Museum Nasional Indonesia (Sumber foto: Wikimedia Commons/Yudirahmat12)

Cerita Ragam Pusaka Pangeran Diponegoro di Museum Nasional Indonesia

18 September 2023   |   20:00 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Dari 190.000-an koleksi yang ada di Museum Nasional Indonesia, pusaka milik Pangeran Diponegoro memiliki cerita tersendiri. Sebab, beberapa koleksi tersebut pulang kampung ke Indonesia melewati proses repatriasi, setelah seabad lebih mendekam di Belanda. 

Salah satu koleksi yang menyita atensi publik adalah tongkat pusaka Pangeran Diponegoro, berjuluk Kiai Tjokro. Tongkat berbentuk setengah lingkaran atau cakra itu dikembalikan oleh keluarga Baud di Belanda, setelah disimpan selama lebih dari ratusan tahun. 

Tongkat tersebut pernah ditunjukkan ke publik dalam pameran Aku Diponegoro di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dari 5 Februari hingga 8 Maret 2015. 

Baca juga: Begini Nasib Koleksi Pusaka Pangeran Diponegoro di Museum Nasional Usai Insiden Kebakaran

Dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia pada 2015, sejarawan asal Inggris Peter B. R. Carey mengungkapkan muasal pusaka itu sampai ke Indonesia. Carey adalah tokoh penting yang berperan dalam pengembalian pusaka tersebut.

Saat meneliti jubah Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah, dia mendapat pesan surel dari keluarga keturunan Baud, yang pernah menjabat sebagai gubernur jenderal pada 1834. Keluarga itu memberitahukan bahwa mereka menyimpan tongkat Kanjeng Kiai Tjokro. 

“Mereka menghubungi saya setelah mengetahui tentang penerbitan buku saya yang membahas tentang Diponegoro,” katanya dikutip dari koran Bisnis Indonesia edisi Sabtu, 21 Februari 2015. 

Dari penuturan Carey, awalnya mereka tidak bersedia untuk mengembalikan tongkat itu. Mereka berencana menjadikannya sebagai kepemilikan eksklusif Pemerintah Belanda. Dalam hal ini, pusaka itu cuma sebagai pinjaman dari pemerintah Belanda untuk pameran. 

“Namun, setelah melalui serangkaian upaya lobi yang intensif, dengan bantuan kolega saya di Belanda, mereka akhirnya setuju untuk mengembalikannya kepada pemerintah Indonesia. Pada pembukaan pameran Kamis, 5 Februari [2015], perwakilan keluarga Baud, Michiel Baud secara resmi menyerahkan tongkat tersebut kepada pemerintah.”

Meski dimiliki Diponegoro, nyatanya tongkat itu tidak dirancang khusus untuknya. Carey mengungkapkan bahwa tongkat itu justru milik kerajaan Demak dan diberikan kepada seorang pribumi pada 1815. 

Akan tetapi, dalam kepercayaan banyak masyarakat Jawa, terdapat kisah tentang hubungan khusus antara Diponegoro dan tongkat tersebut. Tongkat ini tidak pernah meninggalkan Diponegoro selama perjalanannya di sekitar Pulau Jawa sebelum terjadinya Perang Diponegoro yang berlangsung dari 1825 hingga 1830.

Secara fisik, tongkat ini memiliki ujung berbentuk cakra disebut Erucakra, terbuat dari kuningan. Dalam konteks sejarah Hindu di Jawa, cakra adalah lambang Dewa Wisnu yang juga dikenal sebagai Ratu Adil. 
 

TEs

Tombak Kiai Tjokro, Pelana Kuda, Tombak Kiai Rondhan (Sumber foto: Bisnis.com/Museum Nasional)

Menurut Carey, Diponegoro sering digambarkan sebagai perwujudan Ratu Adil oleh masyarakat Jawa. Ketika Diponegoro lahir, eyang buyutnya, Hamengkubuwono I, telah meramalkan bahwa dia akan menjadi sosok berpengaruh pada masa mendatang. 

“Saat itu, Sultan HB I memberi pesan kepada permaisurinya, Ratu Ageng, yang merawat Diponegoro di Tegalrejo, untuk merawat RM Ontowirjo dengan baik. Sultan HB I juga mengatakan bahwa Diponegoro akan menyebabkan kerusakan lebih besar bagi pihak Belanda daripada yang telah terjadi.”

Dalam pameran itu, dihadirkan pula tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda milik sang Pangeran. Tidak seperti tongkat Kiai Tjokro. Kedua pusaka itu pulang ke Indonesia lebih awal, yaitu pada 1978.  

Soal tombak tersebut, Carey menuturkan bahwa benda ini hilang dari tangan empunya ketika mengalami penyergapan licik oleh Mayor AV Michiel di daerah Kedu pada 1829. Saat itu, sambungnya, Diponegoro menjatuhkan diri ke semak-semak sambil meninggalkan tombak dan kuda tunggangannya. Hilangnya tombak ini bisa dikatakan sebagai awal dari kekalahan Diponegoro. 

Konon, mitos yang berkaitan dengan tombak ini adalah bahwa jika senjata tajam tersebut dipegang oleh Diponegoro, maka akan memberikan petunjuk arah untuk menentukan keberadaan musuh, sehingga dia dan pasukannya dapat menghindar.

Soal pelana kuda, aksesori ini melekat pada kuda Diponegoro bernama Kiai Gentayu. Diponegoro memang memiliki beberapa tunggangan kuda, yang dianggapnya sebagai pusaka hidup. Salah satu yang spesial adalah Kiai Gentayu. 

Mengutip catatan Museum Nasional, Pada 11 November 1829, Mayor A.V. Michiels dan Pasukan Gerak Cepat ke-11 yang terdiri atas pasukan Ternate menyergap Diponegoro di pegunungan Gowong kawasan barat Kedu. Namun, dia berhasil meloloskan diri. Sayang, sejumlah pusakanya tertinggal seperti peti pakaian, tombak pusaka Kyai Rondhan, termasuk pelana kuda. 

Tombak dan pelana kuda lalu dikirim ke Belanda dan dipersembahkan kepada Raja Willem I (1813-1840) sebagai rampasan perang. Pada akhirnya dipulangkan kepada Indonesia oleh Ratu Juliana (1948-1980) pada 1978. Pemulangan ini di bawah ketentuan Kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia 1968. 

Baca juga: Polisi dan Tim Ahli Mulai Pisahkan Puing Kebakaran dan Aset Museum Nasional, Begini Prosesnya

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

5 Fakta Hiatus Noah yang Perlu Diketahui

BERIKUTNYA

5 Rekomendasi Tanaman Hias untuk Konsep Rumah Minimalis

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: