Jadi Maskot Museum, Simak Asal-Usul Patung Gajah & Sejarah Pendirian Museum Nasional
18 September 2023 |
15:20 WIB
Museum Nasional belakangan ini sedang hangat menjadi perbincangan karena musibah kebakaran yang menimpanya pada Sabtu, (16/9/2023). Insiden itu menyebabkan sebanyak enam ruangan di Gedung A luluh lantak dilalap si jago merah.
Selain dikenal dengan nama Museum Nasional, di kalangan masyarakat Indonesia juga karib dengan nama Museum Gajah. Penamaan ini dikarenakan pada halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu yang menjadi ikon museum ini.
Baca juga: 5 Kasus Kontroversial di Museum Nasional Indonesia, dari Kusni Kasdut hingga Si Jago Merah
Menurut laman resmi Museum Nasional Indonesia, patung gajah perunggu tersebut merupakan hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke Hindia Belanda pada 1871 untuk belajar sekaligus pelesiran.
Di Hindia Belanda, ada dua kota yang dikunjungi Raja Chulalongkorn, yaitu Batavia dan Semarang. Di daerah tersebut dia mengunjungi berbagai tempat, mulai pabrik senjata, gedung pemerintahan hingga menonton pertunjukan kesenian yang ada di Pulau Jawa.
Ada cerita menarik terkait pemberian Patung Gajah dari Raja Thailand yang dinilai dibayar terlalu mahal oleh beberapa sejarawan. Pasalnya saat kembali pulang ke Thailand dia meminta izin pemerintah kolonial untuk membawa pulang beragam arca dan karya seni klasik Jawa di kawasan candi Borobudur.
Dalam buku Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, John Miksic mengungkap oleh-oleh yang diminta sang raja itu termasuk 30 relief, lima arca Buddha, dua arca singa. Ada juga langgam patung Kala dan arca Dwarapala yang biasanya dipasang di bagian atas pintu masuk candi dari Bukit Dagi.
Raja Chulalongkorn kemudian mengangkut semua arca dan relief yang sangat berharga itu ke negerinya, Thailand. Sebagai gantinya, dia hanya memberikan patung gajah yang sekarang terpajang di halaman depan Museum Nasional, Jakarta. Dari sinilah awal mula penyebutan Museum Gajah dimulai.
Adapun, hingga saat ini Museum Nasional yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat ini menyimpan lebih dari 190.000 benda-benda bersejarah. Termasuk 7 jenis koleksi prasejarah, arkeologi masa Klasik atau Hindu-Budha, Numismatik dan Heraldik, Keramik, Etnografi, Geografi, dan Sejarah.
Menjelang akhir abad ke-18, di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the age of enlightenment). Pada 1752, berdiri perkumpulan ilmiah Belanda bernama De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen, di Harlem.
Beberapa dekade kemudian, pemerintahan Belanda di Batavia juga berniat mendirikan organisasi yang sejenis bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) pada 24 April 1778. Hal itu dipengaruhi tumbuhnya berbagai pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan di dunia.
Salah seorang pendiri lembaga ini, Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher, akhirnya menyumbangkan sebuah rumah miliknya di jalan Kalibesar untuk pengembanan ilmu pengetahuan. Semboyan utama mereka saat itu adalah Ten Nutte van het Algemeen atau yang berarti untuk kepentingan masyarakat umum.
Tak hanya itu, Radermacher juga menyimbngkan koleksinya, yakni berupa buku, naskah, alat musik, mata uang, spesimen flora, tanaman kering, dan sebagainya. Pada masa itu, kalangan atas gemar mengoleksi benda-benda unik dan antik antiquarian atau kajian orientalisme secara umum.
Pada 1779 rumah koleksi tersebut akhirnya dibuka dan dipamerkan untuk umum. Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles juga memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society sebagai salah satu tempat bertemunya para pegiat dan kalangan atas untuk beranjangsana.
Alasan pembangunan gedung baru ini tak lain karena rumah di jalan Kalibesar sudah penuh dengan berbagai koleksi. Bangunan ini berlokasi di Jalan Majapahit Nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks Gedung Sekretariat Negara, di dekat Istana Kepresidenan.
Setelah Indonesia merdeka, BG terus berjalan. Namanya berganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 1950 dan dibubarkan pada 1962. Namun, museumnya masih berdiri dan dikenal dengan Museum Pusat. Dari sini, nama museum secara resmi diubah menjadi Museum Nasional atau Museum Gajah pada 1979.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Selain dikenal dengan nama Museum Nasional, di kalangan masyarakat Indonesia juga karib dengan nama Museum Gajah. Penamaan ini dikarenakan pada halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu yang menjadi ikon museum ini.
Baca juga: 5 Kasus Kontroversial di Museum Nasional Indonesia, dari Kusni Kasdut hingga Si Jago Merah
Menurut laman resmi Museum Nasional Indonesia, patung gajah perunggu tersebut merupakan hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke Hindia Belanda pada 1871 untuk belajar sekaligus pelesiran.
Di Hindia Belanda, ada dua kota yang dikunjungi Raja Chulalongkorn, yaitu Batavia dan Semarang. Di daerah tersebut dia mengunjungi berbagai tempat, mulai pabrik senjata, gedung pemerintahan hingga menonton pertunjukan kesenian yang ada di Pulau Jawa.
Ada cerita menarik terkait pemberian Patung Gajah dari Raja Thailand yang dinilai dibayar terlalu mahal oleh beberapa sejarawan. Pasalnya saat kembali pulang ke Thailand dia meminta izin pemerintah kolonial untuk membawa pulang beragam arca dan karya seni klasik Jawa di kawasan candi Borobudur.
Dalam buku Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, John Miksic mengungkap oleh-oleh yang diminta sang raja itu termasuk 30 relief, lima arca Buddha, dua arca singa. Ada juga langgam patung Kala dan arca Dwarapala yang biasanya dipasang di bagian atas pintu masuk candi dari Bukit Dagi.
Raja Chulalongkorn kemudian mengangkut semua arca dan relief yang sangat berharga itu ke negerinya, Thailand. Sebagai gantinya, dia hanya memberikan patung gajah yang sekarang terpajang di halaman depan Museum Nasional, Jakarta. Dari sinilah awal mula penyebutan Museum Gajah dimulai.
Adapun, hingga saat ini Museum Nasional yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat ini menyimpan lebih dari 190.000 benda-benda bersejarah. Termasuk 7 jenis koleksi prasejarah, arkeologi masa Klasik atau Hindu-Budha, Numismatik dan Heraldik, Keramik, Etnografi, Geografi, dan Sejarah.
Sejarah Pendirian Museum Nasional
#SejarahJakarta kali ini membahas mengenai sejarah dibalik berdirinya Museum Nasional Republik Indonesia. pic.twitter.com/tDtbGybuwv
— Pemprov DKI Jakarta (@DKIJakarta) May 12, 2016
Menjelang akhir abad ke-18, di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the age of enlightenment). Pada 1752, berdiri perkumpulan ilmiah Belanda bernama De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen, di Harlem.
Beberapa dekade kemudian, pemerintahan Belanda di Batavia juga berniat mendirikan organisasi yang sejenis bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) pada 24 April 1778. Hal itu dipengaruhi tumbuhnya berbagai pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan di dunia.
Salah seorang pendiri lembaga ini, Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher, akhirnya menyumbangkan sebuah rumah miliknya di jalan Kalibesar untuk pengembanan ilmu pengetahuan. Semboyan utama mereka saat itu adalah Ten Nutte van het Algemeen atau yang berarti untuk kepentingan masyarakat umum.
Tak hanya itu, Radermacher juga menyimbngkan koleksinya, yakni berupa buku, naskah, alat musik, mata uang, spesimen flora, tanaman kering, dan sebagainya. Pada masa itu, kalangan atas gemar mengoleksi benda-benda unik dan antik antiquarian atau kajian orientalisme secara umum.
Pada 1779 rumah koleksi tersebut akhirnya dibuka dan dipamerkan untuk umum. Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles juga memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society sebagai salah satu tempat bertemunya para pegiat dan kalangan atas untuk beranjangsana.
Alasan pembangunan gedung baru ini tak lain karena rumah di jalan Kalibesar sudah penuh dengan berbagai koleksi. Bangunan ini berlokasi di Jalan Majapahit Nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks Gedung Sekretariat Negara, di dekat Istana Kepresidenan.
Setelah Indonesia merdeka, BG terus berjalan. Namanya berganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 1950 dan dibubarkan pada 1962. Namun, museumnya masih berdiri dan dikenal dengan Museum Pusat. Dari sini, nama museum secara resmi diubah menjadi Museum Nasional atau Museum Gajah pada 1979.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.