Potensi EV dan Bahan Bakar Nabati Wujudkan Sektor Transportasi Ramah Lingkungan di Indonesia
17 July 2023 |
16:30 WIB
Polusi dari asap kendaraan konvensional dengan bahan bakar fosil memberikan dampak negatif untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Pemerintah telah memperkenalkan berbagai insentif dan kebijakan untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dan bahan bakar nabati.
Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Perhubungan, saat ini populasi kendaraan listrik di Indonesia adalah 56.988 unita. Di antaranya 13.369 Unit kendaraan roda empat, 43.224 Unit kendaraan roda dua, 306 unit kendaraan roda dua, 79 mobil bus, dan 10 unit mobil barang.
Baca juga: Tak Hanya Ramah Lingkungan, Cek Ragam Keuntungan Menggunakan Mobil Listrik
Yannes Pasaribu, Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memaparkan, demi mewujudkan sektor transportasi ramah lingkungan, saat ini sedang dikembangkan program E5 yakni penggunaan bahan bakar nabati berupa campuran 5 persen etanol dengan bahan bakar bensin konvensional.
“Program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Ada juga program B30 yang melibatkan penggunaan bahan bakar nabati dalam bentuk campuran 30 persen biodiesel dan 70?han bakar solar. Implementasi tersebut diharapkan dapat menjadi jalan keluar ditengah permasalahan naiknya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak mentah dunia.
Meski begitu, menurut Yannes, Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan mengenai penerapan transportasi ramah lingkungan. Mulai dari keterbatasan infrastruktur seperti jumlah stasiun pengisian baterai yang belum merata di sejumlah daerah.
Menurut data Perusahaan Listrik Negara (PLN) per Desember 2022, sebaran stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) ada sebanyak 505 unit di Jawa dan Bali, 37 unit di Sumatera, 13 unit di Kalimantan, 10 unit di Nusa Tenggara, 19 unit di Sulawesi, 2 unit di Maluku, dan 2 unit di Papua.
Selain itu, kendaraan ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik atau kendaraan dengan teknologi hibrida lainnya memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Pemerintah perlu memberikan insentif, seperti pemotongan pajak atau subsidi yang lebih ringkas prosedurnya.
“Ini untuk mendorong pembelian kendaraan hijau supaya lebih terjangkau bagi konsumen terbesar Indonesia yang ada di segmen pasar middle-low,” ujar Yannes.
Lebih lanjut dia memaparkan, dengan menerapkan model ekonomi hijau dalam sektor transportasi tentu akan mendorong diversifikasi sumber energi. Dengan memanfaatkan bahan bakar nabati atau energi terbarukan akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang terbatas.
Selain itu juga dapat mendorong pertumbuhan kendaraan listrik di dalam negeri dan membuat permintaan baterai meningkat pesat. Seperti yang diketahui, Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 23 persen dari cadangan dunia dengan nilai kurang lebih USD 91 triliun dg kurs USD 14.000.
Indonesia dapat memanfaatkan bahan baku nikel hingga menjadi sel baterai dan battery pack untuk EV dengan nilai tambah puluhan kali lipat. Menurutnya inovasi tersebut dapat membuat Indonesia lebih cepat masuk ke dalam kelompok negara kaya di level dunia serta meningkatkan daya saing industri. Pemanfaatan energi alternatif juga dinilai dapat membuka peluang untuk mengembangkan teknologi baru yang dapat diekspor ke pasar global.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Perhubungan, saat ini populasi kendaraan listrik di Indonesia adalah 56.988 unita. Di antaranya 13.369 Unit kendaraan roda empat, 43.224 Unit kendaraan roda dua, 306 unit kendaraan roda dua, 79 mobil bus, dan 10 unit mobil barang.
Baca juga: Tak Hanya Ramah Lingkungan, Cek Ragam Keuntungan Menggunakan Mobil Listrik
Yannes Pasaribu, Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memaparkan, demi mewujudkan sektor transportasi ramah lingkungan, saat ini sedang dikembangkan program E5 yakni penggunaan bahan bakar nabati berupa campuran 5 persen etanol dengan bahan bakar bensin konvensional.
“Program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Ada juga program B30 yang melibatkan penggunaan bahan bakar nabati dalam bentuk campuran 30 persen biodiesel dan 70?han bakar solar. Implementasi tersebut diharapkan dapat menjadi jalan keluar ditengah permasalahan naiknya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak mentah dunia.
Meski begitu, menurut Yannes, Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan mengenai penerapan transportasi ramah lingkungan. Mulai dari keterbatasan infrastruktur seperti jumlah stasiun pengisian baterai yang belum merata di sejumlah daerah.
Menurut data Perusahaan Listrik Negara (PLN) per Desember 2022, sebaran stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) ada sebanyak 505 unit di Jawa dan Bali, 37 unit di Sumatera, 13 unit di Kalimantan, 10 unit di Nusa Tenggara, 19 unit di Sulawesi, 2 unit di Maluku, dan 2 unit di Papua.
Selain itu, kendaraan ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik atau kendaraan dengan teknologi hibrida lainnya memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Pemerintah perlu memberikan insentif, seperti pemotongan pajak atau subsidi yang lebih ringkas prosedurnya.
“Ini untuk mendorong pembelian kendaraan hijau supaya lebih terjangkau bagi konsumen terbesar Indonesia yang ada di segmen pasar middle-low,” ujar Yannes.
Lebih lanjut dia memaparkan, dengan menerapkan model ekonomi hijau dalam sektor transportasi tentu akan mendorong diversifikasi sumber energi. Dengan memanfaatkan bahan bakar nabati atau energi terbarukan akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang terbatas.
Selain itu juga dapat mendorong pertumbuhan kendaraan listrik di dalam negeri dan membuat permintaan baterai meningkat pesat. Seperti yang diketahui, Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 23 persen dari cadangan dunia dengan nilai kurang lebih USD 91 triliun dg kurs USD 14.000.
Indonesia dapat memanfaatkan bahan baku nikel hingga menjadi sel baterai dan battery pack untuk EV dengan nilai tambah puluhan kali lipat. Menurutnya inovasi tersebut dapat membuat Indonesia lebih cepat masuk ke dalam kelompok negara kaya di level dunia serta meningkatkan daya saing industri. Pemanfaatan energi alternatif juga dinilai dapat membuka peluang untuk mengembangkan teknologi baru yang dapat diekspor ke pasar global.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.