Lebih Dekat dengan Ruth Marbun, Perupa yang Memulai Karier dari Fashion Designer
21 September 2023 |
08:24 WIB
Bagi Ruth Marbun, berkarya merupakan salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Lewat seni rupa, perempuan yang akrab disapa Utay itu memang banyak membahasakan idiom-idiom visual dengan berbagai medium karya yang belakangan ini terus digelutinya.
Salah satu dari ciri khas karyanya adalah banyak menampilkan ragam perilaku manusia kota sebagai bahan inspirasi. Hal itu terutama dipengaruhi lewat perjumpaannya dengan berbagai karakter yang ditemui secara selintas, lalu mengendap dalam imaji sang seniman.
Namun, siapa yang menyangka perupa asal Medan itu awalnya dikenal sebagai seorang fashion designer yang banyak berkarya di London dan Singapura. Sebab memang pendidikannya dimulai dari London College of Fashion hingga akhirnya dia pindah ke Tumasek.
Baca juga: Menelisik Perilaku Kaum Urban dalam Pameran Perangai Karya Perupa Ruth Marbun
Kendati begitu, Utay akhirnya menyadari bahwa dia lebih menyukai bidang seni ketimbang fesyen. Dengan artian, si seniman perempuan itu seolah membutuhkan ruang yang lebih besar untuk mengejawantahkan gagasan-gagasannya, terutama di ranah visual.
Dari sinilah setelah beberapa tahun menggeluti industri fesyen di luar negeri, Utay memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Lalu secara perlahan dia mulai memasuki dunia seni rupa dengan mengembangkan gaya artistiknya yang khas.
Setelah tinggal di berbagai kota besar di luar negeri, Utay kerap menggambarkan pengalamannya dengan menghidupi budaya yang beragam dalam karyanya. Penuh dengan kontras, dia juga sering menggoreskan visual yang menantang ide masyarakat terkait keindahan.
Adapun, dalam pengkaryaan di seni rupa, Utay banyak mengeksplorasi berbagai tema lewat corak-corak figuratif. Karya-karyanya bersifat riang sekaligus penuh pemikiran dengan narasi personal untuk mengartikulasikan tema-tema kemanusiaan yang universal.
Tak hanya itu, perupa yang kini bermukim di Tangerang Selatan itu kerap menyisipkan kalimat absurd, yang justru memberi perspektif baru dari karya visualnya. Narasi kalimat yang kadang bertentangan, atau keluar dari paradigma bahasa itu seakan memberi warna baru dari goresan visualnya.
Menurut Utay, keterkaitan yang terjadi antara manusia merupakan salah satu daya penggeraknya untuk terus berkarya. Baginya, kehidupan adalah hal besar sekaligus mendasar yang pada saat bersamaan sering melahirkan paradoks.
Beberapa karya-karya desainnya juga kadang cenderung bernada fun, ekspresif seperti hasil lukisan-lukisan cat airnya. Selain itu, Utay juga sedikit banyak memasukkan unsur humor dalam karya-karyanya lewat penggunaan kalimat yang nyeleneh atau bisa dibilang absurd.
Dari proses berkarya dia juga banyak berkolaborasi dengan musisi lokal terkenal dalam menggarap sampul album mereka. Beberapa di antaranya adalah Fourtwnty, Pandai Besi, Arireda, Dialog Dini Hari, dan gelaran festival musik populer seperti Joyland.
Selama malang melintang di dunia seni, Utay telah melakukan berbagai pameran baik tunggal dan kolektif di dalam dan luar negeri. Seperti eksibisi Waktu Tak Pandai Berbohong (2015) di Suar Artspace, Jakarta dan Prologue: Image Not Found (2017) di Jogja Contemporary.
Pengalamannya tinggal di berbagai negara di dunia juga memperluas cakrawalanya dalam berkesenian. Terutama dalam berjejaring dengan banyak pekerja kreatif dalam menelurkan karya baru, baik lewat media lukisan, kolaborasi musik, hingga dunia penerbitan.
"Sebagai seniman visual aku memang suka kerumunan manusia, dan aku menikmati proses mengalihkan berbagai tersebut dalam karya karena itu memang intuisi dasar manusia untuk mencipta," katanya.
Baca juga: Iwan Suastika, Perupa Surealis dengan Konsep Tanpa Batas
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Salah satu dari ciri khas karyanya adalah banyak menampilkan ragam perilaku manusia kota sebagai bahan inspirasi. Hal itu terutama dipengaruhi lewat perjumpaannya dengan berbagai karakter yang ditemui secara selintas, lalu mengendap dalam imaji sang seniman.
Namun, siapa yang menyangka perupa asal Medan itu awalnya dikenal sebagai seorang fashion designer yang banyak berkarya di London dan Singapura. Sebab memang pendidikannya dimulai dari London College of Fashion hingga akhirnya dia pindah ke Tumasek.
Baca juga: Menelisik Perilaku Kaum Urban dalam Pameran Perangai Karya Perupa Ruth Marbun
Kendati begitu, Utay akhirnya menyadari bahwa dia lebih menyukai bidang seni ketimbang fesyen. Dengan artian, si seniman perempuan itu seolah membutuhkan ruang yang lebih besar untuk mengejawantahkan gagasan-gagasannya, terutama di ranah visual.
Dari sinilah setelah beberapa tahun menggeluti industri fesyen di luar negeri, Utay memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Lalu secara perlahan dia mulai memasuki dunia seni rupa dengan mengembangkan gaya artistiknya yang khas.
Setelah tinggal di berbagai kota besar di luar negeri, Utay kerap menggambarkan pengalamannya dengan menghidupi budaya yang beragam dalam karyanya. Penuh dengan kontras, dia juga sering menggoreskan visual yang menantang ide masyarakat terkait keindahan.
Adapun, dalam pengkaryaan di seni rupa, Utay banyak mengeksplorasi berbagai tema lewat corak-corak figuratif. Karya-karyanya bersifat riang sekaligus penuh pemikiran dengan narasi personal untuk mengartikulasikan tema-tema kemanusiaan yang universal.
Tak hanya itu, perupa yang kini bermukim di Tangerang Selatan itu kerap menyisipkan kalimat absurd, yang justru memberi perspektif baru dari karya visualnya. Narasi kalimat yang kadang bertentangan, atau keluar dari paradigma bahasa itu seakan memberi warna baru dari goresan visualnya.
Menurut Utay, keterkaitan yang terjadi antara manusia merupakan salah satu daya penggeraknya untuk terus berkarya. Baginya, kehidupan adalah hal besar sekaligus mendasar yang pada saat bersamaan sering melahirkan paradoks.
Beberapa karya-karya desainnya juga kadang cenderung bernada fun, ekspresif seperti hasil lukisan-lukisan cat airnya. Selain itu, Utay juga sedikit banyak memasukkan unsur humor dalam karya-karyanya lewat penggunaan kalimat yang nyeleneh atau bisa dibilang absurd.
Dari proses berkarya dia juga banyak berkolaborasi dengan musisi lokal terkenal dalam menggarap sampul album mereka. Beberapa di antaranya adalah Fourtwnty, Pandai Besi, Arireda, Dialog Dini Hari, dan gelaran festival musik populer seperti Joyland.
Selama malang melintang di dunia seni, Utay telah melakukan berbagai pameran baik tunggal dan kolektif di dalam dan luar negeri. Seperti eksibisi Waktu Tak Pandai Berbohong (2015) di Suar Artspace, Jakarta dan Prologue: Image Not Found (2017) di Jogja Contemporary.
Pengalamannya tinggal di berbagai negara di dunia juga memperluas cakrawalanya dalam berkesenian. Terutama dalam berjejaring dengan banyak pekerja kreatif dalam menelurkan karya baru, baik lewat media lukisan, kolaborasi musik, hingga dunia penerbitan.
"Sebagai seniman visual aku memang suka kerumunan manusia, dan aku menikmati proses mengalihkan berbagai tersebut dalam karya karena itu memang intuisi dasar manusia untuk mencipta," katanya.
Baca juga: Iwan Suastika, Perupa Surealis dengan Konsep Tanpa Batas
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.