Teknik Anyaman Bisa Jadi Identitas & Masa Depan Arsitektur Indonesia
16 August 2023 |
15:30 WIB
Sejak zaman dahulu, teknik menenun telah digunakan dalam berbagai bentuk dan tujuan. Mulai dari pakaian tradisional, ornamen, hingga arsitektur. Lembaran anyaman bambu atau dikenal juga dengan gedek, menjadi salah satu elemen penting bagi banyak rumah tradisional di Indonesia.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, gedek mulai ditinggalkan. Banyak orang kini lebih memilih material yang lebih kokoh dan modern dalam membangun rumah atau gedung seperti batu bata bahkan beton. Di samping itu, penggunaan gedek juga dianggap lebih rumit dan kurang praktis dalam perancangan bangunan.
Namun, bagi arsitek Lim Masulin, gedek justru menjadi bahan alternatif yang penting dan ramah lingkungan untuk arsitektur masa kini. Lewat perusahaan BYO Living, Lim dan sejumlah arsitek lain menggunakan teknik anyaman untuk merancang bangunan arsitektur termasuk desain interior.
Baca juga: Konsep Desain Sustainability dan Inklusif Bakal Jadi Tren Arsitektur 2024
Teknik anyaman yang awalnya lebih sering dijumpai pada produk-produk kerajinan tangan, bertransformasi menjadi pendekatan arsitektural yang bisa diaplikasikan, baik di area eksterior maupun interior bangunan. Penggunaan materialnya pun tak terbatas pada bambu atau kayu rotan, tetapi beragam bahan yang bisa dipakai untuk membuat anyaman.
Hal itu misalnya tampak pada tiang-tiang besar yang ada di bangunan Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Dalam proyek ini, BYO Living membuat anyaman besar dari bambu yang menjadi semacam pelindung bagi pilar-pilar di bandara tersebut. Anyaman itu tampak memiliki motif seperti kain tenun.
Aplikasi hampir serupa itu hadir juga dalam proyek wajah Galeri Indonesia Kaya yang baru. Arsitek tampak mendesain instalasi anyaman bambu dengan ukuran yang cukup besar. Motifnya seperti gelombang tenun melingkar yang ditempatkan di area tengah bangunan.
Penerapan anyaman yang lain bisa terlihat pada proyek desain kantin Kantor Pusat Mayora. Anyaman bambu dibuat dalam skala besar sebagai pengganti plafon yang menjulur ke bawah hingga mengisi ruang setengah bangunan. Berbeda dari anyaman sebelumnya, desain ini tampak menggunakan dua teknik anyaman dan warna yang menambah kesan estetik pada ruangan.
Tak hanya interior, pendekatan teknik anyaman dari BYO Living ini juga bisa diaplikasikan pada bagian eksterior, salah satunya fasad bangunan. Belum lama ini, mereka baru saja merampungkan desain fasad Masjid Agung Al Muttaqin Cakranegara yang berlokasi di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain menambah estetika bangunan, pola tenun yang dibuat pada masjid tersebut mengedepankan fungsi untuk menyaring intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam gedung. Pola persegi berlapis pada fasad tersebut menampilkan kesan bangunan yang kontras dan bertekstur.
Penerapan konsep yang serupa juga tampak pada gedung INK INDO yang berlokasi di Jawa Barat. BYO Living menghadirkan desain pola tenun yang dibuat secara komputasi yang dipadukan dengan fragmen modern berbahan logam tahan cuaca. Dalam bangunan ini, mereka membuat pola tenun yang berasal dari budaya Sunda bernama pola Jalujur.
Selain sebagai desain interior dan fasad bangunan, pendekatan anyaman juga dapat diaplikasikan di berbagai ornamen dekorasi dan furniture ruangan. Dekorasi lampu, kursi, meja, dan elemen berbagai bentuk bisa dibumbui dengan konsep tersebut, sehingga menghasilkan output yang estetik dan tetap modern.
Anyaman Sebagai Identitas Arsitektur Indonesia
Founder BYO Living Lim Masulin mengatakan pendekatan anyaman dalam bidang arsitektural dan interior bisa menjadi identitas yang kuat bagi arsitektur Indonesia. Pasalnya, dia menilai bahwa Indonesia memiliki kemampuan teknik menganyam yang sangat baik, yang bisa diadaptasi ke dalam berbagai material bukan hanya bambu dan kayu rotan.
"Ke depan, bangunan dengan teknik anyaman ini bisa sangat efisien salah satunya untuk mendinginkan gedung karena bisa menjadi penampang yang besar," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id di Jakarta.
Lim menegaskan sebagai sebuah teknik atau pendekatan arsitektural, anyaman bukan hanya berfungsi sebagai estetika semata melainkan terbuka untuk berbagai kebutuhan para penghuni suatu gedung atau rumah. Misalnya, anyaman pada bagian fasad bisa berfungsi sebagai penyaring sinar matahari yang masuk ataupun penutup untuk menjaga privasi penghuni.
Sebagai fasad, pendekatan anyaman memiliki beberapa kelebihan seperti lebih kuat dan tahan lama dengan penggunaan material seperti rotan dan bambu, ringan dan tahan gempa seperti prinsip rumah tahan gempa ala Jepang, serta bisa mengaplikasikan beragam variasi dan model fasad.
"Malah anyaman ini juga bisa jadi [arsitektur] ketukangan struktural. Artinya bisa bikin seluruh bangunan dari anyaman karena bahannya bisa kayu, batu bata, beton, termasuk material berteknologi tinggi," jelasnya.
Sejak berdiri pada 2016, BYO Living telah menggarap sejumlah proyek arsitektur dengan pola anyaman baik di dalam dan luar negeri seperti Menara Astra Jakarta, Robot & Co, Ecaps, dan 1/15 Coffee Senopati Jakarta. Selain itu, mereka juga telah terlibat dalam sejumlah pameran arsitektur bergengsi dunia seperti Maison & Objet di Paris, Venice Biennale di Italia, dan Stockholm Design Week di Swedia.
Baca juga: 5 Kota dengan Bangunan Arsitektur Terbaik di Dunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, gedek mulai ditinggalkan. Banyak orang kini lebih memilih material yang lebih kokoh dan modern dalam membangun rumah atau gedung seperti batu bata bahkan beton. Di samping itu, penggunaan gedek juga dianggap lebih rumit dan kurang praktis dalam perancangan bangunan.
Namun, bagi arsitek Lim Masulin, gedek justru menjadi bahan alternatif yang penting dan ramah lingkungan untuk arsitektur masa kini. Lewat perusahaan BYO Living, Lim dan sejumlah arsitek lain menggunakan teknik anyaman untuk merancang bangunan arsitektur termasuk desain interior.
Baca juga: Konsep Desain Sustainability dan Inklusif Bakal Jadi Tren Arsitektur 2024
Teknik anyaman yang awalnya lebih sering dijumpai pada produk-produk kerajinan tangan, bertransformasi menjadi pendekatan arsitektural yang bisa diaplikasikan, baik di area eksterior maupun interior bangunan. Penggunaan materialnya pun tak terbatas pada bambu atau kayu rotan, tetapi beragam bahan yang bisa dipakai untuk membuat anyaman.
Hal itu misalnya tampak pada tiang-tiang besar yang ada di bangunan Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Dalam proyek ini, BYO Living membuat anyaman besar dari bambu yang menjadi semacam pelindung bagi pilar-pilar di bandara tersebut. Anyaman itu tampak memiliki motif seperti kain tenun.
Aplikasi hampir serupa itu hadir juga dalam proyek wajah Galeri Indonesia Kaya yang baru. Arsitek tampak mendesain instalasi anyaman bambu dengan ukuran yang cukup besar. Motifnya seperti gelombang tenun melingkar yang ditempatkan di area tengah bangunan.
Penerapan anyaman yang lain bisa terlihat pada proyek desain kantin Kantor Pusat Mayora. Anyaman bambu dibuat dalam skala besar sebagai pengganti plafon yang menjulur ke bawah hingga mengisi ruang setengah bangunan. Berbeda dari anyaman sebelumnya, desain ini tampak menggunakan dua teknik anyaman dan warna yang menambah kesan estetik pada ruangan.
Tak hanya interior, pendekatan teknik anyaman dari BYO Living ini juga bisa diaplikasikan pada bagian eksterior, salah satunya fasad bangunan. Belum lama ini, mereka baru saja merampungkan desain fasad Masjid Agung Al Muttaqin Cakranegara yang berlokasi di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain menambah estetika bangunan, pola tenun yang dibuat pada masjid tersebut mengedepankan fungsi untuk menyaring intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam gedung. Pola persegi berlapis pada fasad tersebut menampilkan kesan bangunan yang kontras dan bertekstur.
Penerapan konsep yang serupa juga tampak pada gedung INK INDO yang berlokasi di Jawa Barat. BYO Living menghadirkan desain pola tenun yang dibuat secara komputasi yang dipadukan dengan fragmen modern berbahan logam tahan cuaca. Dalam bangunan ini, mereka membuat pola tenun yang berasal dari budaya Sunda bernama pola Jalujur.
Selain sebagai desain interior dan fasad bangunan, pendekatan anyaman juga dapat diaplikasikan di berbagai ornamen dekorasi dan furniture ruangan. Dekorasi lampu, kursi, meja, dan elemen berbagai bentuk bisa dibumbui dengan konsep tersebut, sehingga menghasilkan output yang estetik dan tetap modern.
Anyaman Sebagai Identitas Arsitektur Indonesia
Founder BYO Living Lim Masulin mengatakan pendekatan anyaman dalam bidang arsitektural dan interior bisa menjadi identitas yang kuat bagi arsitektur Indonesia. Pasalnya, dia menilai bahwa Indonesia memiliki kemampuan teknik menganyam yang sangat baik, yang bisa diadaptasi ke dalam berbagai material bukan hanya bambu dan kayu rotan.
"Ke depan, bangunan dengan teknik anyaman ini bisa sangat efisien salah satunya untuk mendinginkan gedung karena bisa menjadi penampang yang besar," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id di Jakarta.
Lim menegaskan sebagai sebuah teknik atau pendekatan arsitektural, anyaman bukan hanya berfungsi sebagai estetika semata melainkan terbuka untuk berbagai kebutuhan para penghuni suatu gedung atau rumah. Misalnya, anyaman pada bagian fasad bisa berfungsi sebagai penyaring sinar matahari yang masuk ataupun penutup untuk menjaga privasi penghuni.
Sebagai fasad, pendekatan anyaman memiliki beberapa kelebihan seperti lebih kuat dan tahan lama dengan penggunaan material seperti rotan dan bambu, ringan dan tahan gempa seperti prinsip rumah tahan gempa ala Jepang, serta bisa mengaplikasikan beragam variasi dan model fasad.
"Malah anyaman ini juga bisa jadi [arsitektur] ketukangan struktural. Artinya bisa bikin seluruh bangunan dari anyaman karena bahannya bisa kayu, batu bata, beton, termasuk material berteknologi tinggi," jelasnya.
Sejak berdiri pada 2016, BYO Living telah menggarap sejumlah proyek arsitektur dengan pola anyaman baik di dalam dan luar negeri seperti Menara Astra Jakarta, Robot & Co, Ecaps, dan 1/15 Coffee Senopati Jakarta. Selain itu, mereka juga telah terlibat dalam sejumlah pameran arsitektur bergengsi dunia seperti Maison & Objet di Paris, Venice Biennale di Italia, dan Stockholm Design Week di Swedia.
Baca juga: 5 Kota dengan Bangunan Arsitektur Terbaik di Dunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.