Melihat Realita Indonesia & Korea Selatan dalam Pameran Indonesian – Korean Art Exchange
18 July 2023 |
15:00 WIB
Indonesia dan Korea Selatan adalah dua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia. Namun, keduanya memiliki realitas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Realitas itulah yang ditunjukan oleh para seniman melalui karya seni yang ada dalam pameran Indonesian – Korean Art Exchange yang berlangsung sampai 22 Juli 2023 di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Kurator Suwarno Wisetrotomo yang melakukan pembacaan terhadap karya dalam pameran tersebut mengatakan bahwa pameran kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan tersebut menarik. “Meski ini hanya sepenggal perkembangan yang ada, setiap seniman menunjukkan problem respons terhadap realitas di masing-masing negara dengan kemampuan visual masing-masing yang kuat,” katanya kepada Hypeabis.id baru-baru ini.
Baca juga: Seniman Daniel Kho Gelar Pameran Tunggal Bertajuk Castaneda Factor di Jagad Gallery
Para seniman Indonesia menunjukkan problem tentang kemanusiaan dan lingkungan. Sementara para perupa dari negara yang kerap disebut Negeri Ginseng itu menggambarkan masalah mengenai urban dan memori kolektif.
Dalam karya yang dipamerkan, pesan kuat terkait kemanusiaan menjadi prioritas utama disampaikan Chusin Setiadikara melalui karya Melawan Bencana #1 (Banjir) (2015) dan Melawan Bencana #2 (2015): sekumpulan orang dalam rakit kayu, terapung-apung di tengah banjir.
Sang seniman melukiskan seseorang tengah melambai-lambaikan kain (Baju) meminta pertolongan di bagian atap dalam karya berukuran 200 x 306 cm dengan medium oil on canvas tersebut. Karya itu menunjukkan situasi dramatis, muram, dan haru-biru. “Suasana yang menyodok kesadaran eksistensial, antara hidup dan mati, di tengah drama kemanusiaan yang dapat menimpa siapa pun,” katanya.
Karya tersebut patut diduga terinspirasi (apropriasi) dari karya seniman Raden Saleh Sjarief Boestaman yang berjudul Banjir di Jawa Tengah yang dilukis antara 1863-1876. Sementara Raden Saleh mendapatkan inspirasi dari karya Jean-Louis Andre Theodore Gericault melalui lukisan The Raft of the Medusa (1819).
Sementara itu, dalam Melawan Bencana #2 (Pandemik) dengan ukuran 200 x 306 cm yang menggunakan medium oil on canvas,terdapat adegan yang mirip berupa kerumunan manusia, lalu lalang, bermasker, seperti di sekitar pasar, seseorang di atap beradegan sama dengan di lukisan pertama. Perbedaan dengan lukisan Melawan Bencana #1 terletak pada spirit survival yang ditampilkan oleh sang seniman.
Tema manusia dan kemanusiaan juga menjadi perhatian seniman Ivan Sagita dalam karya berjudul Jangan Patahkan Batunya I (180 x 200 cm, oil on canvas, 2023) dan Jangan Pecahkan Batunya II (60 x 80 cm, oil on canvas, 2023).
Seniman ini menggambarkan manusia-manusia pekerja berupa perempuan dan laki-laki yang sebagian membawa peralatan seperti cangkul dan pemecah batu. Manusia-manusia itu memiliki gestur lunglai yang duduk di bebatuan. Karya sang seniman ini memiliki daya sodok tentang sekelompok manusia yang memiliki nasib keras, muram, dan mungkin kalah.
“Perjuangan melawan nasib, sungguh menjadi lanskap yang absurd,” katanya.
Sementara itu, seniman Budi Ubrux mengirimkan pesan kemanusiaan dan spiritualitas dalam pameran itu kepada para penikmat karya yang mengunjungi dengan lukisan berjudul Borboudur (200 x 306 cm, oil on canvas, 2023). Budi menggambarkan salah satu keajaiban dunia itu sebagai situs yang megah di remangnya senja.
Kerumunan orang - salah seorang di antaranya biksu - berada di pelataran candi dengan tenang, hening, dan tafakur dalam sunyi. Dia menuturkan, penyerahan diri dalam doa merupakan kekuatan yang tidak tertandingi dalam menghadapi beragam persoalan.
Terkait dengan lingkungan, karya Alam Lembah Harau (194 x 608 cm, Oil on Linen, 2022) dari seniman Erizal AS adalah contoh lukisan yang dapat dijumpai oleh pengunjung. Lembah Harau adalah panorama di wilayah dekat kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat, yang berupa ngarai tebing batu pasir dan air terjun.
Sang seniman merekam dan mewujudkan keindahan Lembah Harau dari jarak pandang yang jauh, melalui warna-warna dengan pisau palet. Keindahan tentang lingkungan juga tersaji dalam karya seniman Agung Mangu Putra dengan karya berjudul Frangipani (150 x 300 cm, oil on linen, 2023). Dia menyajikan objek pohon kamboja dengan ranting dan bunga-bunga putih, sehingga menampilkan keindahan yang sejuk bagi para penikmatnya.
Seniman Kim Yong Yi dalam karya-karyanya seperti Gracious (91 x 91 cm, oil on canvas, 2023); Sacred Geometry (91 x 91 cm, oil on canvas, 2023); dan Slow Love and Complete Love (91 x 91 cm, oil on canvas, 2023) mengolah benda-benda temuan yang disusun menjadi metafora.
Metafora itu terkait dengan keramahan, cinta, kekosongan, dan nilai-nilai tersembunyi, dan lain-lain. Sementara terkait nilai kehidupan yang ringkih sekaligus kuat, harapan, realitas dan fatamorgana, ditampilkan oleh Lee Sang Yong melalui lukisan Life #1, 2, 3, 4.
Dia menuturkan, bentuk-bentuk keramik dapat dipahamai sebagai kehidupan yang penuh paradoks: dibalik kekuatan itu sekaligus tersimpan ringkih. Harapan dan realitas seringkali terperangkap pada fatamorgana, dan seterusnya.
Pelukis Kim Jong Shu mengirim pesan terkait problem urban, bagai pohon-pohon yang dibonsai melalui karya seri Urban Trees. Salah satu di antaranya adalah Urban Trees #1 (122 x 82 cm, mixed media on acrylic, 2023).
Dia menambahkan, dari karya-karya yang terdapat dalam pameran tersebut juga dapat terlihat bahwa secara umum perkembangan seni rupa kedua negara, yakni Indonesia dan Korea Selatan sama-sama pesat. “Sama-sama memiliki para seniman yang berprestasi di dunia seni rupa Internasional,” ujarnya.
Tidak hanya itu, seni kontemporer yang dimiliki oleh kedua negara juga dinilainya menarik. Menurutnya, perbedaan yang paling kontras adalah Korea Selatan jauh lebih mapan dalam hal infrstruktur seni rupa, seperti museum dan galeri nasional yang bagus serta ekosistem seni rupa yang jauh lebih mapan.
Meskipun begitu, dia melihat bahwa perbedaan itu tidak memengaruhi penciptaan karya. Namun, perbedaan yang ada berpengaruh terhadap proses tata kelola, internasionalisasi, dan sebagainya.
Sementara itu, Yince Djuwija, founder dan pemilik Yun Artified Community Art Center, mengatakan bahwa pameran ini menjadi spesial lantaran menampilkan sebagian besar karya perupa senior Indonesia. Selain itu, pameran ini juga merupakan program pertukaran antara seniman Indonesia dan internasional.
Dia berharap, pameran itu juga dapat terus membawa dan mempromosikan seniman Indonesia di dunia internasional. Dalam pameran ini, seniman Indonesia yang ikut serta adalah Sunaryo, Mangu Putra, Jemana Murti, Chusin Setiadikara, Ivan Sagita, Nasirun, Edi Sunaryo, Putu Sutawijaya, Erizal AS, dan Indyra.
Kemudian, seniman asal Korea Selatan yang berpartisipasi adalah Jakajang, Lee Sang-Yong, Kim Jong-Soo, Lee Byeong-Guk, Kim Soon-Ok, dan Kim Jong-Iy.
Baca juga: Selain Van Gogh Alive The Experience Jakarta, Ini 10 Pameran Imersif Paling Populer di Dunia
Editor: Dika Irawan
Kurator Suwarno Wisetrotomo yang melakukan pembacaan terhadap karya dalam pameran tersebut mengatakan bahwa pameran kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan tersebut menarik. “Meski ini hanya sepenggal perkembangan yang ada, setiap seniman menunjukkan problem respons terhadap realitas di masing-masing negara dengan kemampuan visual masing-masing yang kuat,” katanya kepada Hypeabis.id baru-baru ini.
Baca juga: Seniman Daniel Kho Gelar Pameran Tunggal Bertajuk Castaneda Factor di Jagad Gallery
Para seniman Indonesia menunjukkan problem tentang kemanusiaan dan lingkungan. Sementara para perupa dari negara yang kerap disebut Negeri Ginseng itu menggambarkan masalah mengenai urban dan memori kolektif.
Dalam karya yang dipamerkan, pesan kuat terkait kemanusiaan menjadi prioritas utama disampaikan Chusin Setiadikara melalui karya Melawan Bencana #1 (Banjir) (2015) dan Melawan Bencana #2 (2015): sekumpulan orang dalam rakit kayu, terapung-apung di tengah banjir.
Sang seniman melukiskan seseorang tengah melambai-lambaikan kain (Baju) meminta pertolongan di bagian atap dalam karya berukuran 200 x 306 cm dengan medium oil on canvas tersebut. Karya itu menunjukkan situasi dramatis, muram, dan haru-biru. “Suasana yang menyodok kesadaran eksistensial, antara hidup dan mati, di tengah drama kemanusiaan yang dapat menimpa siapa pun,” katanya.
Lukisan berjudul Melawan Bencana #1 (Banjir) 200 x 306 cm , oil on canvas, 2023 (Sumber gambar: katalog)
Sementara itu, dalam Melawan Bencana #2 (Pandemik) dengan ukuran 200 x 306 cm yang menggunakan medium oil on canvas,terdapat adegan yang mirip berupa kerumunan manusia, lalu lalang, bermasker, seperti di sekitar pasar, seseorang di atap beradegan sama dengan di lukisan pertama. Perbedaan dengan lukisan Melawan Bencana #1 terletak pada spirit survival yang ditampilkan oleh sang seniman.
Tema manusia dan kemanusiaan juga menjadi perhatian seniman Ivan Sagita dalam karya berjudul Jangan Patahkan Batunya I (180 x 200 cm, oil on canvas, 2023) dan Jangan Pecahkan Batunya II (60 x 80 cm, oil on canvas, 2023).
Seniman ini menggambarkan manusia-manusia pekerja berupa perempuan dan laki-laki yang sebagian membawa peralatan seperti cangkul dan pemecah batu. Manusia-manusia itu memiliki gestur lunglai yang duduk di bebatuan. Karya sang seniman ini memiliki daya sodok tentang sekelompok manusia yang memiliki nasib keras, muram, dan mungkin kalah.
“Perjuangan melawan nasib, sungguh menjadi lanskap yang absurd,” katanya.
Sementara itu, seniman Budi Ubrux mengirimkan pesan kemanusiaan dan spiritualitas dalam pameran itu kepada para penikmat karya yang mengunjungi dengan lukisan berjudul Borboudur (200 x 306 cm, oil on canvas, 2023). Budi menggambarkan salah satu keajaiban dunia itu sebagai situs yang megah di remangnya senja.
Kerumunan orang - salah seorang di antaranya biksu - berada di pelataran candi dengan tenang, hening, dan tafakur dalam sunyi. Dia menuturkan, penyerahan diri dalam doa merupakan kekuatan yang tidak tertandingi dalam menghadapi beragam persoalan.
Terkait dengan lingkungan, karya Alam Lembah Harau (194 x 608 cm, Oil on Linen, 2022) dari seniman Erizal AS adalah contoh lukisan yang dapat dijumpai oleh pengunjung. Lembah Harau adalah panorama di wilayah dekat kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat, yang berupa ngarai tebing batu pasir dan air terjun.
Lukisan berjudul Alam Lembah Harau, 194 x 608 cm, Oil on Linen, 2022 (Sumber gambar: Katalog)
Seniman Kim Yong Yi dalam karya-karyanya seperti Gracious (91 x 91 cm, oil on canvas, 2023); Sacred Geometry (91 x 91 cm, oil on canvas, 2023); dan Slow Love and Complete Love (91 x 91 cm, oil on canvas, 2023) mengolah benda-benda temuan yang disusun menjadi metafora.
Metafora itu terkait dengan keramahan, cinta, kekosongan, dan nilai-nilai tersembunyi, dan lain-lain. Sementara terkait nilai kehidupan yang ringkih sekaligus kuat, harapan, realitas dan fatamorgana, ditampilkan oleh Lee Sang Yong melalui lukisan Life #1, 2, 3, 4.
Dia menuturkan, bentuk-bentuk keramik dapat dipahamai sebagai kehidupan yang penuh paradoks: dibalik kekuatan itu sekaligus tersimpan ringkih. Harapan dan realitas seringkali terperangkap pada fatamorgana, dan seterusnya.
Pelukis Kim Jong Shu mengirim pesan terkait problem urban, bagai pohon-pohon yang dibonsai melalui karya seri Urban Trees. Salah satu di antaranya adalah Urban Trees #1 (122 x 82 cm, mixed media on acrylic, 2023).
Perkembangan Seni
Dia menambahkan, dari karya-karya yang terdapat dalam pameran tersebut juga dapat terlihat bahwa secara umum perkembangan seni rupa kedua negara, yakni Indonesia dan Korea Selatan sama-sama pesat. “Sama-sama memiliki para seniman yang berprestasi di dunia seni rupa Internasional,” ujarnya.Tidak hanya itu, seni kontemporer yang dimiliki oleh kedua negara juga dinilainya menarik. Menurutnya, perbedaan yang paling kontras adalah Korea Selatan jauh lebih mapan dalam hal infrstruktur seni rupa, seperti museum dan galeri nasional yang bagus serta ekosistem seni rupa yang jauh lebih mapan.
Meskipun begitu, dia melihat bahwa perbedaan itu tidak memengaruhi penciptaan karya. Namun, perbedaan yang ada berpengaruh terhadap proses tata kelola, internasionalisasi, dan sebagainya.
Sementara itu, Yince Djuwija, founder dan pemilik Yun Artified Community Art Center, mengatakan bahwa pameran ini menjadi spesial lantaran menampilkan sebagian besar karya perupa senior Indonesia. Selain itu, pameran ini juga merupakan program pertukaran antara seniman Indonesia dan internasional.
Dia berharap, pameran itu juga dapat terus membawa dan mempromosikan seniman Indonesia di dunia internasional. Dalam pameran ini, seniman Indonesia yang ikut serta adalah Sunaryo, Mangu Putra, Jemana Murti, Chusin Setiadikara, Ivan Sagita, Nasirun, Edi Sunaryo, Putu Sutawijaya, Erizal AS, dan Indyra.
Kemudian, seniman asal Korea Selatan yang berpartisipasi adalah Jakajang, Lee Sang-Yong, Kim Jong-Soo, Lee Byeong-Guk, Kim Soon-Ok, dan Kim Jong-Iy.
Baca juga: Selain Van Gogh Alive The Experience Jakarta, Ini 10 Pameran Imersif Paling Populer di Dunia
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.