Karya Iwan Suastika berjudul After Us, 2022 acrylic on canvas 150 X 110 cm (kanan) dan We Are Living In A Crazy Mixed Up World 2023, acrylic on canvas 150 X 110 cm (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Pameran The Man Who Carried a Mountain & Refleksi Duka Perupa Iwan Suastika

15 September 2023   |   20:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Krisis ekologi saat ini telah menjadi salah satu masalah penting di muka bumi. Kebakaran hutan, gunungan es di kutub utara yang meleleh, serta bencana lingkungan merupakan tantangan global yang harus segera diselesaikan umat manusia.

Di tengah wacana tersebut, perupa Iwan Suastika pun kembali menyadarkan publik bahwa dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Hal itu mewujud lewat 16 karya terbarunya dalam pameran tunggal bertajuk The Man Who Carried a Mountain di D Gallerie, Jakarta belum lama ini.

Baca juga: Cek 5 Pameran Seni Rupa September 2023, Ada Ruth Marbun & Iwan Suastika

Sebagai seniman yang konsisten melukis surealis, Iwan kerap bereksperimen dengan metafora dan idiom mengenai semesta. Kini, sang perupa kembali bermain-main dalam imajinasi zaman yang tanpa batas, baik di atas kanvas atau medium patung.

Misalnya dalam lukisan Carrier (2023), The Aiming Creature (2023), dan The Mortal (2022). Ketiga lukisan dengan karakter utama sosok astronot itu seolah menggambarkan bahwa manusia merupakan makhluk tertinggi di puncak peradaban semesta.

Dalam Carrier, Iwan menggambarkan sosok astronot yang menggendong gunung sambil tangannya memegang lilin dan sulur yang tertancap di bulan. Berbagai idiom seperti jam, tiga figur manusia dengan berbagai ekspresi, dan ombak lautan juga mengambang mengelilingi mereka.

Sementara dalam lukisan kedua, sang perupa menghadirkan sosok astronot yang tengah menumpangi perahu sambil memegang busur panah dan ikan. Deretan metafora, baik yang tersurat dan tersirat pun pun hadir dalam karya bernuansa suram dengan penggunaan palet biru gelap itu.

Beberapa di antaranya lewat simbol bahaya, arah panah masa lalu dan masa depan, parabola, burung hantu yang terbuat dari buku, hingga api unggun. Namun, yang paling mencolok adalah kaki sang astronot yang menginjak planet bumi ibarat tanda penguasaan.

Idiom serupa juga ditampilkan dalam karya The Mortal, di mana manusia digambarkan berada di depan, menonjol dari spesies non manusia lainnya. Bahkan dengan lugas sang seniman menuliskan kalimat We Are the Universe, yang seolah menjadi awal mula kisah antroposen.
 

Karya Iwan Suastika berjudul The Aiming Creature 2023 acrylic on canvas 70 X 70 cm  (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Karya Iwan Suastika berjudul The Aiming Creature 2023 acrylic on canvas 70 X 70 cm (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Hampir semua karya Iwan menampilkan sosok astronot yang dilukiskan dengan berbagai sudut pandang. Termasuk Traces (2023) di mana sang astronot tengah menuntun kuda yang membawa berbagai benda milik manusia yang begitu berat, seperti rumah, kasur, kursi kekuasaan, hingga produk teknologi modern.

Lalu ada juga karya bertajuk Battle of Mind (2023) di mana sang astronot ditampilkan sedang bercermin. Uniknya, refleksi yang ditampilkan nampak berwarna, padahal sosok yang tengah bercermin itu tampil dalam keadaan monokrom, bersama objek papan catur yang juga tampil sama.

"Lewat pameran ini saya berusaha menampilkan dua sisi yang berbeda secara bersamaan, kalau saya sering menyebutnya dengan istilah happy-sad concept. Kekacauan dan harmoni yang berjalan beriringan," katanya.

Dari segi material, Iwan juga masih bersetia untuk tetap menggunakan cat akrilik di bidang kanvas seperti karya-karyanya sebelumnya. Namun yang unik tentu saja dalam pameran ini dia menghadirkan karakter lukisannya dalam bentuk patung berjudul The Mortal (2023) yang dibuat menggunakan material resin, brass, aluminium, dan PU paint.

Secara umum figur astronot ini seperti diambil dari karya lukis berjudul sama di mana patung berdimensi 100 cm X 200 cm X 90 cm itu memegang pena terbakar. Dalam lukisannya pena tersebut menuliskan frasa 'legacy'  di atas tanah, tapi di karya patung dia menggores ombak yang berada di atas buku dan piano.
 

Karya Iwan Suastika berjudul The Mortal, 2023, resin, brass, aluminium, dan PU paint 100 cm X 200 cm X 90 cm (sumber gambar D Gallerie)

Karya Iwan Suastika berjudul The Mortal, 2023, resin, brass, aluminium, dan PU paint 100 cm X 200 cm X 90 cm (sumber gambar D Gallerie)


Perupa itu menjelaskan bahwa manusia merupakan sosok pembawa tanggung jawab besar yang bersumber dari hasrat untuk menguasai alam semesta. Oleh karena itu segala tindak tanduknya akan tercatat selamanya di alam, bahkan berpengaruh terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.

Adapun karakter astronot dalam pameran kali ini merupakan simbol yang mewakili mimpi, hasrat dan ambisi yang tinggi meski mereka masih memiliki keterkaitan dengan alam. Setiap karyanya juga mengisahkan keadaan dan ceritanya masing-masing walau  masih menjadi satu kesatuan pameran.

"Apa yang dilakukan manusia terhadap alam terutama lingkungan sosial dan lingkungan alami, sejatinya akan berbalik kepada dirinya sendiri atau kepada generasi setelahnya," jelas penerima penghargaan Silver Award oleh UOB Painting of the year 2014 itu.

Kurator pameran Ignatia Nilu mengatakan, lewat narasi dan corak visual surealistik, Iwan memang sedang menggarap ruang artistik yang liar. Kanvas dan patung telah menjadi mantra semesta atas mimpi dan harapan sang seniman terhadap dunia yang lebih baik kedepannya.

Melalui pameran tunggal keduanya kali ini menurutnya sang perupa ingin menggambarkan keadaan sekitar yang dilihat maupun dialaminya melalui banyak idiom, simbol, dan metafora. Adapun, narasi itu mewujud dalam berbagai tema dan identitas imaji mengenai isu apa yang sekiranya terjadi di realitas dunia dewasa ini.

Secara personal sang seniman seolah sedang menyatakan kesadarannya terhadap pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat. Khususnya nilai dan metode edukasi dalam memahami kehidupan, terutama mengenai babak baru yang berpengaruh besar terhadap cetak biru manusia-manusia masa depan.

"Karya-karya ini hadir seolah ingin menggulirkan pertanyaan di ruang publik, apa yang diwariskan pada generasi selanjutnya, sekaligus membangun diskusi mengenai perubahan alam yang tidak terhindarkan ini," katanya.

Baca juga: Kritik Rasisme dalam Karya Seni Perupa Bibiana Lee di Pameran Sum, absence and the shades

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Resep Popsicle Ceri & Krim, Camilan Enak Gampang Dibuat

BERIKUTNYA

Festival Film Indonesia 2023 Ramai dengan Eksplorasi Genre dan Wajah Baru Berbakat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: