Review The Boy and the Heron, Kisah Semi Autobiografi Berbalut Petualangan Fantasi
11 December 2023 |
22:00 WIB
Sutradara legendaris Hayao Miyazaki kembali dengan karya anyar. Terbaru, sutradara gaek asal Jepang itu berhasil menyuguhkan animasi ciamik lewat karya The Boy and The Heron yang bakal diputar serentak di bioskop pada 13 Desember 2023.
Ya, setelah Miyazaki membuat The Wind Rises (2013), dia memang hiatus selama 1 dekade, hingga menelurkan karya terbaru. Yaitu lewat film berjudul asli How Do You Live?, yang sudah tayang di Jepang pada Juli 2023, dan menjadi pembuka Toronto International Film Festival (TIFF).
Baca juga: Kisah Kembalinya Arsip Film Dokumenter Langka Pandit Nehru Visits Indonesia dari Australia ke Tanah Air
Hypeabis.id, belum lama ini juga berkesempatan menonton The Boy and the Heron di acara special screening CGV, Jakarta. Lebih dari sekadar animasi, karya ini juga seolah menjadi cara sang sineas untuk mengenang masa kecilnya yang sempat menyaksikan Perang Dunia kedua (PD II).
Berdurasi 151 menit, sedari awal penonton sudah dibuat tegang dengan bunyi sirine yang mengaum, dan mengisyaratkan trauma. Salah satu sudut kota di Jepang terbakar, yang turut meluluhlantakkan sebuah rumah sakit di mana ibu dari sang protagonis menjadi korban di dalamnya.
Sipat kuping, Mahito, tokoh utama dalam film ini mengejar ayahnya, Shoichi Maki yang lebih dulu berlari menyelamatkan sang ibu. Namun, laiknya takdir yang tak bisa ditawar, sang ibu meninggal dalam kebakaran tersebut, dan meninggalkan kesedihan mendalam di hati Mahito.
Ihwal tragedi inilah yang menjadi pembuka animasi yang didasarkan dari novel berjudul How Do You Live? karya Genzaburo Yoshino itu. Terutama mengenai benang merah buku catatan harian dari sang ibu yang diterima Mahito usai dia dan ayahnya pindah ke sebuah desa untuk menghindari perang.
Arkian, tibalah mereka di sebuah puri bersama Natsuko, yang sedang hamil, dan kelak menjadi ibu baru bagi Mahito. Namun, di tempat ini sang tokoh utama juga bertemu dengan burung bangau aneh yang mampu berbicara, dan meminta tolong untuk menyelamatkan ibunya yang ada di alam kematian.
Secara umum, visual yang dihadirkan dalam animasi ini masih menggambarkan karya-karya khas Miyazaki. Seperti lanskap pedesaan, nenek-nenek penyihir yang baik hati, atau karakter lucu yang sebelumnya muncul lewat tokoh Ponyo (2008), Totoro (1988), dan kini diwakili oleh karakter Wara Wara.
Namun, berbeda dengan animasi di atas, yang dapat dinikmati dengan mudah oleh anak-anak, The Boy and The Heron cenderung seperti dibuat untuk orang dewasa. Terutama saat Mahito terjun ke dunia fantasi dan bertemu karakter lain, seperti Kiriko, Great Uncle, Himi, dan Burung Parkit yang sontak mengubah alur cerita dengan berbagai metafora yang cukup rumit.
Memasuki tahap ini, penonton juga diajak ulang-alik melihat kelindan sejarah riwayat berbagai karakter dengan cara yang berbelit-belit. Namun, kesabaran itu terbayar lewat 'momen-momen kunci' yang menghubungkan antar berbagai fragmen dengan cara yang memesona, tentu saja dengan komposisi musik karya Joe Hisaishi yang membuat animasi ini jadi lebih emosional.
Hadapi Realitas, Alih-alih Eskapisme
Pelajaran penting dari animasi ini adalah bagaimana Miyazaki mengajak penonton untuk menghadapi realitas yang ada di depan mata, alih-alih mencari hiburan di dalam khayal atau situasi rekaan. Hal itu terejawantah saat Mahito diberi kesempatan untuk menguasai dunia fantasi, tapi lebih memilih menderita di dunia nyata.
Tak hanya itu, seperti karya-karya lain yang didasarkan dari fakta sejarah dan kehidupan pribadi seseorang, film ini pun seolah mengisahkan ingatan masa lalu sang sineas di masa kecil. Misalnya, saat Shoichi membawa modul-modul pesawat yang dibuat oleh timnya ke puri tempat mereka tinggal, untuk menghindari kerusakan.
Diketahui, ayah Miyazaki adalah direktur Miyazaki Airplane, yang memproduksi kemudi untuk pesawat tempur selama Perang Dunia II. Bahkan, menurut laman kritik film terkemuka, Roger Ebert, ibunya yang cukup banyak mempengaruhi Miyazaki meninggal, saat sang sutradara masih remaja.
Memang, jika disejajarkan, semua elemen ini ada dalam The Boy and the Heron, sangat jauh berbeda dengan kehidupan sang sineas. Mahito bukan Miyazaki, tapi kisah kehidupan sutradara berumur 82 tahun itu seolah terepresentasi dalam karakter tersebut, hingga dikenal seperti sekarang.
Baca juga: Berkenalan dengan 3 Pemeran Utama Film Bob Marley: One Love, Tayang 2024
Narasi lain yang bisa dicerap dari animasi ini adalah bahwa hidup layak dijalani dengan sebaik-baiknya, meski kenyataan pahit telah menikung harapan. Hal itu tentu saja dikemas dengan visual yang detail, alur bernuansa humor sekaligus membuat mata basah, yang tentu saja menambah daftar film terbaik dari Studio Ghibli.
Editor: Fajar Sidik
Ya, setelah Miyazaki membuat The Wind Rises (2013), dia memang hiatus selama 1 dekade, hingga menelurkan karya terbaru. Yaitu lewat film berjudul asli How Do You Live?, yang sudah tayang di Jepang pada Juli 2023, dan menjadi pembuka Toronto International Film Festival (TIFF).
Baca juga: Kisah Kembalinya Arsip Film Dokumenter Langka Pandit Nehru Visits Indonesia dari Australia ke Tanah Air
Hypeabis.id, belum lama ini juga berkesempatan menonton The Boy and the Heron di acara special screening CGV, Jakarta. Lebih dari sekadar animasi, karya ini juga seolah menjadi cara sang sineas untuk mengenang masa kecilnya yang sempat menyaksikan Perang Dunia kedua (PD II).
NEW MIYAZAKI MOVIE « THE BOY AND THE HERON » TRAILER pic.twitter.com/asChjbaQw1
— Studio Ghibli Pictures (@ghiblipicture) September 6, 2023
Berdurasi 151 menit, sedari awal penonton sudah dibuat tegang dengan bunyi sirine yang mengaum, dan mengisyaratkan trauma. Salah satu sudut kota di Jepang terbakar, yang turut meluluhlantakkan sebuah rumah sakit di mana ibu dari sang protagonis menjadi korban di dalamnya.
Sipat kuping, Mahito, tokoh utama dalam film ini mengejar ayahnya, Shoichi Maki yang lebih dulu berlari menyelamatkan sang ibu. Namun, laiknya takdir yang tak bisa ditawar, sang ibu meninggal dalam kebakaran tersebut, dan meninggalkan kesedihan mendalam di hati Mahito.
Ihwal tragedi inilah yang menjadi pembuka animasi yang didasarkan dari novel berjudul How Do You Live? karya Genzaburo Yoshino itu. Terutama mengenai benang merah buku catatan harian dari sang ibu yang diterima Mahito usai dia dan ayahnya pindah ke sebuah desa untuk menghindari perang.
Arkian, tibalah mereka di sebuah puri bersama Natsuko, yang sedang hamil, dan kelak menjadi ibu baru bagi Mahito. Namun, di tempat ini sang tokoh utama juga bertemu dengan burung bangau aneh yang mampu berbicara, dan meminta tolong untuk menyelamatkan ibunya yang ada di alam kematian.
Secara umum, visual yang dihadirkan dalam animasi ini masih menggambarkan karya-karya khas Miyazaki. Seperti lanskap pedesaan, nenek-nenek penyihir yang baik hati, atau karakter lucu yang sebelumnya muncul lewat tokoh Ponyo (2008), Totoro (1988), dan kini diwakili oleh karakter Wara Wara.
Namun, berbeda dengan animasi di atas, yang dapat dinikmati dengan mudah oleh anak-anak, The Boy and The Heron cenderung seperti dibuat untuk orang dewasa. Terutama saat Mahito terjun ke dunia fantasi dan bertemu karakter lain, seperti Kiriko, Great Uncle, Himi, dan Burung Parkit yang sontak mengubah alur cerita dengan berbagai metafora yang cukup rumit.
Memasuki tahap ini, penonton juga diajak ulang-alik melihat kelindan sejarah riwayat berbagai karakter dengan cara yang berbelit-belit. Namun, kesabaran itu terbayar lewat 'momen-momen kunci' yang menghubungkan antar berbagai fragmen dengan cara yang memesona, tentu saja dengan komposisi musik karya Joe Hisaishi yang membuat animasi ini jadi lebih emosional.
Hadapi Realitas, Alih-alih Eskapisme
Pelajaran penting dari animasi ini adalah bagaimana Miyazaki mengajak penonton untuk menghadapi realitas yang ada di depan mata, alih-alih mencari hiburan di dalam khayal atau situasi rekaan. Hal itu terejawantah saat Mahito diberi kesempatan untuk menguasai dunia fantasi, tapi lebih memilih menderita di dunia nyata.
Tak hanya itu, seperti karya-karya lain yang didasarkan dari fakta sejarah dan kehidupan pribadi seseorang, film ini pun seolah mengisahkan ingatan masa lalu sang sineas di masa kecil. Misalnya, saat Shoichi membawa modul-modul pesawat yang dibuat oleh timnya ke puri tempat mereka tinggal, untuk menghindari kerusakan.
Ilustrasi adegan film The Boy and The Heron (sumber gambar Studio Ghibli)
Memang, jika disejajarkan, semua elemen ini ada dalam The Boy and the Heron, sangat jauh berbeda dengan kehidupan sang sineas. Mahito bukan Miyazaki, tapi kisah kehidupan sutradara berumur 82 tahun itu seolah terepresentasi dalam karakter tersebut, hingga dikenal seperti sekarang.
Baca juga: Berkenalan dengan 3 Pemeran Utama Film Bob Marley: One Love, Tayang 2024
Narasi lain yang bisa dicerap dari animasi ini adalah bahwa hidup layak dijalani dengan sebaik-baiknya, meski kenyataan pahit telah menikung harapan. Hal itu tentu saja dikemas dengan visual yang detail, alur bernuansa humor sekaligus membuat mata basah, yang tentu saja menambah daftar film terbaik dari Studio Ghibli.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.