Hypereport: Wisuda Tingkat Sekolah, Membahagiakan atau Merisaukan?
11 July 2023 |
16:31 WIB
Wisuda adalah momen yang biasanya dikaitkan dengan selesainya masa studi mahasiswa atau mahasiswi di perguruan tinggi. Namun, dalam perkembangannya, tradisi ini juga telah menjalar ke tingkat pendidikan di bawahnya, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA).
Belakangan, prosesi wisuda tingkat sekolah menuai pro dan kontra. Sebagian pihak merasa keberatan, karena dianggap membebani orang tua. Sebagian lainnya melihat bahwa kegiatan ini justru diperlukan untuk mengapresiasi para siswa. Dukungan dan kritik pun akhirnya berkembang di media sosial.
Baca juga: Hypereport: Lika-Liku Menata Karier & Masa Depan
Muhammad Nazar, salah satu pengajar di salah satu sekolah di Jakarta berpendapat, wajar jika puncak pencapaian seperti kelulusan sekolah dirayakan. Perayaan dengan wisuda merupakan bentuk ungkapan syukur, apresiasi, dan kenang-kenangan untuk para calon alumni sekolah setelah sekian tahun belajar.
Kegiatan tersebut dilangsungkan tiap akhir tahun ajaran baru, pihak sekolah juga memberikan keleluasaan orang tua murid apakah nantinya wisuda akan dilaksanakan atau tidak. Salah satunya dengan menggelar rapat bersama komite sekolah dan orang tua murid.
Namun, Yulia, seorang ibu di Bogor, Jawa Barat tidak setuju dengan kegiatan wisuda yang dijalankan oleh anaknya di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). “Tapi bagaimana lagi, mau tidak mau harus ikut,” ujarnya.
Baginya, kegiatan wisuda di tingkat SMP kurang bermanfaat karena acaranya tidak bermutu dari tahun ke tahun. Jadi, sebaiknya dialihkan ke acara lain yang lebih bermanfaat seperti kegiatan seni yang dapat menjalin keakraban sesama lulusan. Untuk acara wisuda sang anak, dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp350.000 sebagai biaya perpisahan.
Lantas seperti apa sebenarnya prosesi wisuda ini? Apakah pantas dirayakan di tingkat sekolah? Baca kabar selengkapnya di Hypereport edisi kali ini:
Namun, belakangan ini tren wisuda menjadi perbincangan hangat masyarakat, khususnya orang tua murid, Sebab, upacara kelulusan itu kian marak dilakukan sekolah TK, SMP, hingga SMA sederajat. Padahal, wisuda awalnya hanya diperuntukkan untuk perguruan tinggi saja.
Tren itu diawali dari rasa beban bertumpuk para siswa yang kala itu wajib melaksanakan ujian akhir Ebtanas. Rasa lega, lepas, dan bahagia itu diisi dengan kesenangan dalam bentuk perayaan bersama teman-teman. Budaya ini dipandang negatif karena sering diikuti dengan aksi konvoi keliling kota. Sejak 2000-an, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dinas Pendidikan di daerah-daerah pun sudah getol mengingatkan larangan aksi corat-coret itu.
Kini, wisuda telah menjadi fenomena baru yang unik dan menarik. Acara wisuda tidak lagi menjadi kegiatan sakral yang hanya diadakan di jenjang pendidikan tinggi, tapi jadi ritual sejak taman kanak-kanak. Banyak sekolah di tingkat usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas mengadakan kegiatan wisuda bagi para peserta didiknya sebagai seremoni kelulusan.
Baca juga: Hypereport: Dilema Gaya Hidup Wah di Balik Barang Mewah
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Belakangan, prosesi wisuda tingkat sekolah menuai pro dan kontra. Sebagian pihak merasa keberatan, karena dianggap membebani orang tua. Sebagian lainnya melihat bahwa kegiatan ini justru diperlukan untuk mengapresiasi para siswa. Dukungan dan kritik pun akhirnya berkembang di media sosial.
Baca juga: Hypereport: Lika-Liku Menata Karier & Masa Depan
Muhammad Nazar, salah satu pengajar di salah satu sekolah di Jakarta berpendapat, wajar jika puncak pencapaian seperti kelulusan sekolah dirayakan. Perayaan dengan wisuda merupakan bentuk ungkapan syukur, apresiasi, dan kenang-kenangan untuk para calon alumni sekolah setelah sekian tahun belajar.
Kegiatan tersebut dilangsungkan tiap akhir tahun ajaran baru, pihak sekolah juga memberikan keleluasaan orang tua murid apakah nantinya wisuda akan dilaksanakan atau tidak. Salah satunya dengan menggelar rapat bersama komite sekolah dan orang tua murid.
Namun, Yulia, seorang ibu di Bogor, Jawa Barat tidak setuju dengan kegiatan wisuda yang dijalankan oleh anaknya di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). “Tapi bagaimana lagi, mau tidak mau harus ikut,” ujarnya.
Baginya, kegiatan wisuda di tingkat SMP kurang bermanfaat karena acaranya tidak bermutu dari tahun ke tahun. Jadi, sebaiknya dialihkan ke acara lain yang lebih bermanfaat seperti kegiatan seni yang dapat menjalin keakraban sesama lulusan. Untuk acara wisuda sang anak, dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp350.000 sebagai biaya perpisahan.
Lantas seperti apa sebenarnya prosesi wisuda ini? Apakah pantas dirayakan di tingkat sekolah? Baca kabar selengkapnya di Hypereport edisi kali ini:
1. Sisi Lain Wisuda Tingkat Sekolah
Wisuda. Saat mendengar kalimat ini bayangan yang muncul di benak tentu saja jubah dan toga saat upacara kelulusan. Momen puncak studi mahasiswa setelah mengenyam pendidikan itu selalu diwarnai seremonial yang kadang haru, gembira, dan tentu saja sakral.Namun, belakangan ini tren wisuda menjadi perbincangan hangat masyarakat, khususnya orang tua murid, Sebab, upacara kelulusan itu kian marak dilakukan sekolah TK, SMP, hingga SMA sederajat. Padahal, wisuda awalnya hanya diperuntukkan untuk perguruan tinggi saja.
2. Membedah Urgensi Seremoni Wisuda di Tingkat Sekolah
Acara wisuda di tingkat sekolah menjadi perdebatan dalam beberapa pekan terakhir. Kegiatan syukuran untuk merayakan kelulusan peserta didik ini dikeluhkan sejumlah orang tua lantaran biaya yang dikeluarkan cukup besar dan dinilai tidak memiliki urgensi dalam dunia pendidikan. Seperti yang diutarakan Anggi, salah satu orang tua murid yang baru saja mengikuti acara wisuda putranya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah Bogor, Jawa Barat. Dia mengaku keberatan dengan upacara seremonial tersebut karena harus mengeluarkan biaya cukup besar dan terbilang dadakan.3. Lulus Sekolah Tak Hanya Tentang Hura-Hura
Sudah bertahun-tahun lamanya aksi perayaan kelulusan sekolah membudaya di dunia pendidikan Indonesia. Hanya saja, trennya terlihat berganti-ganti dari satu dekade ke dekade selanjutnya. Misalnya pada 1990-an, kebanyakan siswa SMA menutup masa sekolahnya dengan aksi corat-coret seragam pasca kelulusan.Tren itu diawali dari rasa beban bertumpuk para siswa yang kala itu wajib melaksanakan ujian akhir Ebtanas. Rasa lega, lepas, dan bahagia itu diisi dengan kesenangan dalam bentuk perayaan bersama teman-teman. Budaya ini dipandang negatif karena sering diikuti dengan aksi konvoi keliling kota. Sejak 2000-an, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dinas Pendidikan di daerah-daerah pun sudah getol mengingatkan larangan aksi corat-coret itu.
4. Ada Fenomena Menarik di Balik Baju Toga Si Kecil
Sudah sejak lama wisuda menjadi momen penting dan sakral dalam kehidupan seseorang. Ritual ini menandakan kesuksesan seseorang di bidang pendidikan, terutama penanda kelulusan dari universitas atau perguruan tinggi dan siap menyongsong dunia profesional.Kini, wisuda telah menjadi fenomena baru yang unik dan menarik. Acara wisuda tidak lagi menjadi kegiatan sakral yang hanya diadakan di jenjang pendidikan tinggi, tapi jadi ritual sejak taman kanak-kanak. Banyak sekolah di tingkat usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas mengadakan kegiatan wisuda bagi para peserta didiknya sebagai seremoni kelulusan.
Baca juga: Hypereport: Dilema Gaya Hidup Wah di Balik Barang Mewah
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.