.


2. Cek dan atur ulang pengaturan privasi

Sesuaikan pengaturan privasi dengan level kenyamanan diri dalam berbagi data pribadi, seperti nama, foto, nomor ponsel, lokasi, aplikasi yang kalian berikan akses atas akun media sosial atau aplikasi percakapan yang kalian miliki. Kendalikan sendiri siapa atau apa saja yang dapat mengakses data pribadi kalian.


3. Ciptakan password yang kuat dan aktifkan verifikasi login

Hindari peretasan akun media sosial kalian dengan menciptakan password login yang kuat (panjang dan mengandung unsur huruf, angka, dan simbol) dan aktifkan verifikasi login. Dalam beberapa platform media sosial atau aplikasi percakapan, verifikasi login disebut dengan istilah 2-Step Verification atau 2-Factor Authentication. Berlakukan juga hal ini untuk email pribadi.


4. Jangan sembarang percaya aplikasi pihak ketiga

Kalian juga harus berhati-hati dengan aplikasi pihak ketiga misalnya yang mengadakan kuis di Facebook, karena biasanya akan meminta akses akun media sosial. Aplikasi pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab bisa saja menggunakan informasi atau data pribadi yang mereka dapat dari akses tersebut secara tidak bertanggung jawab, dan bisa jadi berdampak pada kehidupan kalian baik online maupun offline.


5. Hindari berbagi lokasi pada waktu nyata 

Lokasi pada waktu nyata atau lokasi tempat seseorang sering kali lewati atau kunjungi dapat menjadi informasi yang berharga bagi orang-orang yang ingin berniat jahat, misalnya penguntit. Oleh karena itu, hindari berbagi lokasi pada waktu nyata atau real time location sharing saat menggunakan media sosial ataupun aplikasi percakapan.


6. Berhati-hati dengan URL pendek

Ada potensi bahaya ketika mengklik URL yang dipendekkan. Bila berasal dari akun yang mencurigakan, bisa saja URL tersebut mengarahkan pengguna ke situs-situs berbahaya atau jahat yang dapat mencuri data pribadi.


7. Lakukan data detoks

Tactical Tech dan Mozilla telah menyusun data detoks untuk mengecek keberadaan data diri pribadi di internet. Kalian bisa mencoba data detox agar dapat menjadi pribadi yang lebih mempunyai kendali atas data diri di ranah online dengan mengakses https://datadetox.myshadow.org.


8. Jaga kerahasiaan pin atau password 

Seringkali, pelaku kekerasan berbasis gender online dan offline adalah orang-orang terdekat. Oleh karena itu, perlu untuk memasang dan menjaga kerahasiaan pin atau password pada gawai atau perangkat elektronik pribadi lainnya, terutama yang menyimpan data-data pribadi.

Baca juga: Hari Anak Perempuan Sedunia 2022, Simak Cara Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual

Editor: Dika Irawan
 

SEBELUMNYA

Yuk Pahami Pentingnya Self Love dan 5 Cara Praktis Menerapkannya!

BERIKUTNYA

5 Tradisi Natal Unik di Dunia, Salah Satunya Ada dari Indonesia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: