Ilustrasi toxic parenting (Sumber gambar: August de Richelieu/Pexels)

Awas Perangkap Toxic Parenting, Begini Cara Memutusnya?

15 October 2023   |   15:29 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Dalam memulai sebuah keluarga, perangkap toxic parenting mungkin menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang, utamanya bagi mereka yang memiliki trauma masa kecil yang berkaitan dengan pola pengasuhan orang tuanya dahulu.

Sebab, toxic parenting memang bisa muncul menyerupai pola atau siklus berantai yang seharusnya segera diputus agar tidak menularkannya kembali ke generasi berikutnya.

Baca juga: Tren Organic Parenting, Gaya Pengasuhan Ramah Lingkungan yang Populer di Skandinavia

Psikolog Anak dan Keluarga, Samanta Elsener mengatakan bahwa terminologi toxic parenting ini mengacu pada keluarga disfungsional apabila dikaitkan bahasa psikologi. Trauma dari masa lalu bisa memengaruhi tindakan, pikiran, dan emosional anak hingga dewasa dan menciptakan ketakutan.

Buruknya, kondisi itu bisa terus terjadi seperti ombak yang menggulung dan menciptakan rantai panjang toxic parenting antargenerasi. Adapun terminologi toxic dalam dunia parenting kini makin lebar dan bergeser.

Dalam keluarga menengah ke atas, Samanta menjelaskan definisi toxic kini dikaitkan dengan tuntutan untuk harus sempurna yang justru membuat hubungan suami istri dan dinamika keluarga tidak sehat karena terus memancing konflik.
 
Untuk menyelesaikan masalah itu, Samanta berpendapatan semuanya harus diakhiri dari generasi sekarang juga. Tidak perlu menyalahkan atau berupaya mengubah orang tua yang toxic, sebab upaya mengubahnya saja bahkan sudah terjebak dalam kondisi yang toxic.

“Menyadarkan orang tua itu lebih sulit, dibanding dengan kitanya saja yang berproses,” jelasnya. Dia menambahkan bahwa generasi masa kini juga harus memahami bagaimana pola parenting yang menyebar di zaman dahulu.

Menurut Samanta, pola pengasuhan dahulu lebih banyak mengajarkan bagaimana mengasuh anak dengan disiplin yang keras, sehingga ilmu tentang pengasuhan anak yang ketat banyak diadaptasi oleh orang tua sesuai dengan zamannya.

Sementara saat ini, orang tua lebih mengadaptasi pengajaran terbuka, disiplin positif, dan konsep gentle parenting. Untuk memutus rantai toxic parenting, seseorang yang memiliki trauma pada masa lalu bisa melakukan proses konseling dan terapi dengan psikolog.

Selama proses konseling, psikolog akan membimbing pasien untuk merefleksikan kembali kejadian buruk apa yang terjadi di masa lampau. Kemudian psikolog akan membantu cara mengeluarkan emosinya ke arah yang lebih tepat.

Pada akhirnya trauma yang dirasakan bisa menurun dan pasien bisa melihat sendiri bagaimana pola yang dihadapinya dan merespons trigger tersebut dengan cara yang lebih baik. Jadi, ingatan dan emosi ini tidak mempengaruhi perilaku-perilaku saat memulai keluarga baru.

Melansir platform parenting, Safes, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam memutus rantai toxic parenting ini. Pertama, mengenali dan mengakui bahwa sebuah perilaku menyebabkan ‘racun’ bagi diri sendiri atau orang lain.

Kemudian, seseorang bisa menetapkan batasan yang sehat dengan otonomi anak serta menghormati privasi anak. Ketiga, melatih komunikasi terbuka dan medengarkan pendapat anak secara aktif.

Baca juga: Lebih Fleksibel & Permisif, Apa Dampak dari Pola Asuh Jellyfish Parenting?

Setelahnya, orang tua dan anak bisa berdiskusi mengenai solusi dari masalah dan pemicu yang berkaitan dengan emosional. Apabila cara-cara tersebut belum membuahkan solusi, orang tua bisa meminta bantuan dari profesional.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Simak Pedoman Utama Dalam Parenting Agar Siap Menjadi Orang Tua

BERIKUTNYA

Hypereport: Joget Dangdut Makin Asyik Berkat Merebaknya Lirik Berbahasa Daerah

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: