Plakat wisuda. (Jibi/Solopos/Hypeabis.id)

Hypereport: Ada Fenomena Menarik di Balik Baju Toga Si Kecil

09 July 2023   |   20:30 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Sudah sejak lama wisuda menjadi momen penting dan sakral dalam kehidupan seseorang. Ritual ini menandakan kesuksesan seseorang di bidang pendidikan, terutama penanda kelulusan dari universitas atau perguruan tinggi dan siap menyongsong dunia profesional.

Kini, wisuda telah menjadi fenomena baru yang unik dan menarik. Acara wisuda tidak lagi menjadi kegiatan sakral yang hanya diadakan di jenjang pendidikan tinggi, tapi jadi ritual sejak taman kanak-kanak. Banyak sekolah di tingkat usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas mengadakan kegiatan wisuda bagi para peserta didiknya sebagai seremoni kelulusan.

Baca juga:
> Hypereport: Lulus Sekolah Tak Hanya Tentang Hura-Hura
Hypereport: Membedah Urgensi Seremoni Wisuda di Tingkat Sekolah
Hypereport: Sisi Lain Wisuda Tingkat Sekolah

Siswa dan siswi mengenakan toga dan memperoleh tanda telah selesai menempuh jenjang tertentu. Kegiatan yang kerap diadakan dengan meriah itu ternyata mengundang banyak reaksi dari para orang tua murid. Beberapa di antaranya setuju dengan keberadaannya. Namun, ada juga yang keberatan dan menilai bisa diganti dengan acara lain.
 
Dian Riski, salah seorang ibu di Cikarang, Jawa Barat, adalah contoh yang tidak keberatan dengan kegiatan wisuda bagi Si Kecil. “Kalau untuk saya yang kasusnya anak pertama tidak apa-apa. Soalnya sebagai orang tua pertama yang baru punya anak lulus sekolah TK itu kebanggaan tersendiri dan jadi trigger untuk anak agar lebih baik pada masa mendatang karena ada reward atas pencapaiannya,” katanya.
 
Pada tahun ini, anak pertamanya baru saja lulus taman kanak-kanak di sebuah sekolah. Sang anak mengalami kegiatan wisuda meskipun prosesnya tidak serupa dengan lulusan perguruan tinggi. Toga yang disediakan oleh sekolah hanya untuk foto.
 
Dia harus merogoh kantongnya untuk membayar biaya kelulusan sebesar Rp200.000 yang digunakan untuk sewa gedung, makan, piala/plakat, piagam, dan sebagainya. Jumlah itu tidak memberatkannya karena masih dapat dijangkau.
 
Berbeda dengan Dian, seorang ibu di Bogor, Jawa Barat, bernama Yulia mengaku tidak setuju dengan kegiatan wisuda yang dialami oleh sang anak di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) di sebuah sekolah swasta. “Tapi bagaimana lagi, mau tidak mau harus ikut,” ujarnya.
 
Baginya, kegiatan wisuda di tingkat SMP kurang bermanfaat karena acaranya tidak bermutu dari tahun ke tahun. Jadi, sebaiknya dialihkan ke acara lain yang lebih bermanfaat seperti kegiatan seni yang dapat menjalin keakraban sesama lulusan. Untuk acara wisuda sang anak, dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp350.000 sebagai biaya perpisahan.
 
Pengamat Pendidikan dari Persatuan Keluarga Tamansiswa Yogyakarta Darmaningtyas menuturkan sebenarnya kegiatan wisuda dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas termasuk baru, muncul setelah reformasi.
 
Jenjang pendidikan yang memulainya TK. Sementara itu, tingkat pendidikan dari SD, SMP, dan SMA baru mulai ada wisuda beberapa waktu belakangan. Menurutnya, kegiatan tersebut tidak memiliki makna apa-apa jika dilihat dari aspek edukatif dan hanya sebagai kebanggaan bagi orang tua.
 
Dia menjelaskan sekolah TK memulai kegiatan wisuda bagi lulusannya karena guru ingin mencari sensasi guna menarik anak kecil di sekitar sekolah mau menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Anak-anak pasti merasa senang jika terdapat acara yang dapat membuat mereka foto bareng sebagai kenangan. “Demikian pula ibu-ibu merasa bangga anaknya difoto dengan menggunakan pakaian wisuda,” katanya.
 
Kegiatan yang pada awalnya untuk promosi sekolah itu lambat laun menjadi tradisi atau budaya. Setiap kali pelepasan, penyelenggara pendidikan taman kanak-kanak kerap mengadakan acara wisuda.
 
Tradisi yang terbangun itu kemudian ditiru para penyelenggara pendidikan di SD, SMP, dan SMA/SMK/MA, sehingga juga menjadi budaya. Acara wisuda juga memiliki kepentingan bisnis, baik dari pihak sekolah, penyewaan perlengkapan wisuda, pengusaha gedung, dan sebagainya. “Tapi semua itu tidak memiliki nilai tambah untuk peningkatan kualitas pendidikan,” ujarnya.
 
Dengan begitu, maka dia meminta para penyelenggara pendidikan untuk mengembalikan tradisi lama wisuda, yakni hanya untuk lulusan perguruan tinggi. Para siswa dan siswi yang lulus TK, SD, SMP, dan SMA/SMK/MA tidak perlu melakukannya. Para lulusan cukup mengadakan acara perpisahan di aula atau halaman sekolah dengan mengadakan kegiatan seperti pentas seni.
 
Dia mengingatkan para lulusan TK, SD, SMP, dan SMA/SMK/MA tidak seluruhnya memiliki kemampuan secara ekonomi. Dengan begitu, pungutan untuk wisuda dapat membebani orang tua.
 
Saat ini, Surat Edaran Dirjen Dikdasmen terkait dengan wisuda di tingkat pendidikan awal tidak tegas melarang. Surat itu hanya mengatakan bahwa acara itu tidak wajib. “Kalau tidak wajib berarti boleh dilaksanakan, sehingga akhirnya sekolah-sekolah tetap melaksanakannya,” tegasnya.
 
Perencana Keuangan dari Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno mengatakan, kegiatan wisuda di jenjang pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA/SMK/MA yang pada awalnya sebagai bentuk rasa syukur mengalami pergeseran menjadi seperti status sosial. Tanpa keberadaanya, acara kelulusan sekolah diyakini tidak meriah dan spesial.
 
“Momen wisuda TK, SD, SMP, dan SMA sudah lebih ke arah gaya hidup,” ujarnya. “Kalau sudah bicara gaya hidup, sudah bicara konsumtif. Sebenarnya kalau tidak dikenakan biaya tidak masalah. Kalau orang tua mampu, tidak masalah,” tambahnya.
 
Namun, satu yang pasti, momen wisuda menjadi beban tambahan bagi orang tua. Di sisi lain, tidak semua orang tua memiliki kemampuan yang sama. Kondisi ini menjadi pikiran bagi keluarga lantaran dana yang dialokasikan tidak hanya untuk wisuda.
 
Biaya pasti yang harus dikeluarkan oleh orang tua adalah biaya pangkal sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Menurutnya, persiapan dana untuk ini jauh lebih penting jika dibandingkan dengan acara wisuda mengingat kegiatan itu tidak berpengaruh terhadap kelulusan dan nilai siswa atau siswi.
 
Hanya saja, keputusan untuk tidak ikut acara wisuda kemungkinan akan berdampak secara psikologi terhadap anak mengingat teman-teman yang lain mengikutinya. “Jadi, kembali lagi bagaimana komunikasi keuangan dalam keluarga, apakah sudah cukup baik atau belum. Di sini harus dievaluasi lagi di dalam keluarga manakala harus memilih antara keinginan dan kebutuhan,” paparnya.
 
Dia menuturkan memisahkan antara keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang terlihat sederhana. Namun, tidak mudah dalam penerapannya. Kegiatan wisuda yang tidak wajib dan tidak ada hubungannya dengan lulus atau tidaknya peserta didik berarti hanya keinginan, bukan kebutuhan.
 
Dengan mengutamakan dana pendidikan untuk masuk sekolah ke jenjang berikutnya, maka orang tua tidak perlu menggunakan investasi yang dimiliki guna wisuda. Dia mengingatkan bahwa biaya pendidikan masuk ke perguruan tinggi setiap tahun kian mahal.
 
“Wisuda itu cukup sekali. Pada saat anda lulus kuliah atau S1. Di jenjang pendidikan lebih awal, itu tidak wajib. Kalau ada dananya sebagai perayaan boleh saja. Sekali lagi itu lifestyle, sehingga boleh dilakukan dan boleh tidak. Tapi tidak memaksakan diri, apalagi sampai harus berhutang,” katanya.
 

Dana Pendidikan
Mike menambahkan bahwa persiapan dana sejak dini menjadi kunci agar sekolah anak dapat tetap lancar. Orang tua dapat melakukannya sejak anak berusia satu tahun. Dengan asumsi anak masuk taman kanak-kanak pada usia 5 tahun, maka ibu dan ayah memiliki waktu selama empat tahun untuk biaya pangkal masuk sekolah.
 
Orang tua memiliki waktu lebih panjang lagi jika persiapan yang dilakukan untuk anak masuk SD, SMP, SMA, atau kuliah. Masa yang tidak sebentar itu membuat orang tua memiliki banyak tabungan meskipun hanya menyisihkan Rp50.000 atau Rp100.000.
 
“Kalau setiap jenjang pendidikan sudah disiapkan selama belasan tahun, sabar, dan rutin.  TK disiapkan, SD, SMP, SMA, dan kuliah, insyaallah siap semuanya. Apalagi menabung di instrumen dengan tingkat keuntungan yang bisa diandalkan,” katanya.

Dia menuturkan ayah dan bunda hanya akan mendapatkan bunga sekitar 2 – 4 persen jika menabung di bank. Sementara itu, biaya pendidikan mengalami kenaikan setiap tahun sebesar inflasi atau lebih tinggi dari inflasi.

Dengan begitu, maka orang tua bisa menambah dengan membeli seperti emas atau reksa dana yang dapat memberikan keuntungan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tabungan. Kondisi ini membuat mereka memiliki kesempatan yang lebih besar dalam menyediakan dana pendidikan yang tidak pas-pasan.

Individu yang memiliki dana pendidikan lebih luas dapat membuat anak memiliki banyak pilihan sekolah di tempat yang cocok dengan minat dan bakat yang mungkin saja membutuhkan biaya tidak murah. Tidak hanya itu, persiapan jangka panjang juga membuat orang tua lebih siap secara keuangan dan memiliki ketenangan batik.

Baca juga: Hypereport: Lika-Liku Menata Karier & Masa Depan

Keluarga perlu melakukan kompromi jika persiapan yang dilakukan agak telat. Kompromi itu seperti pemilihan sekolah dengan tidak memaksakan diri memilih tempat belajar yang mahal karena akan menyusahkan diri.

Kemudian, keluarga juga harus melakukan kompromi terkait dengan gaya hidup dengan mengorbankan pengeluaran tidak prioritas demi biaya pendidikan anak. Orang tua juga perlu membeli asuransi pendidikan dan jiwa. Anak akan mendapat uang asuransi untuk modal pendidikan selanjutnya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap orang tua.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

WhatsApp Siapkan Fitur Anyar yang Bikin Pengguna Lebih Nyaman

BERIKUTNYA

Rekomendasi Tema MPLS Tahun Ini, Cocok untuk SMP dan SMA

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: