Hypereport Kemerdekaan: Gombloh, Melodi Patriotisme dalam Karya yang Menggelora
17 August 2023 |
11:00 WIB
1
Like
Like
Like
Gombloh dikenal banyak orang dari salah satu tembang yang dibawakannya berjudul Di Radio (Kugadaikan Cintaku). Musisi yang selalu tampil nyentrik dengan rambut, kumis, dan jenggotnya yang panjang itu juga terkenal berkat kepiawaiannya menulis lirik-lirik yang puitis nan misterius.
Namun, penyanyi legendaris Indonesia ini rupanya tak hanya piawai dalam lagu-lagu balada saja. Pria bernama lengkap Soedjarwoto Soemarsono itu juga beberapa kali menyematkan tema nasionalisme di lagu-lagunya.
Lagu-lagu bertema seperti itu juga kemudian menciptakan kekhasan baru. Berbeda dari lagu kebangsaan sebelum kemerdekaan yang lebih menekankan perjuangan, era pasca-kemerdekaan lebih menonjolkan sisi mencintai negeri.
Baca juga: 12 Lagu Bertema Kemerdekaan & Kebangsaan, Cocok Diputar untuk Acara 17 Agustusan
Kita bisa melihat itu di beberapa karyanya. Lagu Kebyar & Kebyar (sering disebut Kebyar-Kebyar) barang kali jadi salah satu masterpiece Gombloh di tema tersebut. Lagu yang dirilis pada 1979 tersebut masih abadi dan kerap dinyanyikan pada momen-momen penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme hingga hari ini.
Dalam lagu tersebut, meski temanya nasionalisme, Gombloh juga masih membawa resep rahasianya dalam menciptakan lirik puitis. Ia banyak menempatkan kata-kata yang bersayap dan memainkan majas yang membuat lagu ini makin bernas.
Misalnya, lirik “Indonesia merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu” yang tampak ingin menunjukkan bahwa rasa nasionalisme itu telah tertanam di dalam diri dan menyatu dengan tulang serta darah. Nasionalisme juga tak hanya bualan, tetapi juga harus mewujud dalam bentuk semangat.
Dalam lirik berikutnya, Gombloh tampak ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah identitas yang tak bisa digantikan oleh apa pun. Hal itu tercermin dari lirik “Biarpun bumi berguncang, kau tetap Indonesia-ku. Andaikan matahari terbit dari barat, Kau pun Indonesia-ku”.
Secara jenius, Gombloh juga membawa peribahasa daerah dengan mulus di lagu ini. Misalnya, lirik “Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas denganmu” yang memiliki arti segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan, maka harus disingkirkan bersama.
Lirik yang menohok rasa nasionalisme berpadu dengan irama yang ikonik membuat lagu ini tak lekang oleh zaman. Album Kebyar-Kebyar kemudian masuk ke dalam 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone. Lagu ini juga terus berputar bahkan diproduksi ulang oleh band Cokelat pada era setelah 2000-an.
Tak berhenti di situ, Gombloh juga menciptakan lagu Berkibarlah Bendera Negeriku. Dirilis pada 1990-an, sampai saat ini lagu tersebut telah di-cover banyak penyanyi Indonesia. Pada lagu ini, Gombloh lagi-lagi menunjukkan kepiawaiannya dalam memilih kata untuk menggambarkan rasa nasionalisme yang dibayangkannya.
“Berkibarlah bendera negeriku, berkibarlah engkau di dadaku, tunjukkanlah kepada dunia, semangatmu yang panas membara”. Lagu tersebut memiliki makna tentang rasa cinta dan kebanggaan seseorang terhadap bendera Tanah Air Indonesia.
Pada lirik “Berkibarlah bendera negeriku, berkibar di luas nuansamu, tunjukkanlah kepada dunia, ramah tamah budi bahasamu”, Gombloh tampak ingin menyiratkan pentingnya solidaritas terhadap masyarakat Indonesia untuk selalu mengharumkan nama bangsa.
Selanjutnya, ada lagu Kami Anak Negeri Ini yang juga tak kalah menawan. Lagu ini tampak menggambarkan anak-anak bangsa yang setiap bangun pagi mesti menyongsong hari untuk membanggakan Ibu Pertiwi.
Lirik “Kibarkan panji, kibar bendera, dirgahayu tanah ini, kami bernyanyi untukmu negeri dengan semangat di dadaku,” seolah jadi pengingat bahwa semangat untuk terus merawat bangsa itu masih selalu membara. Sebab, membangun negara adalah tugas kita semua seperti tertuang dalam lirik “Sayang, di napasmu, di pundakmu, terletak martabat bangsa”.
Penyanyi kelahiran 12 Juli 1948 ini juga mencoba menggambarkan kehidupan asri negeri dengan majas yang apik. Pada lirik “Rumput liar, riang bermimpi, di sela kicau burung” atau “Lazuardi gilang gemilang matahari pagi, membuka hari menyongsong janji” cukup menggambarkan itu.
Rentetan kombinasi manis dalam penciptaan karya ini membuat lagu-lagu bertema nasionalisme miliknya terus abadi hingga kini.
Baca juga: Hypereport: Harmoni Nasionalisme dalam Lagu-lagu Koes Plus
Tembang Kebyar-Kebyar atau bahkan Kidung Nuswantoro pada zamannya adalah lagu rock biasa, yang kebetulan sangat baik diciptakan dan dikomposisi dengan telaten oleh Gombloh. Namun, saat diperdengarkan kembali saat ini, dia bersalin rupa menjadi sebuah lagu pembangkit nasionalisme.
Namun, terlepas dari itu, Gombloh juga seorang penyanyi yang ahli menciptakan lagu anthemic, baik dalam tema nasionalisme, cinta, atau tema lain. Inilah yang kemudian menjadi kombinasi maut sehingga membuat lagunya bisa jadi seperti sekarang.
“Tentu saja nasionalisme adalah tema yang universal dan seiring berjalannya waktu lagu ini menjadi diasosiasikan dengan semangat tersebut. Jika Anda ingat lagu-lagu patriotisme Halo-Halo Bandung atau Rayuan Pulau Kelapa, ia juga punya corak yang sama dari masa itu yang kebetulan adalah masa revolusi kemerdekaan. Jadi, lagu itu akan seterusnya diasosiasikan sebagai lagu perjuangan,” jelas Taufiq kepada Hypeabis.id.
Dalam merefleksikan nasionalisme ke dalam lagu, Gombloh bukanlah musisi yang tertarik dengan heroisme dan kepahlawanan textbook ala pemerintah. Lagu-lagunya justru berkutat pada tema-tema abstrak tentang apa artinya menjadi bagian dari imagined community dengan segala macam penghargaan dan pengorbanannya.
Sang musisi juga lebih tertarik pada alam dan perjuangan manusia yang bergejolak di dalam dirinya. Di album-album lain, seperti Sekara Mayang atau Nadia, Gombloh bahkan lebih banyak bercerita tentang kemiskinan dan pengorbanan.
Dalam pandangan Taufiq, Gombloh tampak membayangkan Nusantara sebagai tanah raja-raja dari masa lalu, di mana petani dan warga bahagia karena lahan padinya subur. Indonesia modern bagi Gombloh adalah keberlanjutan dari sejarah panjang manusia Nusantara.
Di sisi lain, dia juga cukup membayangkan kegetiran. Hal ini terlihat dari bayangannya tentang masa depan ketika dunia sudah mengalami kerusakan lingkungan, seperti yang terlihat pada lirik-lirik album Nadia. Gombloh disebutnya punya kecenderungan memandang sejarah sebagai le longue duree, dari utopia masa lalu ke distopia masa depan.
Apa-apa yang dibicarakan Gombloh ini kemudian menjadi makin menarik ketika dilihat dari gejolak politik pada masa itu. Pada dekade 1960-an, misalnya, ada perintah Bung Karno untuk menyanyi dan berdansa sesuai irama Lenso dan saat itu musik-musik Barat diberangus.
Pada dekade 1970-an, dengan Pancasila dan anti-Komunisme menjadi ideologi resmi negara dan banyak lagu-lagu arus utama menggelorakan semangat tersebut. Sementara itu, di luar arus utama, ada lagu-lagu kritik sosial yang mencoba mendekonstruksi arti nasionalisme seperti itu. Gombloh ada di tengah dua arus utama itu.
Baca juga: 5 Profil Figur Penting Indonesia dalam Serial Monolog Di Tepi Sejarah
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Namun, penyanyi legendaris Indonesia ini rupanya tak hanya piawai dalam lagu-lagu balada saja. Pria bernama lengkap Soedjarwoto Soemarsono itu juga beberapa kali menyematkan tema nasionalisme di lagu-lagunya.
Lagu-lagu bertema seperti itu juga kemudian menciptakan kekhasan baru. Berbeda dari lagu kebangsaan sebelum kemerdekaan yang lebih menekankan perjuangan, era pasca-kemerdekaan lebih menonjolkan sisi mencintai negeri.
Baca juga: 12 Lagu Bertema Kemerdekaan & Kebangsaan, Cocok Diputar untuk Acara 17 Agustusan
Kita bisa melihat itu di beberapa karyanya. Lagu Kebyar & Kebyar (sering disebut Kebyar-Kebyar) barang kali jadi salah satu masterpiece Gombloh di tema tersebut. Lagu yang dirilis pada 1979 tersebut masih abadi dan kerap dinyanyikan pada momen-momen penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme hingga hari ini.
Dalam lagu tersebut, meski temanya nasionalisme, Gombloh juga masih membawa resep rahasianya dalam menciptakan lirik puitis. Ia banyak menempatkan kata-kata yang bersayap dan memainkan majas yang membuat lagu ini makin bernas.
Misalnya, lirik “Indonesia merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu” yang tampak ingin menunjukkan bahwa rasa nasionalisme itu telah tertanam di dalam diri dan menyatu dengan tulang serta darah. Nasionalisme juga tak hanya bualan, tetapi juga harus mewujud dalam bentuk semangat.
Dalam lirik berikutnya, Gombloh tampak ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah identitas yang tak bisa digantikan oleh apa pun. Hal itu tercermin dari lirik “Biarpun bumi berguncang, kau tetap Indonesia-ku. Andaikan matahari terbit dari barat, Kau pun Indonesia-ku”.
Secara jenius, Gombloh juga membawa peribahasa daerah dengan mulus di lagu ini. Misalnya, lirik “Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas denganmu” yang memiliki arti segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan, maka harus disingkirkan bersama.
Lirik yang menohok rasa nasionalisme berpadu dengan irama yang ikonik membuat lagu ini tak lekang oleh zaman. Album Kebyar-Kebyar kemudian masuk ke dalam 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone. Lagu ini juga terus berputar bahkan diproduksi ulang oleh band Cokelat pada era setelah 2000-an.
Tak berhenti di situ, Gombloh juga menciptakan lagu Berkibarlah Bendera Negeriku. Dirilis pada 1990-an, sampai saat ini lagu tersebut telah di-cover banyak penyanyi Indonesia. Pada lagu ini, Gombloh lagi-lagi menunjukkan kepiawaiannya dalam memilih kata untuk menggambarkan rasa nasionalisme yang dibayangkannya.
“Berkibarlah bendera negeriku, berkibarlah engkau di dadaku, tunjukkanlah kepada dunia, semangatmu yang panas membara”. Lagu tersebut memiliki makna tentang rasa cinta dan kebanggaan seseorang terhadap bendera Tanah Air Indonesia.
Pada lirik “Berkibarlah bendera negeriku, berkibar di luas nuansamu, tunjukkanlah kepada dunia, ramah tamah budi bahasamu”, Gombloh tampak ingin menyiratkan pentingnya solidaritas terhadap masyarakat Indonesia untuk selalu mengharumkan nama bangsa.
Selanjutnya, ada lagu Kami Anak Negeri Ini yang juga tak kalah menawan. Lagu ini tampak menggambarkan anak-anak bangsa yang setiap bangun pagi mesti menyongsong hari untuk membanggakan Ibu Pertiwi.
Lirik “Kibarkan panji, kibar bendera, dirgahayu tanah ini, kami bernyanyi untukmu negeri dengan semangat di dadaku,” seolah jadi pengingat bahwa semangat untuk terus merawat bangsa itu masih selalu membara. Sebab, membangun negara adalah tugas kita semua seperti tertuang dalam lirik “Sayang, di napasmu, di pundakmu, terletak martabat bangsa”.
Penyanyi kelahiran 12 Juli 1948 ini juga mencoba menggambarkan kehidupan asri negeri dengan majas yang apik. Pada lirik “Rumput liar, riang bermimpi, di sela kicau burung” atau “Lazuardi gilang gemilang matahari pagi, membuka hari menyongsong janji” cukup menggambarkan itu.
Rentetan kombinasi manis dalam penciptaan karya ini membuat lagu-lagu bertema nasionalisme miliknya terus abadi hingga kini.
Baca juga: Hypereport: Harmoni Nasionalisme dalam Lagu-lagu Koes Plus
Nasionalisme, Rock, & Ketelatenan Kekaryaan Gombloh
Taufiq Rahman, Founder Elevation Records yang merilis ulang piringan hitam album Gila dari Gombloh mengatakan bahwa perjalanan waktu bisa membuat lagu menjadi berbeda dari makna dan tujuan awal diciptakannya.Tembang Kebyar-Kebyar atau bahkan Kidung Nuswantoro pada zamannya adalah lagu rock biasa, yang kebetulan sangat baik diciptakan dan dikomposisi dengan telaten oleh Gombloh. Namun, saat diperdengarkan kembali saat ini, dia bersalin rupa menjadi sebuah lagu pembangkit nasionalisme.
Album musik Kebyar & Kebyar dari Lemon Tree's Anno '69 (Sumber gambar: Golden Hand Record)
“Tentu saja nasionalisme adalah tema yang universal dan seiring berjalannya waktu lagu ini menjadi diasosiasikan dengan semangat tersebut. Jika Anda ingat lagu-lagu patriotisme Halo-Halo Bandung atau Rayuan Pulau Kelapa, ia juga punya corak yang sama dari masa itu yang kebetulan adalah masa revolusi kemerdekaan. Jadi, lagu itu akan seterusnya diasosiasikan sebagai lagu perjuangan,” jelas Taufiq kepada Hypeabis.id.
Dalam merefleksikan nasionalisme ke dalam lagu, Gombloh bukanlah musisi yang tertarik dengan heroisme dan kepahlawanan textbook ala pemerintah. Lagu-lagunya justru berkutat pada tema-tema abstrak tentang apa artinya menjadi bagian dari imagined community dengan segala macam penghargaan dan pengorbanannya.
Sang musisi juga lebih tertarik pada alam dan perjuangan manusia yang bergejolak di dalam dirinya. Di album-album lain, seperti Sekara Mayang atau Nadia, Gombloh bahkan lebih banyak bercerita tentang kemiskinan dan pengorbanan.
Dalam pandangan Taufiq, Gombloh tampak membayangkan Nusantara sebagai tanah raja-raja dari masa lalu, di mana petani dan warga bahagia karena lahan padinya subur. Indonesia modern bagi Gombloh adalah keberlanjutan dari sejarah panjang manusia Nusantara.
Di sisi lain, dia juga cukup membayangkan kegetiran. Hal ini terlihat dari bayangannya tentang masa depan ketika dunia sudah mengalami kerusakan lingkungan, seperti yang terlihat pada lirik-lirik album Nadia. Gombloh disebutnya punya kecenderungan memandang sejarah sebagai le longue duree, dari utopia masa lalu ke distopia masa depan.
Apa-apa yang dibicarakan Gombloh ini kemudian menjadi makin menarik ketika dilihat dari gejolak politik pada masa itu. Pada dekade 1960-an, misalnya, ada perintah Bung Karno untuk menyanyi dan berdansa sesuai irama Lenso dan saat itu musik-musik Barat diberangus.
Pada dekade 1970-an, dengan Pancasila dan anti-Komunisme menjadi ideologi resmi negara dan banyak lagu-lagu arus utama menggelorakan semangat tersebut. Sementara itu, di luar arus utama, ada lagu-lagu kritik sosial yang mencoba mendekonstruksi arti nasionalisme seperti itu. Gombloh ada di tengah dua arus utama itu.
Baca juga: 5 Profil Figur Penting Indonesia dalam Serial Monolog Di Tepi Sejarah
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.