Genre Horor Masih Jadi Primadona, Bisakah Jadi Identitas Film Indonesia?
04 September 2023 |
19:43 WIB
Genre horor sepertinya masih menjadi primadona bagi penonton film di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan sejumlah judul film horor lokal yang menjadi tontonan serta menembus angka penjualan tiket tertinggi pada semester pertama 2023.
Menurut data filmindonesia.or.id dari 7 film terlaris di bioskop sepanjang 2023, empat di antaranya merupakan film horor dengan posisi puncak diduduki Sewu Dino (4 juta penonton), Waktu Maghrib (2 juta penonton), Suzzanna:Malam Jumat Kliwon (2 juta penonton).
Baca juga: Film Horor Laris Manis di Indonesia, Mistis & Rekreasi Emosi Jadi Pendorong
Kritikus film nasional Hikmat Darmawan mengatakan, gejala dominasi film horor menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga global. Oleh karena itu bukan genre horor yang patut disalahkan, melainkan kecenderungan akan adanya pasar tunggal di Indonesia.
Menurutnya, ketika ada satu genre sedang naik daun, pasar seolah latah untuk mengikuti genre tersebut. Otomatis, dalam satu periode tertentu, genre tersebut sangat mendominasi dan membuat genre lain sulit untuk menembus pasar.
Pasar tunggal genre membuat keberagaman tontonan tidak terjadi hingga melahirkan kejumudan. Akibatnya pasar langsung anjlok karena tidak memiliki alternatif lain untuk penyegaran, hal itu pun bisa berlaku juga untuk genre lain, termasuk komedi hingga romansa.
Dengan kata lain, menurut Hikmat semua genre film harus memiliki kesempatan yang sama untuk bisa digarap sebagai pasar yang bagus. Pasalnya hal tersebut akan membuat keberagaman tema dan alternatif bagi masyarakat dalam menikmati tontonan.
"Saya merasa baik bioskop, pemerintah, maupun ekosistemnya itu harus punya visi gitu loh untuk kalau pasar majemuk itu lebih menguntungkan daripada pasar tunggal," katanya.
Penulis buku Sebulan di Negeri Manga itu mengungkap, genre horor jika dieksplorasi lebih dalam sebenarnya bisa menjadi identitas film Indonesia. Namun, yang masih menjadi problem dari stereotype tersebut adalah pertentangan kota dengan desa di mana desa atau tradisi sebagai sumber horor.
Perlawanan dari stereotype itu sebenarnya sudah dilakukan beberapa sineas meski masih sporadis. Dia mencontohkan misalnya film Keramat (2009), Keramat 2: Caruban Larang (2022), dan Sunya (2016) juga memberi narasi baru dalam pengemasan film horor yang baik.
Ada pula Setan Jawa yang tidak murni horor tapi ada percobaannya dari Garin Nugroho. Film yang dirilis pada 2017 itu menurutnya bentuk eksperimen baru yang menggunakan elemen setan yang meski gagal di pasar tapi memberi warna baru dalam pencarian bentuk dan estetika.
"Ada beberapa filmmaker muda juga bagus juga dalam membuat film horor, termasuk yang senior juga lumayan. Namun, sejauh ini belum ada yang total membuat narasi baru itu secara konsisten," katanya.
Baca juga: Cerita Rakyat Jadi Inspirasi, Berikut Sejarah Film Horor di Indonesia
Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan, bisnis bioskop tahun ini belum kembali normal. Pendapatan bioskop, menurutnya masih di bawah 30-50 persen dibanding sebelum pandemi.
Stagnasi jumlah penonton sebenarnya tidak hanya terjadi pada film lokal saja. Jika dibandingkan sebelum pandemi lesunya jumlah penonton juga terjadi pada film-film global, terlebih saat ini beberapa film di Hollywood juga terdampak mogok kerja serikat penulis dan aktor di Amerika.
Djonny berpendapat bahwa momen endemi Covid-19 menjadi momentum untuk mendatangkan lebih banyak jumlah penonton. Namun, menurutnya film bukanlah persoalan hitung-hitungan matematis karena ada banyak faktor yang bermain di dalamnya.
Dia pun berharap infrastruktur dan ekosistem perfilman untuk segera dibenahi khususnya terkait penyeragaman nilai pajak tonton hingga sepuluh persen di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya, setiap daerah memiliki nilai pajak tonton yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan artian industri film juga mesti dilihat secara jeli agar keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan bisa tetap terjaga terutama di luar Jawa.
"Terkait film Indonesia yang diputar di festival internasional itu memang jadi kebaanggan tersendiri bagi sineas. Namun, saat masuk ke wilayah komersial itu kurang peminatnya," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Menurut data filmindonesia.or.id dari 7 film terlaris di bioskop sepanjang 2023, empat di antaranya merupakan film horor dengan posisi puncak diduduki Sewu Dino (4 juta penonton), Waktu Maghrib (2 juta penonton), Suzzanna:Malam Jumat Kliwon (2 juta penonton).
Baca juga: Film Horor Laris Manis di Indonesia, Mistis & Rekreasi Emosi Jadi Pendorong
Kritikus film nasional Hikmat Darmawan mengatakan, gejala dominasi film horor menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga global. Oleh karena itu bukan genre horor yang patut disalahkan, melainkan kecenderungan akan adanya pasar tunggal di Indonesia.
Menurutnya, ketika ada satu genre sedang naik daun, pasar seolah latah untuk mengikuti genre tersebut. Otomatis, dalam satu periode tertentu, genre tersebut sangat mendominasi dan membuat genre lain sulit untuk menembus pasar.
Pasar tunggal genre membuat keberagaman tontonan tidak terjadi hingga melahirkan kejumudan. Akibatnya pasar langsung anjlok karena tidak memiliki alternatif lain untuk penyegaran, hal itu pun bisa berlaku juga untuk genre lain, termasuk komedi hingga romansa.
Dengan kata lain, menurut Hikmat semua genre film harus memiliki kesempatan yang sama untuk bisa digarap sebagai pasar yang bagus. Pasalnya hal tersebut akan membuat keberagaman tema dan alternatif bagi masyarakat dalam menikmati tontonan.
"Saya merasa baik bioskop, pemerintah, maupun ekosistemnya itu harus punya visi gitu loh untuk kalau pasar majemuk itu lebih menguntungkan daripada pasar tunggal," katanya.
Penulis buku Sebulan di Negeri Manga itu mengungkap, genre horor jika dieksplorasi lebih dalam sebenarnya bisa menjadi identitas film Indonesia. Namun, yang masih menjadi problem dari stereotype tersebut adalah pertentangan kota dengan desa di mana desa atau tradisi sebagai sumber horor.
Perlawanan dari stereotype itu sebenarnya sudah dilakukan beberapa sineas meski masih sporadis. Dia mencontohkan misalnya film Keramat (2009), Keramat 2: Caruban Larang (2022), dan Sunya (2016) juga memberi narasi baru dalam pengemasan film horor yang baik.
Ada pula Setan Jawa yang tidak murni horor tapi ada percobaannya dari Garin Nugroho. Film yang dirilis pada 2017 itu menurutnya bentuk eksperimen baru yang menggunakan elemen setan yang meski gagal di pasar tapi memberi warna baru dalam pencarian bentuk dan estetika.
"Ada beberapa filmmaker muda juga bagus juga dalam membuat film horor, termasuk yang senior juga lumayan. Namun, sejauh ini belum ada yang total membuat narasi baru itu secara konsisten," katanya.
Baca juga: Cerita Rakyat Jadi Inspirasi, Berikut Sejarah Film Horor di Indonesia
Bisnis Bioskop Belum Kembali Normal
Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan, bisnis bioskop tahun ini belum kembali normal. Pendapatan bioskop, menurutnya masih di bawah 30-50 persen dibanding sebelum pandemi.Stagnasi jumlah penonton sebenarnya tidak hanya terjadi pada film lokal saja. Jika dibandingkan sebelum pandemi lesunya jumlah penonton juga terjadi pada film-film global, terlebih saat ini beberapa film di Hollywood juga terdampak mogok kerja serikat penulis dan aktor di Amerika.
Djonny berpendapat bahwa momen endemi Covid-19 menjadi momentum untuk mendatangkan lebih banyak jumlah penonton. Namun, menurutnya film bukanlah persoalan hitung-hitungan matematis karena ada banyak faktor yang bermain di dalamnya.
Dia pun berharap infrastruktur dan ekosistem perfilman untuk segera dibenahi khususnya terkait penyeragaman nilai pajak tonton hingga sepuluh persen di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya, setiap daerah memiliki nilai pajak tonton yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan artian industri film juga mesti dilihat secara jeli agar keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan bisa tetap terjaga terutama di luar Jawa.
"Terkait film Indonesia yang diputar di festival internasional itu memang jadi kebaanggan tersendiri bagi sineas. Namun, saat masuk ke wilayah komersial itu kurang peminatnya," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.