Ilutsrasi batik (Sumber gambar: Unsplash/wafieq akmal)

Melihat Potensi Batik di Pasar Ekspor Mancanegara

02 October 2023   |   12:11 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Dahulu, batik masih kerap dianggap sebagai pakaian yang kuno dan identik dengan orang tua. Namun, salah satu wastra Indonesia itu terus bertransformasi. Tanpa mengurangi nilai dan filosofi yang terkandung, batik kini bisa dibilang lebih melebur ke selera fesyen semua umur, utamanya anak muda.

Sejalan dengan itu, potensi Warisan Budaya Tak Benda yang diakui UNESCO sejak 2009 tersebut pun makin digali. Tak hanya fokus pada pangsa pasar lokal saja, kini kain batik punya pijakan yang cukup kuat untuk melebarkan sayapnya ke berbagai negara.

Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Reni Yanita mengatakan potensi Indonesia mengembangkan ekonomi batik masih sangat besar. Sebab, batik tidak hanya memiliki keunikan dari motifnya saja.

Baca juga: Dihargai Sampai Ratusan Juta, Inilah Deretan Batik Termahal di Indonesia

Dari warna, corak, hingga pembuatannya, semuanya penuh dengan filosofi. Di setiap lembar kainnya ada tradisi, keahlian khusus, sejarah, yang nilainya tak terhitung oleh angka.

Reni mengatakan nilai ekspor batik dan produk batik sepanjang 2021 mencapai angka US$ 49,63 juta, meningkat sebesar 24,8 persen dibanding pada 2020. Nilai ekspor batik pada Januari 2022-Juni 2022 juga mengalami peningkatan sebesar 51 persen dibanding periode yang sama pada 2021.

“Potensi sudah banyak. Tinggal kita menaikkan demand. Kalau dari Kementerian Perindustrian masih menyiapkan dari sisi supply-nya, bagaimana pengrajin mampu mempunyai daya saing dari produk yang dihasilkan,” ujar Reni.

Batik (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

Batik (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Untuk menjamin daya saing tersebut, pihaknya kini juga terus membuat sentra-sentra di berbagai daerah untuk mengelola UMKM. Beberapa kebutuhan yang disuntikkan melalui sentra tersebut ialah bahan baku, keberlanjutan, dan teknologi.

Walaupun sudah cukup membantu, ada masalah lain yang muncul. Saat ini permasalahan yang cukup jadi tantangan ialah regenerasi pengrajin batik. Beberapa pengrajin yang ada saat ini sudah berusia lanjut.

Dirinya pun berharap ke depan regenerasi ini bisa terus terwujud di berbagai daerah sentra batik. Untuk mewujudkannya, Kemenperin juga bekerja sama dengan Kemendikbud melalui sekolah-sekolah untuk mengenalkan tradisi membatik. Harapannya, akan muncul bibit-bibit baru.

Selain itu, anak-anak sekolah juga bisa makin mengenal wastra Indonesia sehingga mereka bisa tumbuh dan lebih mencintai batik. Bukan hanya mencintai saja, melainkan juga mewarisi keterampilan sehingga ada regenerasi. “Ini memang jadi tantangan tersendiri,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan berdasarkan penelusuran Harmonized System Code (HS Code) ekspor batik untuk kemeja pria dan baju wanita (dress, red) secara total nilai ekspornya pada 2021 mencapai US$ 916.225 atau setara Rp13,6 miliar dengan masing-masing ekspor sebesar US$ 268,147 dan US$ 648,018.

Jika ditotal dengan produk turunan batik lainnya, kemungkinan angkanya bisa 10 kali lipat atau sekitar US$ 19 juta. Melihat angka tersebut, potensi mewujudkan ekonomi batik sebenarnya sangat besar.

Oleh karena itu, pemerintah mesti gerak cepat untuk menyiapkan strategi demi terwujudnya ekonomi batik. Setelah industri batik dihajar pandemi selama dua tahun, tahun ini seharusnya jadi momentum kebangkitan para pelaku ekonomi batik.

Namun, di tengah upaya kebangkitan, industri batik punya dua pekerjaan rumah yang cukup besar. Pertama, ada regenerasi pengrajin batik usia muda, untuk batik tradisional atau batik tulis ini makin sedikit setiap tahunnya.

Pemerintah mesti berkonsentrasi lebih serius sehingga pengrajin batik tulis tidak punah. Selain itu, hasil produk batik tulis juga lebih menjanjikan dibanding dengan batik cap. Sebab, batik tulis memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan banyak diminati pasar luar negeri.

Bhima menjelaskan masalah kedua ialah persoalan impor. Impor batik cetak dari China dengan harga yang sangat murah bisa mengurangi daya saing pemain lokal. Menurut dia, perlu ada aturan dan pengawasan ketat mengenai hal tersebut.

Di sisi lain, masalah baju impor bekas juga harus terus diawasi. Meski sudah dilarang, faktanya impor baju bekas masih marak dan itu juga memakan pangsa pasar baju batik.

Baca juga: Dari Parang hingga Tujuh Rupa, Yuk Kenalan dengan 5 Jenis Motif Batik Ini

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Perayaan Hari Batik Nasional, Regenerasi Perajin Batik Jadi Sorotan

BERIKUTNYA

Cek Daftar Lengkap Promo Makanan & Minuman HUT Bank Mandiri ke-25 Khusus 2 Oktober

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: