Eksklusif Profil Sejarawan Peter Carey: Waktunya Peduli & Merayakan Sejarah
25 September 2023 |
22:00 WIB
Suara sejarawan Peter Carey terdengar antusias tiap kali membicarakan sejarah Indonesia, utamanya soal Jawa dan Pangeran Diponegoro. Meski sesekali dia mesti mengernyitkan dahinya, berupaya mengingat detail-detail kecil, tetapi ajaibnya potongan cerita yang tadinya hilang itu muncul lagi. Ceritanya pun kembali mengalir.
Di usianya yang menginjak 75 tahun, perawakan profesor gaek asal Inggris itu masih tampak bugar. Langkahnya tegap, walau memang rambutnya tak bisa menyembunyikan usianya. Kendati demikian, antusiasmenya terhadap sejarah Indonesia tak benar-benar ikut jadi sepuh.
Siang itu, Hypeabis.id menemui Peter Carey, Indonesianis yang dengan ketekunannya telah ikut membentangkan benang merah sejarah di Nusantara. Konsistensinya mengungkap cerita peradaban bangsa tak terbantahkan, seiring dengan berbagai karya agung yang diterbitkan dari penelitian panjangnya.
Pria kelahiran Yangon, Myanmar pada 30 April 1948 itu sudah menyukai sejarah sejak kecil. Dia lantas menekuni bidang tersebut, yang mengantarkannya pada petualangan menyusuri peradaban masa lampau, tak terkecuali di Bumi Ibu Pertiwi, khususnya wilayah Jawa.
Baca juga: Cerita Ragam Pusaka Pangeran Diponegoro di Museum Nasional Indonesia
Dia meraih gelar Ph.D pada 1976 dengan disertasi tentang Pangeran Diponegoro serta Perang Jawa. Setelahnya, ada banyak karya yang lahir, termasuk dua jilid Arsip Yogyakarta (1980, 2000), Inggris di Jawa 1811-1816, Sebuah Kisah Jawa (1992), dan Babad Dipanagara: Sejarah Asal Usul Perang Jawa (1825-1830) (1981).
Salah satu karya monumentalnya, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855, diluncurkan pada 2007. Lalu, diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855 pada 2011.
Baginya, peradaban masa lalu Indonesia adalah kekayaan yang tiada ternilai. Sejarah adalah penuntun untuk melihat jati diri nenek moyang, tali pengikat antargenerasi, sekaligus peta jalan mengarungi masa depan yang lebih cerah.
Profesor Fellow Emeritus di Trinity College, Oxford itu membicarakannya dengan antusias meski belakangan ada hal-hal yang cukup mengusik pikirannya. Sebab, museum, yang punya peran penting sebagai penghubung sejarah dengan masa kini sedang dalam kondisi tak terlalu baik di Indonesia.
Sebuah preseden buruk terjadi belum lama ini. Kobaran api menjalar dari belakang Gedung A Museum Nasional Indonesia, menggerayangi 817 koleksi di enam ruangan museum pada Sabtu (16/9/2023). Si jago merah itu memang telah padam, tapi baranya terus bersalin rupa mempertanyakan keseriusan pemangku kepentingan dalam merawat sejarahnya sendiri.
Kepada Hypeabis.id, sejarawan bernama lengkap Peter Brian Ramsay Carey itu bercerita mengenai upaya untuk tidak memunggungi sejarah dan merayakan perjalanan peradaban bangsa secara lebih layak. Berikut kutipan wawancaranya.
Ketika mendengar kabar Museum Nasional terbakar, apa hal yang terlintas pertama kali?
Ketika itu terjadi, saya hanya berpikir an accident waiting to happen. Apa yang terjadi sekarang sebenarnya telah diwanti-wanti sejak dahulu. Sebab, dalam waktu yang tak terlalu lama, ada rentetan kejadian yang telah bermunculan.
Ketika pandemi Covid-19 lalu, ada kebakaran kecil juga yang terjadi di Museum Nasional. Sebelumnya lagi, pada Januari 2018, gedung C di Museum Bahari juga habis terbakar. Hal ini mengakibatkan persiapan peringatan Perang di Laut Jawa batal dan hancur. Pada 2013, terjadi pencurian di Museum Nasional.
Tentu saja, rentetan kejadian tersebut mencerminkan situasi yang tidak baik-baik saja. Bahwa isu budaya dan museum yang dikelola Kemendikbudristek, dan juga museum lokal lain, tampaknya belum dianggap begitu penting di mata pemangku kepentingan. Kalau itu dihargai dan dipedulikan, tidak mungkin situasi serupa terluang. Ini adalah suatu alarm yang telah berdering.
Padahal, Indonesia saat ini telah berkembang menjadi negara maju. Negeri ini telah jauh berbeda dari 1949, misalnya. Indonesia sudah masuk ke dalam anggota G20. Museum sudah selayaknya dihargai dan dijunjung tinggi. Saya rasa perlu ada sistem yang lebih ketat untuk mengelolanya.
Betapa pentingnya artefak, manuskrip, hingga arsip bersejarah Indonesia bagi generasi saat ini dan mendatang?
Benda bersejarah seperti artefak, arsip, manuskrip, dan sebagainya, adalah DNA Bangsa Indonesia. Itu semua ikut memberikan sumbangsih terbentuknya identitas nasional dan cita rasa budaya masyarakat Indonesia. Kehilangannya seperti kehilangan mahkota.
Menurut saya, jika suatu bangsa tidak memiliki catatan atau benda masa lalu, maka tidak ada yang benar-benar tahu soal sejarah bangsa tersebut. Ada potensi sejarah akan terselip karena disisipi kepalsuan lantaran tak ada bukti yang masih tersisa.
Pada akhirnya, tidak ada yang mengenal masa lalunya. Sebuah bangsa juga tak punya pedoman dan kompas untuk melihat ke depan. Manusia-manusianya akan kehilangan arah karena tidak bisa lagi menjawab tiga pertanyaan paling mendasar: siapa diri saya, dari mana, dan mau ke mana.
Jika menengok ke belakang, para diktator seperti Hitler hingga Stalin memusnahkan kekayaan budaya negara yang dijajahnya untuk menghancurkan bangsa tersebut. Mereka selalu menjauhkan kehidupan masyarakat dengan leluhurnya.
Apakah preseden buruk ini akan punya efek di dunia internasional, termasuk memengaruhi Belanda yang sedang dalam proses mengembalikan benda-benda bersejarah Indonesia?
Kalau Belanda, saya kira ada dua reaksi. Pertama, dari orang konservatif atau orang kanan yang masih punya jiwa kolonialis. Mereka akan lantang mengatakan bahwa negara ini memang tidak bisa mengelola, mempertahankan,dan merawat aset yang sedang dikembalikan oleh Belanda. Jadi, mereka akan mendorong untuk memberhentikan proses pengembalian tersebut.
Kelompok itu ada. Sudah bergeliat di media sosial, tetapi saya rasa itu bukan mayoritas. Secara umum, banyak yang beranggapan bahwa masalah yang terjadi sekarang bukan lagi jadi kepentingan Belanda. Sebab, saat ini sudah bukan zaman kolonial.
Indonesia sudah puluhan tahun merdeka. Saya rasa proses pengembalian akan terus mengalir dan mereka akan beranggapan semuanya kini terserah bagi Indonesia: apakah akan terbakar atau tetap terawat baik. Atau juga bisa sebenarnya ikut menolong dengan menyediakan bantuan agar ada sistem yang lebih upgrade di sini.
Sebagai sejarawan, bagaimana Anda melihat kondisi museum di Indonesia, apa yang paling mengancam?
Yang paling mengancam sekarang adalah dari cara mengelola dan mempertahankan aset yang ada. Kalau melihat museum dari kacamata besar, termasuk perpustakaan negara, kondisinya kurang baik. Di dalam Perpustakaan Nasional, ada koleksi dari koran dalam bahasa Belanda ketika masih zaman pendudukan.
Saya menemukan benda itu ditumbuhi jamur. Padahal, koleksi seperti ini tunggal. Hanya Perpustakaan Nasional di Indonesia yang punya aset begitu majemuk. Sayangnya, mereka tidak dirawat. Menurut dugaan saya, mungkin 15 tahun sampai 20 tahun koleksi itu akan rusak total.
Tidak hanya itu, saya juga sudah melihat salinan pertama Babad Diponegoro dalam huruf pegon mengalami hal serupa. Kini, ia sudah tidak bisa terbaca lagi. Sebab, tinta yang mengandung besi sudah memakan kertas.
Bagaimana dengan upaya inventarisasi dan digitalisasi yang ada sekarang?
Jika benda-benda tersebut tak diperhatikan, dipertahankan, didigitalisasi, dan disimpan dalam suhu atau tempat lebih baik, semuanya tak akan bertahan lebih lama lagi. Ketika usia Anda 40 tahun, benda itu bisa sudah tak ada lagi.
Oh ya, dalam peristiwa Museum Nasional kemarin, ada pernyataan yang aneh. Tidak layak bahwa pejabat dari Museum Nasional bilang kita sedang melacak barang sekarang dengan inventaris. Padahal, inventaris adalah hal yang super penting dan harus dilakukan detail.
Inventarisasi tidak hanya nomor, nama, deskripsi, atau asal usul benda. Akan tetapi, juga lokasi setiap benda sedetail mungkin, dari gedung, lantai, ruangan, bahkan urutan nomor rak jika berada di dalam sebuah lemari.
Anda pernah mengatakan benda bersejarah mesti tersedia untuk akar rumput dan dirayakan, dimulai dari mana upaya mewujudkannya?
Ya, dirayakan! Sebab, ada banyak orang yang punya ekonomi terbatas. Mereka tidak bisa pergi berfoya-foya. Mungkin paling-paling, kalau tinggal di Rangkas Bitung, mereka bisa naik KRL lalu menuju stasiun Kota [Jakarta]. Di sana, mereka bisa pergi ke museum Fatahilah atau pelataran untuk piknik dengan keluarga dan anak.
Aset sejarah sudah selayaknya tidak hanya jadi benda mati. Aset sejarah juga bisa bersalin rupa ke dalam bentuk kreatif, baik itu pagelaran, tari, tontonan dan sebagainya. Yang mana itu bisa menghibur penonton, termasuk anak-anak, tetapi tetap ada sisi edukatifnya yang sesuai dengan sejarah aslinya.
Ini akan memperkaya experience ketika melihat sejarah juga. Jadi, aset sejarah hanyalah hulu. Ke bawahnya, yakni hilirnya bisa berubah jadi berbagai bentuk pop culture lain.
Kita bisa mengangkat kisah-kisah heroik dari aset bersejarah atau tokoh tertentu yang akan menjadi modal fondasi cerita ke dalam bentuk pop culture lain. Misalnya, sosok Kyai Gentayu, salah satu kuda milik Pangeran Diponegoro yang pernah diangkat jadi sebuah tontonan yang menarik beberapa waktu lalu, tetapi isi ceritanya tetap berlandaskan pada sejarah.
Dan itu potensinya belum tergali secara maksimal?
Bagi saya aset sejarah itu begitu berbobot dan lebih penting dari emas. Apalagi sejarah Indonesia, itu terasa lebih spesial. Saya rasa Indonesia punya tugas untuk berkontribusi pada sejarah dunia dalam hal kemajemukan.
Kita [bangsa Indonesia] punya sejarah yang unik dan berbeda dari bangsa lain. Jika dikelola dengan baik, kita bisa mengorbitkan hal tersebut dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan daya tarik kebudayaan yang kuat.
Seumpama dipedulikan, seperti Babad Diponegoro yang kini telah diakui sebagai Warisan Budaya oleh UNESCO, tentunya bakal jadi kekayaan tak ternilai. Begitu pula dengan aset sejarah lain. Kita bisa memproduksi itu, mengekspornya, seperti yang dilakukan pada La Galigo, sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan, yang kini mendunia.
Baca juga: Eksklusif Arsitek Cosmas D Gozali: Anomali Sistem Pengamanan Museum & Galeri di Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Di usianya yang menginjak 75 tahun, perawakan profesor gaek asal Inggris itu masih tampak bugar. Langkahnya tegap, walau memang rambutnya tak bisa menyembunyikan usianya. Kendati demikian, antusiasmenya terhadap sejarah Indonesia tak benar-benar ikut jadi sepuh.
Siang itu, Hypeabis.id menemui Peter Carey, Indonesianis yang dengan ketekunannya telah ikut membentangkan benang merah sejarah di Nusantara. Konsistensinya mengungkap cerita peradaban bangsa tak terbantahkan, seiring dengan berbagai karya agung yang diterbitkan dari penelitian panjangnya.
Pria kelahiran Yangon, Myanmar pada 30 April 1948 itu sudah menyukai sejarah sejak kecil. Dia lantas menekuni bidang tersebut, yang mengantarkannya pada petualangan menyusuri peradaban masa lampau, tak terkecuali di Bumi Ibu Pertiwi, khususnya wilayah Jawa.
Baca juga: Cerita Ragam Pusaka Pangeran Diponegoro di Museum Nasional Indonesia
Dia meraih gelar Ph.D pada 1976 dengan disertasi tentang Pangeran Diponegoro serta Perang Jawa. Setelahnya, ada banyak karya yang lahir, termasuk dua jilid Arsip Yogyakarta (1980, 2000), Inggris di Jawa 1811-1816, Sebuah Kisah Jawa (1992), dan Babad Dipanagara: Sejarah Asal Usul Perang Jawa (1825-1830) (1981).
Salah satu karya monumentalnya, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855, diluncurkan pada 2007. Lalu, diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855 pada 2011.
(Sumber: dok pribadi Peter Carey)
Profesor Fellow Emeritus di Trinity College, Oxford itu membicarakannya dengan antusias meski belakangan ada hal-hal yang cukup mengusik pikirannya. Sebab, museum, yang punya peran penting sebagai penghubung sejarah dengan masa kini sedang dalam kondisi tak terlalu baik di Indonesia.
Sebuah preseden buruk terjadi belum lama ini. Kobaran api menjalar dari belakang Gedung A Museum Nasional Indonesia, menggerayangi 817 koleksi di enam ruangan museum pada Sabtu (16/9/2023). Si jago merah itu memang telah padam, tapi baranya terus bersalin rupa mempertanyakan keseriusan pemangku kepentingan dalam merawat sejarahnya sendiri.
Kepada Hypeabis.id, sejarawan bernama lengkap Peter Brian Ramsay Carey itu bercerita mengenai upaya untuk tidak memunggungi sejarah dan merayakan perjalanan peradaban bangsa secara lebih layak. Berikut kutipan wawancaranya.
Ketika mendengar kabar Museum Nasional terbakar, apa hal yang terlintas pertama kali?
Ketika itu terjadi, saya hanya berpikir an accident waiting to happen. Apa yang terjadi sekarang sebenarnya telah diwanti-wanti sejak dahulu. Sebab, dalam waktu yang tak terlalu lama, ada rentetan kejadian yang telah bermunculan.
Ketika pandemi Covid-19 lalu, ada kebakaran kecil juga yang terjadi di Museum Nasional. Sebelumnya lagi, pada Januari 2018, gedung C di Museum Bahari juga habis terbakar. Hal ini mengakibatkan persiapan peringatan Perang di Laut Jawa batal dan hancur. Pada 2013, terjadi pencurian di Museum Nasional.
Tentu saja, rentetan kejadian tersebut mencerminkan situasi yang tidak baik-baik saja. Bahwa isu budaya dan museum yang dikelola Kemendikbudristek, dan juga museum lokal lain, tampaknya belum dianggap begitu penting di mata pemangku kepentingan. Kalau itu dihargai dan dipedulikan, tidak mungkin situasi serupa terluang. Ini adalah suatu alarm yang telah berdering.
Padahal, Indonesia saat ini telah berkembang menjadi negara maju. Negeri ini telah jauh berbeda dari 1949, misalnya. Indonesia sudah masuk ke dalam anggota G20. Museum sudah selayaknya dihargai dan dijunjung tinggi. Saya rasa perlu ada sistem yang lebih ketat untuk mengelolanya.
Betapa pentingnya artefak, manuskrip, hingga arsip bersejarah Indonesia bagi generasi saat ini dan mendatang?
Benda bersejarah seperti artefak, arsip, manuskrip, dan sebagainya, adalah DNA Bangsa Indonesia. Itu semua ikut memberikan sumbangsih terbentuknya identitas nasional dan cita rasa budaya masyarakat Indonesia. Kehilangannya seperti kehilangan mahkota.
Menurut saya, jika suatu bangsa tidak memiliki catatan atau benda masa lalu, maka tidak ada yang benar-benar tahu soal sejarah bangsa tersebut. Ada potensi sejarah akan terselip karena disisipi kepalsuan lantaran tak ada bukti yang masih tersisa.
Pada akhirnya, tidak ada yang mengenal masa lalunya. Sebuah bangsa juga tak punya pedoman dan kompas untuk melihat ke depan. Manusia-manusianya akan kehilangan arah karena tidak bisa lagi menjawab tiga pertanyaan paling mendasar: siapa diri saya, dari mana, dan mau ke mana.
Jika menengok ke belakang, para diktator seperti Hitler hingga Stalin memusnahkan kekayaan budaya negara yang dijajahnya untuk menghancurkan bangsa tersebut. Mereka selalu menjauhkan kehidupan masyarakat dengan leluhurnya.
Apakah preseden buruk ini akan punya efek di dunia internasional, termasuk memengaruhi Belanda yang sedang dalam proses mengembalikan benda-benda bersejarah Indonesia?
Kalau Belanda, saya kira ada dua reaksi. Pertama, dari orang konservatif atau orang kanan yang masih punya jiwa kolonialis. Mereka akan lantang mengatakan bahwa negara ini memang tidak bisa mengelola, mempertahankan,dan merawat aset yang sedang dikembalikan oleh Belanda. Jadi, mereka akan mendorong untuk memberhentikan proses pengembalian tersebut.
Kelompok itu ada. Sudah bergeliat di media sosial, tetapi saya rasa itu bukan mayoritas. Secara umum, banyak yang beranggapan bahwa masalah yang terjadi sekarang bukan lagi jadi kepentingan Belanda. Sebab, saat ini sudah bukan zaman kolonial.
Indonesia sudah puluhan tahun merdeka. Saya rasa proses pengembalian akan terus mengalir dan mereka akan beranggapan semuanya kini terserah bagi Indonesia: apakah akan terbakar atau tetap terawat baik. Atau juga bisa sebenarnya ikut menolong dengan menyediakan bantuan agar ada sistem yang lebih upgrade di sini.
(Sumber: dok pribadi Peter Carey)
Yang paling mengancam sekarang adalah dari cara mengelola dan mempertahankan aset yang ada. Kalau melihat museum dari kacamata besar, termasuk perpustakaan negara, kondisinya kurang baik. Di dalam Perpustakaan Nasional, ada koleksi dari koran dalam bahasa Belanda ketika masih zaman pendudukan.
Saya menemukan benda itu ditumbuhi jamur. Padahal, koleksi seperti ini tunggal. Hanya Perpustakaan Nasional di Indonesia yang punya aset begitu majemuk. Sayangnya, mereka tidak dirawat. Menurut dugaan saya, mungkin 15 tahun sampai 20 tahun koleksi itu akan rusak total.
Tidak hanya itu, saya juga sudah melihat salinan pertama Babad Diponegoro dalam huruf pegon mengalami hal serupa. Kini, ia sudah tidak bisa terbaca lagi. Sebab, tinta yang mengandung besi sudah memakan kertas.
Bagaimana dengan upaya inventarisasi dan digitalisasi yang ada sekarang?
Jika benda-benda tersebut tak diperhatikan, dipertahankan, didigitalisasi, dan disimpan dalam suhu atau tempat lebih baik, semuanya tak akan bertahan lebih lama lagi. Ketika usia Anda 40 tahun, benda itu bisa sudah tak ada lagi.
Oh ya, dalam peristiwa Museum Nasional kemarin, ada pernyataan yang aneh. Tidak layak bahwa pejabat dari Museum Nasional bilang kita sedang melacak barang sekarang dengan inventaris. Padahal, inventaris adalah hal yang super penting dan harus dilakukan detail.
Inventarisasi tidak hanya nomor, nama, deskripsi, atau asal usul benda. Akan tetapi, juga lokasi setiap benda sedetail mungkin, dari gedung, lantai, ruangan, bahkan urutan nomor rak jika berada di dalam sebuah lemari.
Anda pernah mengatakan benda bersejarah mesti tersedia untuk akar rumput dan dirayakan, dimulai dari mana upaya mewujudkannya?
Ya, dirayakan! Sebab, ada banyak orang yang punya ekonomi terbatas. Mereka tidak bisa pergi berfoya-foya. Mungkin paling-paling, kalau tinggal di Rangkas Bitung, mereka bisa naik KRL lalu menuju stasiun Kota [Jakarta]. Di sana, mereka bisa pergi ke museum Fatahilah atau pelataran untuk piknik dengan keluarga dan anak.
Aset sejarah sudah selayaknya tidak hanya jadi benda mati. Aset sejarah juga bisa bersalin rupa ke dalam bentuk kreatif, baik itu pagelaran, tari, tontonan dan sebagainya. Yang mana itu bisa menghibur penonton, termasuk anak-anak, tetapi tetap ada sisi edukatifnya yang sesuai dengan sejarah aslinya.
Ini akan memperkaya experience ketika melihat sejarah juga. Jadi, aset sejarah hanyalah hulu. Ke bawahnya, yakni hilirnya bisa berubah jadi berbagai bentuk pop culture lain.
Kita bisa mengangkat kisah-kisah heroik dari aset bersejarah atau tokoh tertentu yang akan menjadi modal fondasi cerita ke dalam bentuk pop culture lain. Misalnya, sosok Kyai Gentayu, salah satu kuda milik Pangeran Diponegoro yang pernah diangkat jadi sebuah tontonan yang menarik beberapa waktu lalu, tetapi isi ceritanya tetap berlandaskan pada sejarah.
Dan itu potensinya belum tergali secara maksimal?
Bagi saya aset sejarah itu begitu berbobot dan lebih penting dari emas. Apalagi sejarah Indonesia, itu terasa lebih spesial. Saya rasa Indonesia punya tugas untuk berkontribusi pada sejarah dunia dalam hal kemajemukan.
Kita [bangsa Indonesia] punya sejarah yang unik dan berbeda dari bangsa lain. Jika dikelola dengan baik, kita bisa mengorbitkan hal tersebut dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan daya tarik kebudayaan yang kuat.
Seumpama dipedulikan, seperti Babad Diponegoro yang kini telah diakui sebagai Warisan Budaya oleh UNESCO, tentunya bakal jadi kekayaan tak ternilai. Begitu pula dengan aset sejarah lain. Kita bisa memproduksi itu, mengekspornya, seperti yang dilakukan pada La Galigo, sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan, yang kini mendunia.
Baca juga: Eksklusif Arsitek Cosmas D Gozali: Anomali Sistem Pengamanan Museum & Galeri di Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.