Industri Film Indonesia Masih Bermain di Pasar Tunggal, Begini Tanggapan Sineas & Pengamat Film
07 September 2023 |
20:56 WIB
Industri film Indonesia terus bergeliat seiring pageblug melanda dunia. Melewati kuartal pertama 2023 atensi penonton untuk datang ke bioskop tampak mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, sudah ada ratusan film Indonesia yang siap tayang tahun ini.
Tak hanya itu, ekosistem perfilman spertinya juga mengalami dinamika estetik dan kualitas. Salah satunya dengan ditandai maraknya garapan sineas Tanah Air yang diputar di berbagai festival internasional, termasuk di ajang Busan International Film Festival (BIFF) pada 4-13 Oktober 2023.
Baca juga: Genre Horor Masih Jadi Primadona, Bisakah Jadi Identitas Film Indonesia?
Kritikus film nasional Hikmat Darmawan mengatakan, saat ini industri film Indonesia memang sudah ada normalisasi masuk ke dalam kancah festival. Dia mengungkap gejala tersebut sebenarnya sudah tampak sejak 2021-2022 di mana ada banyak sineas yang menghasilkan film-film bermutu.
Namun, Hikmat juga menyoroti adanya dominasi genre yang sedang terjadi pada tema-tema perfilman Indonesia. Dari 7 film yang paling banyak ditonton pada kuartal pertama 2023, saat ini 4 diantaranya merupakan film horor dan hanya tiga non horor.
Salah satu pemilik toko buku Blooks itu mengungkap, dominasi film horor sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dalam skala global. Namun menurutnya bukan genre horor yang patut disalahkan, melainkan kecenderungan akan adanya pasar tunggal di Indonesia.
Hikmat mengungkap ketika ada satu genre sedang naik daun, pasar seolah latah untuk mengikuti genre tersebut. Otomatis, dalam satu periode tertentu, genre yang sedang naik daun sangat mendominasi dan membuat genre lain sulit untuk menembus distribusi pasar.
Indonesia, menurutnya secara kultural memang memiliki kecocokan dengan genre horor. Kendati begitu, dia mengungkap sebelumnya yang menguasai box office Indonesia sebenarnya komedi, hal itu tampak dengan maraknya film Warkop DKI antara tahun 1970-1990-an.
"Persoalannya adalah pasar kita seperti makin dibentuk agar menjadi pasar tunggal, sehingga yang disebut sukses itu formulanya harus box office atau blockbuster. Jadi, mau sekarang yang dominan itu film komedi, kalau jadi pasar tunggal salah juga," katanya.
Ditemui secara terpisah, sutradara Yosep Anggi Noen mengatakan bahwa mayoritas penonton Indonesia sebenarnya unik. Mereka menurutnya bisa tertarik terhadap sebuah film karena banyak hal. Baik berupa perilaku FOMO, tren, sinefil, hingga penonton yang ikut menikmati film karena viralitas.
Oleh karena itu dia berharap sinema juga memberi ruang yang sama dan egaliter pada semua film. Terutama saat ada film yang sedang mendominasi pasar, sehingga film yang sebelumnya diputar di festival atau genre lain juga diberi slot yang sama karena film tersebut seringkali kesulitan untuk menemukan penontonnya.
Biasanya, para produser menurutnya akan melakukan gerilya dengan masuk ke bioskop-bioskop alternatif atau dengan berat hati harus memasukkan ke platform OTT. Pasalnya ada kebutuhan pihak produksi harus mempertemukan karya dengan penontonnya untuk mengembalikan modal produksi.
Menurutnya, gejala penunggalan tersebut jika dirunut berskar pada ekosistem perfilman hingga negara tidak memberi ruang pendidikan bagi masyarakat. Terutama untuk membuka diri dan mengenalkan ragam ekspresi seni yang juga beragam.
Bahkan yang menurutnya sedikit mengkhawatirkan adalah adanya stereotip dari film yang diputar di festival itu biasanya memiliki kesan sulit ditonton dan rumit bagi pencinta film di Tanah Air.
"Menurut saya harus ada strategi yang lebih besar [dari negara], agar penonton punya demand untuk memilih film yang beragam dan disediakan oleh ekosistem tersebut," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Tak hanya itu, ekosistem perfilman spertinya juga mengalami dinamika estetik dan kualitas. Salah satunya dengan ditandai maraknya garapan sineas Tanah Air yang diputar di berbagai festival internasional, termasuk di ajang Busan International Film Festival (BIFF) pada 4-13 Oktober 2023.
Baca juga: Genre Horor Masih Jadi Primadona, Bisakah Jadi Identitas Film Indonesia?
Kritikus film nasional Hikmat Darmawan mengatakan, saat ini industri film Indonesia memang sudah ada normalisasi masuk ke dalam kancah festival. Dia mengungkap gejala tersebut sebenarnya sudah tampak sejak 2021-2022 di mana ada banyak sineas yang menghasilkan film-film bermutu.
Namun, Hikmat juga menyoroti adanya dominasi genre yang sedang terjadi pada tema-tema perfilman Indonesia. Dari 7 film yang paling banyak ditonton pada kuartal pertama 2023, saat ini 4 diantaranya merupakan film horor dan hanya tiga non horor.
Salah satu pemilik toko buku Blooks itu mengungkap, dominasi film horor sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dalam skala global. Namun menurutnya bukan genre horor yang patut disalahkan, melainkan kecenderungan akan adanya pasar tunggal di Indonesia.
Hikmat mengungkap ketika ada satu genre sedang naik daun, pasar seolah latah untuk mengikuti genre tersebut. Otomatis, dalam satu periode tertentu, genre yang sedang naik daun sangat mendominasi dan membuat genre lain sulit untuk menembus distribusi pasar.
Indonesia, menurutnya secara kultural memang memiliki kecocokan dengan genre horor. Kendati begitu, dia mengungkap sebelumnya yang menguasai box office Indonesia sebenarnya komedi, hal itu tampak dengan maraknya film Warkop DKI antara tahun 1970-1990-an.
"Persoalannya adalah pasar kita seperti makin dibentuk agar menjadi pasar tunggal, sehingga yang disebut sukses itu formulanya harus box office atau blockbuster. Jadi, mau sekarang yang dominan itu film komedi, kalau jadi pasar tunggal salah juga," katanya.
Ditemui secara terpisah, sutradara Yosep Anggi Noen mengatakan bahwa mayoritas penonton Indonesia sebenarnya unik. Mereka menurutnya bisa tertarik terhadap sebuah film karena banyak hal. Baik berupa perilaku FOMO, tren, sinefil, hingga penonton yang ikut menikmati film karena viralitas.
Oleh karena itu dia berharap sinema juga memberi ruang yang sama dan egaliter pada semua film. Terutama saat ada film yang sedang mendominasi pasar, sehingga film yang sebelumnya diputar di festival atau genre lain juga diberi slot yang sama karena film tersebut seringkali kesulitan untuk menemukan penontonnya.
Biasanya, para produser menurutnya akan melakukan gerilya dengan masuk ke bioskop-bioskop alternatif atau dengan berat hati harus memasukkan ke platform OTT. Pasalnya ada kebutuhan pihak produksi harus mempertemukan karya dengan penontonnya untuk mengembalikan modal produksi.
Menurutnya, gejala penunggalan tersebut jika dirunut berskar pada ekosistem perfilman hingga negara tidak memberi ruang pendidikan bagi masyarakat. Terutama untuk membuka diri dan mengenalkan ragam ekspresi seni yang juga beragam.
Bahkan yang menurutnya sedikit mengkhawatirkan adalah adanya stereotip dari film yang diputar di festival itu biasanya memiliki kesan sulit ditonton dan rumit bagi pencinta film di Tanah Air.
"Menurut saya harus ada strategi yang lebih besar [dari negara], agar penonton punya demand untuk memilih film yang beragam dan disediakan oleh ekosistem tersebut," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.