Tren Eco-fashion, Melestarikan Wastra Nusantara yang Ramah Lingkungan
11 October 2023 |
10:00 WIB
Eco-fashion menjadi tren mode yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir. Kondisi ini tidak terlepas dari kontribusi industri fast fashion yang dianggap bertanggung jawab terhadap sekitar 10 persen dari total emisi karbon di dunia, bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi 50 persen pada 2030.
Selain emisi, International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2017 memperkirakan 35 persen mikroplastik di lautan berasal dari proses pencucian serat sintetis termasuk poliester. Mikroplastik ini dapat menyusup ke dalam rantai makanan sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan.
Baca juga: Mengenal Cottagecore Fashion, Gaya Busana ala Pedesaan yang Modis dan Estetis
Sadar akan bahaya ini, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) menilai eco-fashion atau fesyen ramah lingkungan penting untuk diterapkan mereka yang bekerja di industri mode. Eco-fashion merupakan produk dari merek atau lini mode yang berusaha meminimalkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan konsumen maupun kondisi kerja para pembuat pakaian.
Beberapa wujud eco-fashion yakni menggunakan kapas organik, kain yang tahan lama dan dapat didaur ulang, pewarna nabati, serta upah yang adil bagi produsen juga pemasok. Kepala Sekretariat Interim LTKL Ristika Putri Istanti, menyebut kain berbahan dasar alam menjadi salah satu solusi untuk mengurai penggunaan berbahan kimia.
Hal ini telah coba dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Masyarakat di daerah tersebut memproduksi kain Gambo Muba yang memanfaatkan getah gambir sebagai pewarna alami kain. Selain Gambo Muba, ada juga Kain Tenun Ikat dari Sintang yang merupakan warisan asli suku Dayak.
Ristika menyampaikan proses pembuatan kain domulai dari menanam kapas, ngaos atau memintal benang, memberikan warna pada benang dengan mencelupkannya, mengikat motif, hingga menenun dengan alat tenun yang terbuat dari kayu dan bambu alias gedokan.
Adapun, proses pewarnaan kain tenun ikat dilakukan menggunakan pewarna alam dari berbagai tumbuhan hutan. Mulai dari akar-akaran, semak, pohon, dedaunan, buah, umbi maupun batang pohon.
“Mulai dari daun dan batang semak (Glochidion littorale), jengkol, daun dan buah kemunting, akar mengkudu, kunyit, manggis merupakan bahan pewarna alami dari bumi hutan Indonesia,” katanya dikutip Hypeabis.id dari siaran pers.
Ristika menilai produk lokal seperti Gambo Muba tidak hanya jadi salah satu eco-fashion terbaik asli Indonesia, tapi sekaligus menjadi jawaban atas masalah limbah dari pewarna kimia di industri tekstil. Selain itu, sentuhan dari generasi muda pada produk unggulan kabupaten ini membuat bisnis ekonomi lestari bisa mudah dikolaborasikan.
Untuk mendukung eco-fashion, dia mengajak masyarakat terus menggelorakan tren berkain. Cara ini juga dianggap efektif untuk mengajak publik memakai kain Nusantara lebih luas lagi.
Ristika menyebut berdasarkan survei Mckinsey, 28 persen generasi Z saat ini mulai mencoba beralih ke produk dan merek yang berkesadaran, serta berdampak positif pada lingkungan juga sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda memiliki peran dalam mendorong semangat mendukung produk lokal.
Generasi muda, menurutnya, dapat mengambil peran fasilitator, pendamping atau penggerak, pelaku bisnis, maupun hanya sebagai pembeli saja.
Sementara itu, Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi Gita Syahrani, berharap semakin banyak pelaku usaha fesyen Indonesia yang mengadopsi tren dan membuka peluang investasi serta pendanaan lestari untuk memberi dampak nyata terhadap industri fesyen dan lingkungan sekitar.
Baca juga: K-washing, Fanbase K-Pop Bersatu Memprotes Komitmen Iklim dari Brand Fashion Tersohor
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Selain emisi, International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2017 memperkirakan 35 persen mikroplastik di lautan berasal dari proses pencucian serat sintetis termasuk poliester. Mikroplastik ini dapat menyusup ke dalam rantai makanan sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan.
Baca juga: Mengenal Cottagecore Fashion, Gaya Busana ala Pedesaan yang Modis dan Estetis
Sadar akan bahaya ini, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) menilai eco-fashion atau fesyen ramah lingkungan penting untuk diterapkan mereka yang bekerja di industri mode. Eco-fashion merupakan produk dari merek atau lini mode yang berusaha meminimalkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan konsumen maupun kondisi kerja para pembuat pakaian.
Beberapa wujud eco-fashion yakni menggunakan kapas organik, kain yang tahan lama dan dapat didaur ulang, pewarna nabati, serta upah yang adil bagi produsen juga pemasok. Kepala Sekretariat Interim LTKL Ristika Putri Istanti, menyebut kain berbahan dasar alam menjadi salah satu solusi untuk mengurai penggunaan berbahan kimia.
Hal ini telah coba dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Masyarakat di daerah tersebut memproduksi kain Gambo Muba yang memanfaatkan getah gambir sebagai pewarna alami kain. Selain Gambo Muba, ada juga Kain Tenun Ikat dari Sintang yang merupakan warisan asli suku Dayak.
Tenun Ikat Dayak/Sintang (Sumber gambar: Warisan Budaya Tak Benda Indonesia)
Adapun, proses pewarnaan kain tenun ikat dilakukan menggunakan pewarna alam dari berbagai tumbuhan hutan. Mulai dari akar-akaran, semak, pohon, dedaunan, buah, umbi maupun batang pohon.
“Mulai dari daun dan batang semak (Glochidion littorale), jengkol, daun dan buah kemunting, akar mengkudu, kunyit, manggis merupakan bahan pewarna alami dari bumi hutan Indonesia,” katanya dikutip Hypeabis.id dari siaran pers.
Ristika menilai produk lokal seperti Gambo Muba tidak hanya jadi salah satu eco-fashion terbaik asli Indonesia, tapi sekaligus menjadi jawaban atas masalah limbah dari pewarna kimia di industri tekstil. Selain itu, sentuhan dari generasi muda pada produk unggulan kabupaten ini membuat bisnis ekonomi lestari bisa mudah dikolaborasikan.
Untuk mendukung eco-fashion, dia mengajak masyarakat terus menggelorakan tren berkain. Cara ini juga dianggap efektif untuk mengajak publik memakai kain Nusantara lebih luas lagi.
Ristika menyebut berdasarkan survei Mckinsey, 28 persen generasi Z saat ini mulai mencoba beralih ke produk dan merek yang berkesadaran, serta berdampak positif pada lingkungan juga sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda memiliki peran dalam mendorong semangat mendukung produk lokal.
Generasi muda, menurutnya, dapat mengambil peran fasilitator, pendamping atau penggerak, pelaku bisnis, maupun hanya sebagai pembeli saja.
Sementara itu, Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi Gita Syahrani, berharap semakin banyak pelaku usaha fesyen Indonesia yang mengadopsi tren dan membuka peluang investasi serta pendanaan lestari untuk memberi dampak nyata terhadap industri fesyen dan lingkungan sekitar.
Baca juga: K-washing, Fanbase K-Pop Bersatu Memprotes Komitmen Iklim dari Brand Fashion Tersohor
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.