Melancong ke Sigi, Wisata Buana Memesona dari Sulawesi Tengah
10 July 2023 |
19:20 WIB
1
Like
Like
Like
Indonesia sungguh beruntung, sebagian wilayah Indonesia timur masuk ke dalam segitiga terumbu karang dan hutan alami. Ini adalah area geografis dimana konsentrasi keragaman flora dan fauna yang kaya dan potensial untuk perekonomian lokal. Palu dan Kabupaten Sigi tentu masuk di dalamnya.
Saya tiba di Palu sesaat sebelum tengah hari. Pesawat berjenis Airbus yang saya naiki dari Jakarta membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk mencapai kota ini. Jika menggunakan kapal laut, jarak antara dua kota tersebut bisa-bisa ditempuh selama dua hari.
Setibanya di Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufri, saya menemukan banyak sekali turis lokal. Hal ini ternyata karena Sigi sedang meyelenggarakan Festival Lestari yang penuh dengan pengenalan kekayaan kuliner dan budaya.
Baca juga: 7 Rekomendasi Tempat Wisata di Sigi, Cocok Buat Liburan Sekolah
Di dalam bandar udara pun banyak terlihat spanduk promosi pariwisata festival yang dilaksanakan pada tanggal 23 - 25 Juni 2023 lalu. Memang Sigi masih belum masuk dalam peta destinasi populer. Berbanding terbalik dengan kepulauan Togean yang berada tepat di sebelahnya.
Pemerintah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memang sedang gencar-gencarnya mengenalkan konsep investasi hijau atau investasi yang mengedepankan pelestarian lingkungan melalui Festival Lestari.
Sebagai sebuah destinasi wisata, sebetulnya Sigi menawarkan berbagai hal yang tidak kalah menarik dari Palu, Manado, atau Makassar. Fitur geologis keduanya hampir mirip, sama-sama memiliki barisan pantai yang tenang, hutan, sungai serta danau alami.
Sedikit lebih lengkap, Sigi juga memiliki dataran tinggi di mana kawasan hutan hujan tropis, sungai, dan danau masih dapat ditemukan. Wilayah ini dilalui oleh jalur pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu lempeng indo-australia, lempeng eurasia dan lempeng fasifik, sehingga termasuk daerah rawan bencana terutama gempa bumi.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pemandu kami Rian menjemput rombongan wartawan di gerbang kedatangan bandara. Saya segera masuk ke mobilnya dan langsung melesat ke pusat kota. Rian lalu membawa kami menikmati sajian khas Sulawesi Tengah, Kaki Lembu Donggala, atau disingkat Kaledo.
Kaledo ini awalnya merupakan hidangan istimewa yang disajikan untuk para bangsawan dan petinggi kerajaan yang telah ada sejak abad ke-16. Kini kuliner ini sangat populer di kalangan penduduk Sulawesi Tengah, baik lokal maupun wisatawan dari luar daerah.
Jika kalian penasaran dengan kelezatan kuliner Kaledo ini, kamu bisa membayangkan sensasi nikmatnya seperti menyantap sop buntut yang terkenal. Tidak hanya cita rasanya yang mirip, tetapi juga penampakan Kaledo yang hampir serupa dengan sop buntut yang terkenal itu. Yang membedakan Keistimewaan Kaledo terletak pada sumsum tulang yang diserumput dengan sedotan.
Setelah kenyang, Rian membawa kami ke Masjid Terapung Palu atau Masjid Arkam Babu Rahman di Kampung Lere, Teluk Palu. Masjid ini adalah saksi bencana gempa, tsunami, dan Likuifaksi Palu pada 28 September 2018 lalu.
Masjid ini mengalami keruntuhan dan terbawa ke laut. Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum gempa, tiang-tiang penopang masjid yang menopang hingga 10 meter sudah tak ada lagi. Jalan yang menghubungkan daratan dengan masjid apung juga tak terlihat lagi.
Namun, sore ini pemandangan terlihat sungguh elok. Kita dapat menyapu pandangan dari perbukitan hingga pusat kota yang semarak sebagai latar. Matahari pun mulai lingsir ke barat dan lampu-lampu kota mulai menyala.
Pegunungan bagian selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memang tidak mudah dilalui. Namun, meski demikian, ada alasan kuat yang membuat desa-desa di pegunungan ini layak dikunjungi wisawatan. Memang, Berkunjung ke Sigi tidak lengkap namanya apabila tidak berkunjung ke Paralayang Wayu yang berlokasi di Desa Wayu, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Jarak Kota Palu dengan Paralayang Wayu ini hanya sekitar 20 km saja, sehingga untuk mencapai lokasi saya hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam lebih saja. Akses menuju tempat wisata ini relatif mudah karena dapat diakses dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Jalanan tanah yang sudah diratakan merupakan sebuah anugerah yang patut kami syukuri.
Terlepas dari fakta beberapa jalan lain hanya berupa setapak yang melintasi sungai, melewati lereng bekas longsor, atau bahkan jalan yang dipenuhi batuan besar. Sebagai informasi tambahan, Desa Wayu terletak di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut (mdpl), di kawasan Pegunungan Gawalise yang indah.
Keberadaan desa ini pada posisi geografis yang demikian memberikan pengalaman unik kepada pengunjung, dengan pemandangan yang memukau seperti sebuah negeri di atas awan.
Kebetulan Kabupaten Sigi sedang menggelar Festival Lestari V yang diselenggarakan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada 23-25 Juni 2023. Sedang atraksi paralayang ini menjadi salah satu acara pembuka yang digelar pada 22 Juni 2023. Beruntung setelah melakukan pengundian, saya termasuk salah satu yang berhasil mendapatkan tiket tandem dengan instruktur paralayang lokal.
Sembari menunggu giliran saya terbang, saya menikmati secangkir kopi robusta di sebuah warung strategis yang terletak di depan landasan terbang paralayang. Terlihat beberapa penerbang dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Kabupaten Sigi semakin menyemarakkan suasananya.
Selain kopi, menikmati durian Sigi adalah hal yang wajib saya coba. Hampir semua masyarakat desa di Kecamatan Marawola Barat memiliki kebun durian. Selain itu, buah ini dimuliakan oleh masyarakat adat suku Kaili Da'a. Pohon durian dianggap sebagai makhluk hidup dan tidak boleh ditebang secara sembarangan.
Durian khas Sigi yang tumbuh subur di pegunungan ini memiliki fisik lebih kecil dan berkulit tebal dibandingkan durian montong. Namun rasa boleh diadu, kecil-kecil begini rasanya manis. Uniknya lagi, durian yang dijual biasanya matang di kebun atau langsung jatuh dari pohon. Namun, karena saya akan paralayang jadi saya hanya berani mencicip satu buah saja. Sekadar menyesapi manisnya kehidupan.
Mumpung pengalaman pertama mencoba paralayang, untuk mengurangi ketegangan saya berbincang dengan paraglider dan travel blogger Satya Winnie mengatakan keistimewaan dari aktivitas paralayang dari Desa Wayu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, adalah pemandangannya.
“Kita bisa melihat teluk, sungai, pegunungan, dan perkotaan yang dapat dinikmati dari satu titik sekaligus,” ujar perempuan berambut panjang itu.
Tak hanya itu, Ketua Paralayang Indonesia, Asgaf Ahmad Umar, yang hadir dalam rangkaian acara tersebut mengatakan Desa Wayu memiliki unsur-unsur penting pendukug paralayang, salah satunya adalah thermal atau panas udara. Perlu diketahui, untuk menaikkan ketinggian parasut, penerbang paralayang tak hanya membutuhkan dorongan angin, tetapi juga thermal.
"Desa Wayu adalah satu-satunya tempat di Indonesia, bahkan di Asia, dengan spesifikasi thermal yang sesuai dengan olahraga paralayang. Itulah alasan mengapa Federasi Aerosport Dunia menilai Desa Wayu sebagai salah satu tempat terbaik untuk berparalayang di dunia," jelas Asgar.
Andi Lasippi, Ketua Majelis Adat Kecamatan Marawola Barat yang turut hadir dalam event ini, mengatakan pariwisata paralayang di Desa Wayu tidak lepas dari peran masyarakat adat. "Masyarakat khususnya suku Kaili sangat terbuka akan perubahan, sehingga melakukan pelbagai inovasi, salah satunya pada olahraga ekstrem ini," ujarnya.
Sebelumnya, tempat paralayang sebelumnya berada di Desa Mantatimali yang lebih rendah dari tempat sekarang. Gotong royong dengan izin dari pihak dinas pariwisata dan komunikasi yang baik, membuat masyarakat adat mau memberi tempat untuk olahraga ekstrem tersebut.
Andi menambahkan hendak menekankan pengenalan budaya di Desa Wayu, agar tradisi semakin dikenal. "Mungkin nantinya, setiap wisatawan yang berkunjung akan diwajibkan menggunakan siga (penutup kepala khas suku Kaili) dan tidak boleh datang dengan pakaian setengah-setengah (terbuka)," lanjutnya.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya saya dapat giliran terbang. Beruntungnya lagi tandem saya adalah salah seorang pilot paralayang senior di Sigi, mas Ikal Rivaldi. Setelah mempelajari teknik take off dan landing, saya berlari menuju jurang dengan mantap.
Selain pemandangan yang tiada duanya, saya juga merasakan hembusan angin yang lumayan kuat di langit. Alih-alih takut, saya malah merasa senang dan nyaman “terbang” di langit. Hanya satu kesalahan saya, meminta mas Ikal melakukan manuver layaknya roller coaster. Rasa-rasanya isi perut saya melompat ke atas kepala. Setelah hampir satu jam beratraksi, saya memohon untuk landing.
Sembari mengistirahatkan diri, saya membeli beberapa bungkus kopi untuk dibawa pulang ke Jakarta lusa nanti. Beberapa penjual kopi kemasan yang saya tanya mengatakan kopi varietas robusta memang paling banyak ditanam di Sigi. Namun, karena musim panennya yang jarang dan perubahan iklim, beberapa pegiat kopi memulai budidaya varietas arabika.
Beragam brand-brand kopi juga kini sudah dikemas dengan cantik, contohnya Pipikoro dan Sebati. Kopi Sebati merupakan Arabika Dombu yang ditanam pada ketinggian 1200 - 1600 MDPL di Desa Dombu. Sedang Pipikoro merupakan varietas robusta yang berasal dari Kecamatan Pipikoro atau Kulawi Raya.
Selain itu, bawang goreng organik juga merupakan oleh-oleh yang diminati turis belakangan. Selain rasanya yang khas dan tidak pahit, bawang goreng khas Sigi juga dijual dengan harga yang sepadan. Harum, garing, dan bahkan cocok dimakan sebagai camilan.
Banyak hal yang bisa kalian lakukan di Sigi. Mulai dari aktivitas paralayang, hiking di Hutan Beka Ranjuri, melihat peninggalan peradaban Lembah Besoa du Taman Nasional Lore Lindu, hingga berinteraksi dengan penduduk lokal.
Namun jika kalian memilih untuk tidak melakukan apa pun dan hanya bersantai di tepi pantai, itu juga merupakan pilihan yang tak salah. Suasana yang tenang, udara segar, keindahan pantai, dan kebebasan dari email pekerjaan sudah jadi cukup alasan untuk berlibur sambil menikmati kedamaian di Sigi.
Baca juga: Rekomendasi Oleh-oleh Khas Sigi, Wajib Dicoba!
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Saya tiba di Palu sesaat sebelum tengah hari. Pesawat berjenis Airbus yang saya naiki dari Jakarta membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk mencapai kota ini. Jika menggunakan kapal laut, jarak antara dua kota tersebut bisa-bisa ditempuh selama dua hari.
Setibanya di Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufri, saya menemukan banyak sekali turis lokal. Hal ini ternyata karena Sigi sedang meyelenggarakan Festival Lestari yang penuh dengan pengenalan kekayaan kuliner dan budaya.
Baca juga: 7 Rekomendasi Tempat Wisata di Sigi, Cocok Buat Liburan Sekolah
Di dalam bandar udara pun banyak terlihat spanduk promosi pariwisata festival yang dilaksanakan pada tanggal 23 - 25 Juni 2023 lalu. Memang Sigi masih belum masuk dalam peta destinasi populer. Berbanding terbalik dengan kepulauan Togean yang berada tepat di sebelahnya.
Pemerintah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memang sedang gencar-gencarnya mengenalkan konsep investasi hijau atau investasi yang mengedepankan pelestarian lingkungan melalui Festival Lestari.
Sebagai sebuah destinasi wisata, sebetulnya Sigi menawarkan berbagai hal yang tidak kalah menarik dari Palu, Manado, atau Makassar. Fitur geologis keduanya hampir mirip, sama-sama memiliki barisan pantai yang tenang, hutan, sungai serta danau alami.
Sedikit lebih lengkap, Sigi juga memiliki dataran tinggi di mana kawasan hutan hujan tropis, sungai, dan danau masih dapat ditemukan. Wilayah ini dilalui oleh jalur pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu lempeng indo-australia, lempeng eurasia dan lempeng fasifik, sehingga termasuk daerah rawan bencana terutama gempa bumi.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pemandu kami Rian menjemput rombongan wartawan di gerbang kedatangan bandara. Saya segera masuk ke mobilnya dan langsung melesat ke pusat kota. Rian lalu membawa kami menikmati sajian khas Sulawesi Tengah, Kaki Lembu Donggala, atau disingkat Kaledo.
Kaledo ini awalnya merupakan hidangan istimewa yang disajikan untuk para bangsawan dan petinggi kerajaan yang telah ada sejak abad ke-16. Kini kuliner ini sangat populer di kalangan penduduk Sulawesi Tengah, baik lokal maupun wisatawan dari luar daerah.
Jika kalian penasaran dengan kelezatan kuliner Kaledo ini, kamu bisa membayangkan sensasi nikmatnya seperti menyantap sop buntut yang terkenal. Tidak hanya cita rasanya yang mirip, tetapi juga penampakan Kaledo yang hampir serupa dengan sop buntut yang terkenal itu. Yang membedakan Keistimewaan Kaledo terletak pada sumsum tulang yang diserumput dengan sedotan.
Kaledo. (Sumber gambar: Hypeabis/Gita Carla)
Setelah kenyang, Rian membawa kami ke Masjid Terapung Palu atau Masjid Arkam Babu Rahman di Kampung Lere, Teluk Palu. Masjid ini adalah saksi bencana gempa, tsunami, dan Likuifaksi Palu pada 28 September 2018 lalu.
Masjid ini mengalami keruntuhan dan terbawa ke laut. Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum gempa, tiang-tiang penopang masjid yang menopang hingga 10 meter sudah tak ada lagi. Jalan yang menghubungkan daratan dengan masjid apung juga tak terlihat lagi.
Namun, sore ini pemandangan terlihat sungguh elok. Kita dapat menyapu pandangan dari perbukitan hingga pusat kota yang semarak sebagai latar. Matahari pun mulai lingsir ke barat dan lampu-lampu kota mulai menyala.
Pesona Paralayang Matantimali
Paralayang. (Sumber gambar: Festival Lestari/LTKL)
Pegunungan bagian selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memang tidak mudah dilalui. Namun, meski demikian, ada alasan kuat yang membuat desa-desa di pegunungan ini layak dikunjungi wisawatan. Memang, Berkunjung ke Sigi tidak lengkap namanya apabila tidak berkunjung ke Paralayang Wayu yang berlokasi di Desa Wayu, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Jarak Kota Palu dengan Paralayang Wayu ini hanya sekitar 20 km saja, sehingga untuk mencapai lokasi saya hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam lebih saja. Akses menuju tempat wisata ini relatif mudah karena dapat diakses dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Jalanan tanah yang sudah diratakan merupakan sebuah anugerah yang patut kami syukuri.
Terlepas dari fakta beberapa jalan lain hanya berupa setapak yang melintasi sungai, melewati lereng bekas longsor, atau bahkan jalan yang dipenuhi batuan besar. Sebagai informasi tambahan, Desa Wayu terletak di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut (mdpl), di kawasan Pegunungan Gawalise yang indah.
Keberadaan desa ini pada posisi geografis yang demikian memberikan pengalaman unik kepada pengunjung, dengan pemandangan yang memukau seperti sebuah negeri di atas awan.
Kebetulan Kabupaten Sigi sedang menggelar Festival Lestari V yang diselenggarakan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada 23-25 Juni 2023. Sedang atraksi paralayang ini menjadi salah satu acara pembuka yang digelar pada 22 Juni 2023. Beruntung setelah melakukan pengundian, saya termasuk salah satu yang berhasil mendapatkan tiket tandem dengan instruktur paralayang lokal.
Sembari menunggu giliran saya terbang, saya menikmati secangkir kopi robusta di sebuah warung strategis yang terletak di depan landasan terbang paralayang. Terlihat beberapa penerbang dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Kabupaten Sigi semakin menyemarakkan suasananya.
Selain kopi, menikmati durian Sigi adalah hal yang wajib saya coba. Hampir semua masyarakat desa di Kecamatan Marawola Barat memiliki kebun durian. Selain itu, buah ini dimuliakan oleh masyarakat adat suku Kaili Da'a. Pohon durian dianggap sebagai makhluk hidup dan tidak boleh ditebang secara sembarangan.
Durian Sigi (Sumber gambar: Festival Lestari/LTKL)
Durian khas Sigi yang tumbuh subur di pegunungan ini memiliki fisik lebih kecil dan berkulit tebal dibandingkan durian montong. Namun rasa boleh diadu, kecil-kecil begini rasanya manis. Uniknya lagi, durian yang dijual biasanya matang di kebun atau langsung jatuh dari pohon. Namun, karena saya akan paralayang jadi saya hanya berani mencicip satu buah saja. Sekadar menyesapi manisnya kehidupan.
Mumpung pengalaman pertama mencoba paralayang, untuk mengurangi ketegangan saya berbincang dengan paraglider dan travel blogger Satya Winnie mengatakan keistimewaan dari aktivitas paralayang dari Desa Wayu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, adalah pemandangannya.
“Kita bisa melihat teluk, sungai, pegunungan, dan perkotaan yang dapat dinikmati dari satu titik sekaligus,” ujar perempuan berambut panjang itu.
Tak hanya itu, Ketua Paralayang Indonesia, Asgaf Ahmad Umar, yang hadir dalam rangkaian acara tersebut mengatakan Desa Wayu memiliki unsur-unsur penting pendukug paralayang, salah satunya adalah thermal atau panas udara. Perlu diketahui, untuk menaikkan ketinggian parasut, penerbang paralayang tak hanya membutuhkan dorongan angin, tetapi juga thermal.
"Desa Wayu adalah satu-satunya tempat di Indonesia, bahkan di Asia, dengan spesifikasi thermal yang sesuai dengan olahraga paralayang. Itulah alasan mengapa Federasi Aerosport Dunia menilai Desa Wayu sebagai salah satu tempat terbaik untuk berparalayang di dunia," jelas Asgar.
Andi Lasippi, Ketua Majelis Adat Kecamatan Marawola Barat yang turut hadir dalam event ini, mengatakan pariwisata paralayang di Desa Wayu tidak lepas dari peran masyarakat adat. "Masyarakat khususnya suku Kaili sangat terbuka akan perubahan, sehingga melakukan pelbagai inovasi, salah satunya pada olahraga ekstrem ini," ujarnya.
Sebelumnya, tempat paralayang sebelumnya berada di Desa Mantatimali yang lebih rendah dari tempat sekarang. Gotong royong dengan izin dari pihak dinas pariwisata dan komunikasi yang baik, membuat masyarakat adat mau memberi tempat untuk olahraga ekstrem tersebut.
Andi menambahkan hendak menekankan pengenalan budaya di Desa Wayu, agar tradisi semakin dikenal. "Mungkin nantinya, setiap wisatawan yang berkunjung akan diwajibkan menggunakan siga (penutup kepala khas suku Kaili) dan tidak boleh datang dengan pakaian setengah-setengah (terbuka)," lanjutnya.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya saya dapat giliran terbang. Beruntungnya lagi tandem saya adalah salah seorang pilot paralayang senior di Sigi, mas Ikal Rivaldi. Setelah mempelajari teknik take off dan landing, saya berlari menuju jurang dengan mantap.
Selain pemandangan yang tiada duanya, saya juga merasakan hembusan angin yang lumayan kuat di langit. Alih-alih takut, saya malah merasa senang dan nyaman “terbang” di langit. Hanya satu kesalahan saya, meminta mas Ikal melakukan manuver layaknya roller coaster. Rasa-rasanya isi perut saya melompat ke atas kepala. Setelah hampir satu jam beratraksi, saya memohon untuk landing.
Sembari mengistirahatkan diri, saya membeli beberapa bungkus kopi untuk dibawa pulang ke Jakarta lusa nanti. Beberapa penjual kopi kemasan yang saya tanya mengatakan kopi varietas robusta memang paling banyak ditanam di Sigi. Namun, karena musim panennya yang jarang dan perubahan iklim, beberapa pegiat kopi memulai budidaya varietas arabika.
Beragam brand-brand kopi juga kini sudah dikemas dengan cantik, contohnya Pipikoro dan Sebati. Kopi Sebati merupakan Arabika Dombu yang ditanam pada ketinggian 1200 - 1600 MDPL di Desa Dombu. Sedang Pipikoro merupakan varietas robusta yang berasal dari Kecamatan Pipikoro atau Kulawi Raya.
Selain itu, bawang goreng organik juga merupakan oleh-oleh yang diminati turis belakangan. Selain rasanya yang khas dan tidak pahit, bawang goreng khas Sigi juga dijual dengan harga yang sepadan. Harum, garing, dan bahkan cocok dimakan sebagai camilan.
Banyak hal yang bisa kalian lakukan di Sigi. Mulai dari aktivitas paralayang, hiking di Hutan Beka Ranjuri, melihat peninggalan peradaban Lembah Besoa du Taman Nasional Lore Lindu, hingga berinteraksi dengan penduduk lokal.
Namun jika kalian memilih untuk tidak melakukan apa pun dan hanya bersantai di tepi pantai, itu juga merupakan pilihan yang tak salah. Suasana yang tenang, udara segar, keindahan pantai, dan kebebasan dari email pekerjaan sudah jadi cukup alasan untuk berlibur sambil menikmati kedamaian di Sigi.
Baca juga: Rekomendasi Oleh-oleh Khas Sigi, Wajib Dicoba!
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.