Kasus KBGO di Indonesia Masih Tinggi, Ini Dampak Serius yang Dialami Korban
19 December 2023 |
20:39 WIB
Angka kekerasan berbasis gender di ranah online (KBGO) di Indonesia masih tinggi. Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet menemukan bahwa per September 2023, terdapat sebanyak 647 aduan terkait KBGO. Ancaman penyebaran konten intim non-konsensual (NCII) menjadi yang paling banyak dilaporkan dengan 236 kasus.
NCII adalah tindakan memanfaatkan konten intim atau seksual (gambar atau video) milik korban untuk mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemaunya. Sedangkan kasus kedua yang paling banyak dialami yakni sekstorsi dengan 178 kasus, dan NCII sebanyak 155 kasus.
Baca juga: Kekerasan Emosional dalam Sebuah Hubungan, Sering Terjadi Tanpa Disadari
Sekstorsi atau pemerasan seksual adalah tindakan eksploitasi seksual oleh pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan atau otoritas yang dimiliki untuk memaksakan tindakan, gambar, atau video seksual dari korban.
Data tersebut diprediksi akan meningkat hingga akhir tahun 2023, dan melebihi aduan pada 2022. Tahun lalu, SAFEnet mencatat ada sebanyak 698 aduan terkait KBGO. Dari jumlah tersebut, NCII menjadi yang paling banyak dilaporkan dengan 375 kasus, disusul sekstorsi dengan 353 kasus, doxing (210 kasus), pencemaran nama baik (208 kasus), dan flaming (194 kasus).
Sementara itu, data dari Komnas Perempuan per Desember 2023 menemukan ada 1638 kasus terkait KBGO. Data tersebut memerinci bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik yang dilakukan oleh mantan pacar menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan dengan 534 kasus.
Disusul dengan KBGO yang dilakukan oleh orang tidak dikenal di media sosial sebanyak 382 kasus, teman di media sosial (373 kasus), dilakukan oleh pacar (220 kasus), dan sisanya yakni sebanyak 20 kasus.
"Ini sebenarnya fenomena gunung es dalam artian jumlah tersebut baru yang dilaporkan ke SAFEnet atau Komnas Perempuan. Artinya masih banyak kasus yang tidak terlihat, atau tidak tahu harus mengadu ke mana, dan tidak tahu bagaimana harus bertindak," kata Volunteer SAFEnet Widayanti Arioka dalam acara webinar, Selasa (19/12/2023).
Salah satu faktor yang membuat kasus KBGO di Indonesia masih tinggi yakni masih adanya budaya seksisme dan misoginis online, serta ketidaksetaraan gender di ranah offline yang masih langgeng di masyarakat. Hal inilah yang membuat perempuan menjadi kelompok yang paling rentan untuk menjadi korban KBGO.
Pelecehan online dan kekerasan berbasis gender merugikan perempuan dengan membatasi kemampuan mereka untuk mendapatkan manfaat dari peluang yang sama secara online, yang biasanya didapatkan oleh laki-laki, seperti pekerjaan, promosi dan ekspresi diri.
Wida menjelaskan ada beberapa dampak serius yang dialami oleh korban atau penyintas KBGO mulai dari kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, hingga sensor diri. Dari segi psikologis, korban/penyintas KBGO rentan mengalami depresi, kecemasan, dan ketakutan. Bahkan, pada titik tertentu, ada beberapa korban/penyintas menyatakan pikiran bunuh diri sebagai akibat dari bahaya yang mereka hadapi.
"Ketika mendapatkan ancaman bahwa ada konten intimnya yang akan disebar, mereka akan cemas dan takut. Saat kontennya tersebar, jadi depresi bahkan ingin bunuh diri," katanya.
Sementara dari segi dampak ekonomi, para korban/penyintas KBGO rentan menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan. Pasalnya, ketika mengalami NCII, korban akan mendapatkan stigma sebagai orang yang melakukan tindakan pornografi dari lingkungan sekitarnya.
"Pun ketika mereka ke jalur hukum, akan ada dampak ekonominya karena harus membiayai berbagai hal terkait proses hukum," kata Wida.
Selain dari segi psikologis dan ekonomi, korban/penyintas KBGO juga mengalami dampak dari sisi sosial. Mereka akan menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman. Hal ini terutama berlaku untuk korban perempaun yang foto dan videonya didistribusikan tanpa persetujuan mereka, yang merasa dipermalukan dan diejek di depan umum.
Akibatnya, mobilitas mereka menjadi terbatas karena secara otomatis menarik diri dari kegiatan sosialnya. Para korban/penyintas KBGO kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas dan berpartisipasi dalam ruang online ataupun offline.
Dikarenakan takut akan menjadi korban lebih lanjut dan karena hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital, korban/penyintas KBGO pun cenderung menghapus diri dari internet yang merupakan implikasi lebih lanjut di luar sensor diri, seperti putusnya akses ke informasi, layanan elektronik, dan komunikasi sosial atau profesional.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
NCII adalah tindakan memanfaatkan konten intim atau seksual (gambar atau video) milik korban untuk mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemaunya. Sedangkan kasus kedua yang paling banyak dialami yakni sekstorsi dengan 178 kasus, dan NCII sebanyak 155 kasus.
Baca juga: Kekerasan Emosional dalam Sebuah Hubungan, Sering Terjadi Tanpa Disadari
Sekstorsi atau pemerasan seksual adalah tindakan eksploitasi seksual oleh pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan atau otoritas yang dimiliki untuk memaksakan tindakan, gambar, atau video seksual dari korban.
Data tersebut diprediksi akan meningkat hingga akhir tahun 2023, dan melebihi aduan pada 2022. Tahun lalu, SAFEnet mencatat ada sebanyak 698 aduan terkait KBGO. Dari jumlah tersebut, NCII menjadi yang paling banyak dilaporkan dengan 375 kasus, disusul sekstorsi dengan 353 kasus, doxing (210 kasus), pencemaran nama baik (208 kasus), dan flaming (194 kasus).
Sementara itu, data dari Komnas Perempuan per Desember 2023 menemukan ada 1638 kasus terkait KBGO. Data tersebut memerinci bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik yang dilakukan oleh mantan pacar menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan dengan 534 kasus.
Kasus KBGO di Indonesia masih tinggi. (Sumber gambar: Gilles Lambert/Unsplash)
Disusul dengan KBGO yang dilakukan oleh orang tidak dikenal di media sosial sebanyak 382 kasus, teman di media sosial (373 kasus), dilakukan oleh pacar (220 kasus), dan sisanya yakni sebanyak 20 kasus.
"Ini sebenarnya fenomena gunung es dalam artian jumlah tersebut baru yang dilaporkan ke SAFEnet atau Komnas Perempuan. Artinya masih banyak kasus yang tidak terlihat, atau tidak tahu harus mengadu ke mana, dan tidak tahu bagaimana harus bertindak," kata Volunteer SAFEnet Widayanti Arioka dalam acara webinar, Selasa (19/12/2023).
Salah satu faktor yang membuat kasus KBGO di Indonesia masih tinggi yakni masih adanya budaya seksisme dan misoginis online, serta ketidaksetaraan gender di ranah offline yang masih langgeng di masyarakat. Hal inilah yang membuat perempuan menjadi kelompok yang paling rentan untuk menjadi korban KBGO.
Pelecehan online dan kekerasan berbasis gender merugikan perempuan dengan membatasi kemampuan mereka untuk mendapatkan manfaat dari peluang yang sama secara online, yang biasanya didapatkan oleh laki-laki, seperti pekerjaan, promosi dan ekspresi diri.
Dampak yang Dialami Korban KBGO
Wida menjelaskan ada beberapa dampak serius yang dialami oleh korban atau penyintas KBGO mulai dari kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, hingga sensor diri. Dari segi psikologis, korban/penyintas KBGO rentan mengalami depresi, kecemasan, dan ketakutan. Bahkan, pada titik tertentu, ada beberapa korban/penyintas menyatakan pikiran bunuh diri sebagai akibat dari bahaya yang mereka hadapi."Ketika mendapatkan ancaman bahwa ada konten intimnya yang akan disebar, mereka akan cemas dan takut. Saat kontennya tersebar, jadi depresi bahkan ingin bunuh diri," katanya.
Sementara dari segi dampak ekonomi, para korban/penyintas KBGO rentan menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan. Pasalnya, ketika mengalami NCII, korban akan mendapatkan stigma sebagai orang yang melakukan tindakan pornografi dari lingkungan sekitarnya.
"Pun ketika mereka ke jalur hukum, akan ada dampak ekonominya karena harus membiayai berbagai hal terkait proses hukum," kata Wida.
Selain dari segi psikologis dan ekonomi, korban/penyintas KBGO juga mengalami dampak dari sisi sosial. Mereka akan menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman. Hal ini terutama berlaku untuk korban perempaun yang foto dan videonya didistribusikan tanpa persetujuan mereka, yang merasa dipermalukan dan diejek di depan umum.
Akibatnya, mobilitas mereka menjadi terbatas karena secara otomatis menarik diri dari kegiatan sosialnya. Para korban/penyintas KBGO kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas dan berpartisipasi dalam ruang online ataupun offline.
Dikarenakan takut akan menjadi korban lebih lanjut dan karena hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital, korban/penyintas KBGO pun cenderung menghapus diri dari internet yang merupakan implikasi lebih lanjut di luar sensor diri, seperti putusnya akses ke informasi, layanan elektronik, dan komunikasi sosial atau profesional.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.