Wawancara Eksklusif Nadiah Bamadhaj: Minat Eksplorasi Dinamika Sosial Masyarakat Indonesia
17 November 2023 |
18:00 WIB
Bagi para pencinta seni, barangkali nama Nadiah Bamadhaj sudah tidak asing lagi di telinga. Perupa asal Malaysia yang kini berbasis di Indonesia itu dikenal berkat gambar kolase dari teknik tertentu yang dikembangkannya selama bertahun-tahun.
Namun, seiring berjalannya waktu, Nadiah memperluas praktik berkeseniannya hingga ke ranah pating, video, lukisan, dan instalasi. Karya-karyanya telah dikoleksi oleh sejumlah institusi seni, termasuk di antaranya National Gallery of Victoria di Australia, National Visual Arts Gallery di Malaysia, hingga Museum Macan di Jakarta.
Melihat karya-karyanya, Nadiah pada dasarnya adalah orang yang sangat peduli terhadap kemanusiaan. Fokus kekaryaannya kerap kali bersinggungan dengan komunitas atau sejarah yang terpinggirkan, serta topik sosial-politik yang sedang terjadi di daerah tempat tinggalnya.
Baca juga: Wawancara Eksklusif Amin Taasha: Seniman Afghanistan yang Memilih Tinggal & Berkarya di Indonesia
Gagasan keseniannya memang sering terkait erat dengan gagasan tempat. Dalam dekade terakhir, praktiknya dimotivasi oleh minat pribadi yang kuat terhadap peristiwa politik dan fenomena sosial yang membentuk dan memengaruhi identitas serta pandangannya.
Saat ini, salah satu karya terbarunya dipacak dalam pameran Voice Against Reason di Museum MACAN, Jakarta berlangsung pada 18 November 2023 sampai 14 April 2024, Menampilkan instalasi video bertajuk Perpetuity, sang seniman merefleksikan gambaran kekuasaan dan pengaruhnya terhadap dinamika sosial yang ada di masyarakat.
Lewat pencitraan tradisi laku dodok, Nadiah mencoba mengkritisi hal-hal yang menjadi kegelisahannya terhadap dinamika tersebut.
Ditemui Hypeabis.id secara khusus, Nadiah Bamadhaj bercerita mengenai karya terbarunya serta gagasan berkeseniannya yang kerap berkelindan dengan isu sosial. Berikut petikan obrolannya:
Karya-karya yang Anda buat kerap bersentuhan dengan dinamika sosial. Ketertarikan itu dimulai dari mana?
Sebenarnya, ketertarikan itu telah ada sejak saya lulus kuliah, lalu bekerja dengan NGO yang bergerak di bidang persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Saya bekerja dengan NGO tersebut selama tujuh tahun dan setelah itu, saya buat keputusan untuk berkarya.
Karya-karya saya kerap mengambil referensi dari semua pekerjaan saya ketika masih bekerja di NGO tersebut. Jadi, isu-isu sosial politik sudah muncul sejak karya-karya pertama saya pada 2000-an.
Karya terbaru Anda yang dipamerkan di Voice Against Reason berkaitan dengan tradisi Laku Dodok. Mengapa? Dan apa yang menjadi pemantiknya?
Saya tertarik bukan hanya dengan laku itu saja. Saya melihat laku tersebut mengandung sebuah metafora menarik. Ya, pada dasarnya kita tinggal di suatu negara yang basisnya adalah republik. Kita sebagai orang Indonesia juga bangga dengan kemerdekaan yang telah diraih dan cara kita mendapatkan kemerdekaan itu.
Akan tetapi, sekarang ini saya tinggal di suatu provinsi yang bisa dikatakan sebuah kerajaan. Hal itu adalah ironi bagi saya. Sebuah kontradiktif. Sebab, saya tinggal di suatu kerajaan di sebuah negara republik yang menganut demokrasi.
Masalahnya, di provinsi itu, kami jadi tidak menggunakan demokrasi yang kita miliki sebagai sebuah negara republik. Karena, provinsi yang saya tingali itu adalah suatu kerajaan.
Hal ini kemudian berpengaruh pada banyak hal, mulai dari permasalahan lingkungan, alam, HAM, gender, dan segala macam masalah lain. Laku dodok bagi saya adalah semacam kepatuhan, menunduk, yang terus menerus terjadi. Kita tidak bisa naik atau turun lagi.
Mengapa kegelisahan itu muncul?
Hal itu pada akhirnya menimbulkan beberapa masalah. Di provinsi lain, struktur politiknya dipilih berdasarkan pilihan rakyat. Ada sebuah sistem meritokrasi yang terjadi, yakni orang bisa memilih pemimpinnya berdasarkan pendidikan, pendekatannya terhadap rakyat, dan yang mengerti masalah rakyat.
Namun, di provinsi yang saya tinggali itu, pemimpin terpilih berdasarkan kelahiran dan darah. Jadi, tidak ada struktur politik di provinsi itu yang memberi rakyat hak untuk memilih siapa pemimpinnya.
Hal besar yang terjadi juga saat ini saya melakukan self censorship. Saya berbicara dengan Anda tanpa mengatakan itu provinsi mana. Saya menyensor diri saya sendiri.
Balik lagi, ini mengarah ke banyak hal, ke persoalan ekspresi politis, alam, gender, sampah, lingkungan, dan ekspresi lain yang semua terbatas. Hal yang jika dibandingkan dengan negara Indonesia yang penuh demokrasi sekarang, tentu sudah jauh berbeda dibanding era Orde Baru.
Butuh berapa lama untuk meriset karya tentang hal tersebut?
Saya dilahirkan di Malaysia, lalu, saya pergi ke provinsi tersebut untuk membuat penelitian pada awalnya. Lalu, bertemu suami dan sampai hidup di sana. Ya, (riset) itu berlangsung selama 21 tahun saya tinggal di provinsi tersebut.
Saya tertarik pada tempat ini karena banyak seniman. Saya juga seorang seniman dan mau ikut dalam arus itu. Akan tetapi, setelah makin lama tinggal di sana, saya sadar bahwa wilayah yang reputasinya penuh dengan seniman yang berekspresi kuat, lama-lama saya sadar seniman di sana lumayan apolitis. Saya rasa karena masalah ini.
Terkait dengan medium, kali ini lebih memilih menggunakan instalasi video. Apa yang menjadi pertimbangannya?
Saya pernah berkarya tentang hal ini dalam bentuk-bentuk lain. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir saya memiliki peluang untuk berekspresi dalam bentuk video karena ada funding, juga support. Jadi, saya mengambil keputusan berekspresi dalam medium ini karena memang ada kesempatan.
Saya rasa untuk kali ini, medium video juga bisa makin menebalkan gagasan di baliknya.
Bagaimana proses di balik pembuatan karya ini?
Saya syuting pada awalnya untuk membuat 20 video. Akan tetapi, saya memperhitungkan space dan ketersediaan screen. Akhirnya, yang tersaji hanya 12 screen. Ini terkait anggaran space saja.
Di sisi lain, saya juga belum pernah membuat instalasi video yang menggunakan ruang seperti ini. Biasanya instalasi video paling maksimal 3 channel atau 1 channel/projector. Ini kali pertama membuat instalasi video dengan bentuk bulatan dan itu punya makna sendiri.
Dari segi proses berkreasi, apa yang biasanya Anda lakukan sebelum memulai berkarya?
Saya banyak bergulat dengan ide sebelum berkarya. Untuk karya ini, lebih kurang satu tahun. Hanya memikirkan ide saja. Bagi saya, pikiran itu suatu evolusi. Pada awalnya hanya ide, lalu lebih kental, makin lama makin clear kepada diri saya sendiri. idenya apa, ekspresinya apa, dan uangnya akan datang dari mana
Terakhir, apakah ada proyek mendatang yang ingin Anda bagikan kepada kami?
Saya ingin teruskan saja apa yang sudah dimulai. Selalu meneruskan dengan ide menjadi sebuah karya. Saya berkarya bukan hanya video, tetapi juga drawing, kolase, dan patung. Terdekat, saya akan mengikuti Pameran Asia Pacific Triennial tahun depan.
Baca juga: Wawancara Khusus Fair Director Art Jakarta 2023 Tom Tandio: Pasar Seni Rupa Sekarang Digerakkan Anak Muda
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Namun, seiring berjalannya waktu, Nadiah memperluas praktik berkeseniannya hingga ke ranah pating, video, lukisan, dan instalasi. Karya-karyanya telah dikoleksi oleh sejumlah institusi seni, termasuk di antaranya National Gallery of Victoria di Australia, National Visual Arts Gallery di Malaysia, hingga Museum Macan di Jakarta.
Melihat karya-karyanya, Nadiah pada dasarnya adalah orang yang sangat peduli terhadap kemanusiaan. Fokus kekaryaannya kerap kali bersinggungan dengan komunitas atau sejarah yang terpinggirkan, serta topik sosial-politik yang sedang terjadi di daerah tempat tinggalnya.
Baca juga: Wawancara Eksklusif Amin Taasha: Seniman Afghanistan yang Memilih Tinggal & Berkarya di Indonesia
Gagasan keseniannya memang sering terkait erat dengan gagasan tempat. Dalam dekade terakhir, praktiknya dimotivasi oleh minat pribadi yang kuat terhadap peristiwa politik dan fenomena sosial yang membentuk dan memengaruhi identitas serta pandangannya.
Saat ini, salah satu karya terbarunya dipacak dalam pameran Voice Against Reason di Museum MACAN, Jakarta berlangsung pada 18 November 2023 sampai 14 April 2024, Menampilkan instalasi video bertajuk Perpetuity, sang seniman merefleksikan gambaran kekuasaan dan pengaruhnya terhadap dinamika sosial yang ada di masyarakat.
Lewat pencitraan tradisi laku dodok, Nadiah mencoba mengkritisi hal-hal yang menjadi kegelisahannya terhadap dinamika tersebut.
Ditemui Hypeabis.id secara khusus, Nadiah Bamadhaj bercerita mengenai karya terbarunya serta gagasan berkeseniannya yang kerap berkelindan dengan isu sosial. Berikut petikan obrolannya:
Karya-karya yang Anda buat kerap bersentuhan dengan dinamika sosial. Ketertarikan itu dimulai dari mana?
Sebenarnya, ketertarikan itu telah ada sejak saya lulus kuliah, lalu bekerja dengan NGO yang bergerak di bidang persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Saya bekerja dengan NGO tersebut selama tujuh tahun dan setelah itu, saya buat keputusan untuk berkarya.
Karya-karya saya kerap mengambil referensi dari semua pekerjaan saya ketika masih bekerja di NGO tersebut. Jadi, isu-isu sosial politik sudah muncul sejak karya-karya pertama saya pada 2000-an.
Karya terbaru Anda yang dipamerkan di Voice Against Reason berkaitan dengan tradisi Laku Dodok. Mengapa? Dan apa yang menjadi pemantiknya?
Saya tertarik bukan hanya dengan laku itu saja. Saya melihat laku tersebut mengandung sebuah metafora menarik. Ya, pada dasarnya kita tinggal di suatu negara yang basisnya adalah republik. Kita sebagai orang Indonesia juga bangga dengan kemerdekaan yang telah diraih dan cara kita mendapatkan kemerdekaan itu.
Akan tetapi, sekarang ini saya tinggal di suatu provinsi yang bisa dikatakan sebuah kerajaan. Hal itu adalah ironi bagi saya. Sebuah kontradiktif. Sebab, saya tinggal di suatu kerajaan di sebuah negara republik yang menganut demokrasi.
Masalahnya, di provinsi itu, kami jadi tidak menggunakan demokrasi yang kita miliki sebagai sebuah negara republik. Karena, provinsi yang saya tingali itu adalah suatu kerajaan.
Hal ini kemudian berpengaruh pada banyak hal, mulai dari permasalahan lingkungan, alam, HAM, gender, dan segala macam masalah lain. Laku dodok bagi saya adalah semacam kepatuhan, menunduk, yang terus menerus terjadi. Kita tidak bisa naik atau turun lagi.
Karya Perpetuity dari Nadiah Bamadhaj (Abdurachman/Bisnis Indonesia)
Mengapa kegelisahan itu muncul?
Hal itu pada akhirnya menimbulkan beberapa masalah. Di provinsi lain, struktur politiknya dipilih berdasarkan pilihan rakyat. Ada sebuah sistem meritokrasi yang terjadi, yakni orang bisa memilih pemimpinnya berdasarkan pendidikan, pendekatannya terhadap rakyat, dan yang mengerti masalah rakyat.
Namun, di provinsi yang saya tinggali itu, pemimpin terpilih berdasarkan kelahiran dan darah. Jadi, tidak ada struktur politik di provinsi itu yang memberi rakyat hak untuk memilih siapa pemimpinnya.
Hal besar yang terjadi juga saat ini saya melakukan self censorship. Saya berbicara dengan Anda tanpa mengatakan itu provinsi mana. Saya menyensor diri saya sendiri.
Balik lagi, ini mengarah ke banyak hal, ke persoalan ekspresi politis, alam, gender, sampah, lingkungan, dan ekspresi lain yang semua terbatas. Hal yang jika dibandingkan dengan negara Indonesia yang penuh demokrasi sekarang, tentu sudah jauh berbeda dibanding era Orde Baru.
Butuh berapa lama untuk meriset karya tentang hal tersebut?
Saya dilahirkan di Malaysia, lalu, saya pergi ke provinsi tersebut untuk membuat penelitian pada awalnya. Lalu, bertemu suami dan sampai hidup di sana. Ya, (riset) itu berlangsung selama 21 tahun saya tinggal di provinsi tersebut.
Saya tertarik pada tempat ini karena banyak seniman. Saya juga seorang seniman dan mau ikut dalam arus itu. Akan tetapi, setelah makin lama tinggal di sana, saya sadar bahwa wilayah yang reputasinya penuh dengan seniman yang berekspresi kuat, lama-lama saya sadar seniman di sana lumayan apolitis. Saya rasa karena masalah ini.
Terkait dengan medium, kali ini lebih memilih menggunakan instalasi video. Apa yang menjadi pertimbangannya?
Saya pernah berkarya tentang hal ini dalam bentuk-bentuk lain. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir saya memiliki peluang untuk berekspresi dalam bentuk video karena ada funding, juga support. Jadi, saya mengambil keputusan berekspresi dalam medium ini karena memang ada kesempatan.
Saya rasa untuk kali ini, medium video juga bisa makin menebalkan gagasan di baliknya.
Bagaimana proses di balik pembuatan karya ini?
Saya syuting pada awalnya untuk membuat 20 video. Akan tetapi, saya memperhitungkan space dan ketersediaan screen. Akhirnya, yang tersaji hanya 12 screen. Ini terkait anggaran space saja.
Di sisi lain, saya juga belum pernah membuat instalasi video yang menggunakan ruang seperti ini. Biasanya instalasi video paling maksimal 3 channel atau 1 channel/projector. Ini kali pertama membuat instalasi video dengan bentuk bulatan dan itu punya makna sendiri.
Karya Perpetuity dari Nadiah Bamadhaj (Abdurachman/Bisnis Indonesia)
Saya banyak bergulat dengan ide sebelum berkarya. Untuk karya ini, lebih kurang satu tahun. Hanya memikirkan ide saja. Bagi saya, pikiran itu suatu evolusi. Pada awalnya hanya ide, lalu lebih kental, makin lama makin clear kepada diri saya sendiri. idenya apa, ekspresinya apa, dan uangnya akan datang dari mana
Terakhir, apakah ada proyek mendatang yang ingin Anda bagikan kepada kami?
Saya ingin teruskan saja apa yang sudah dimulai. Selalu meneruskan dengan ide menjadi sebuah karya. Saya berkarya bukan hanya video, tetapi juga drawing, kolase, dan patung. Terdekat, saya akan mengikuti Pameran Asia Pacific Triennial tahun depan.
Baca juga: Wawancara Khusus Fair Director Art Jakarta 2023 Tom Tandio: Pasar Seni Rupa Sekarang Digerakkan Anak Muda
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.