Pemetaan Penonton & Kolaborasi Antar Seniman Penting untuk Menguatkan Ekosistem Seni Pertunjukan
05 July 2023 |
11:24 WIB
1
Like
Like
Like
Seni pertunjukan merupakan entitas kesenian yang terus berkembang. Namun, minimnya pendataan statistik perkembangan ekosistem seni pertunjukan acapkali membuat unit kesenian ini terpinggirkan jika dibandingkan dengan film dan konser musik.
Kondisi ini lah yang akhirnya membuat para pelaku seni pertunjukan kerap kesulitan untuk mengakses bantuan pendanaan dan infrastruktur dari para pemangku kepentingan.
Berangkat dari kondisi tersebut, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bekerja sama dengan para pelaku seni pertunjukan mencoba untuk membaca dan memetakan pertumbuhan jumlah penonton seni pertunjukan tari dan teater di Jakarta, baik pada platform bertaraf nasional maupun internasional yang muncul pada skala produksi sepanjang 2017-2022.
Baca juga: Begini Strategi Para Artpreneur Tingkatkan Bisnis Seni Pertunjukan & Konser
Data dan pembacaan ini dimaksudkan dapat menjadi sebuah tawaran konkret bagi para pemangku kepentingan untuk mendukung kegiatan seni teater dan tari mulai dari skala individu, komunitas hingga lingkup kota serta secara sistematis mengalokasikan dana bagi pengembangan kegiatan teater sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan.
Hasilnya, ditemukan bahwa jumlah komunitas seni teater di Jakarta sepanjang lima tahun tersebut sebanyak 75 komunitas, sedangkan pada seni tari berjumlah 47 komunitas. Jumlah ini pun diprediksi terus bertambah hingga hari ini.
Namun, jumlah komunitas yang ada rupanya belum diimbangi dengan ketersediaan ruang presentasi karya atau pertunjukan yang ada di Jakarta. Hasil pemetaan mencatat bahwa hanya ada 19 ruang pertunjukan dan 4 ruang alternatif di Jakarta dengan rerata kapasitas penonton sebanyak 200-300 kursi.
Sementara dari sisi jumlah penonton, riset ini menyasar pada perhelatan beberapa festival seni tari dan teater besar tahunan yang digelar di ibu kota baik secara tatap muka maupun online, yang dianggap mewakili ekosistem seni pertunjukan. Hasilnya ditemukan bahwa minat masyarakat untuk menonton seni pertunjukan masih cukup besar.
Misalnya Helatari yang rutin diselenggarakan oleh Komunitas Salihara mampu mendatangkan hingga 6.027 penonton daring dalam gelarannya selama dua minggu pada 2021, serta Musim Seni Salihara 2022 yang mencatat 1.660 penonton selama satu bulan penyelenggaraannya. Bahkan, Jakarta Dance Meet Up 2020 mampu mendatangkan hingga 496.860 penonton daring selama dua minggu.
Sementara itu, pada festival pertunjukan teater, ditemukan bahwa jumlah penonton Djakarta Teater Platform tahun 2019 mencatatkan 3.920 penonton secara tatap muka, dan Festival Teater Jakarta yang mencatatkan 5.323 penonton pada tahun yang sama.
Udiarti, Penulis sekaligus Anggota Mirat Kolektif, menjelaskan dari pemetaan tersebut disimpulkan bahwa jumlah komunitas seni pertunjukan yang ada lebih banyak dari jumlah ruang pertunjukan yang tersedia. Selain itu, hingga saat ini, masih banyak komunitas tari dan teater di Jakarta yang belum membuat pendataan penonton secara spesifik, terutama untuk pertunjukan tatap muka (offline).
"Faktor utamanya sistem tiket yang masih manual sehingga butuh waktu untuk mengumpulkan datanya, beda dengan penonton daring yang memang sudah otomatis terdata," katanya.
Oleh karena itu, dia menyampaikan perlu adanya kesadaran dari para pelaku seni pertunjukan untuk mendata jumlah penonton sebagai penunjang pencarian sponsor sekaligus mengetahui tipe penonton sebagai pangsa audiens yang bisa disasar. Selain itu, perlu juga adanya strategi bagi para komunitas seni untuk menggali kemungkinan adanya subsidi silang pada kebutuhan ruang pertunjukan.
"Misalnya di Jakarta Utara berpotensi untuk menumbuhkan ruang-ruang untuk riset atau di Jakarta Selatan dengan situasi seperti itu, berpotensi untuk menjadi hub presentasi karya," paparnya.
Menurutnya, dengan memetakan potensi di tiap-tiap ruang tersebut, para pelaku seni dan komunitas bisa lebih bereksplorasi dalam proses penciptaan karya untuk mendiversifikasi penonton yang ingin diraih, bukan hanya dari segi kuantitas tapi juga kualitas.
Rebecca juga menuturkan perlu adanya kesadaran untuk menumbuhkan budaya pertemuan antarkomunitas seni teater dalam bentuk kegiatan diskusi atau pitching forum, alih-alih hanya berfokus pada penciptaan karya. Hal ini, paparnya, bisa menjadi ruang untuk saling menginformasikan potensi sekaligus membuka peluang kerja sama antar pelaku seni.
"Jadi saling silang gitu. Kita bisa mengatasi kemacetan yang terjadi di ruang-ruang utama yang susah diakses karena kebijakan, harga, dan sebagainya. Penggunaan ruang untuk membuat ekosistem seni pertunjukan berkelanjutan menjadi sangat penting," imbuhnya.
Hampir senada, Anggota Komite Tari DKJ, Josh Marcy, menilai seni pertunjukan saat ini tidak bisa hanya dilihat sebatas praktik artistik dari senimannya saja, tetapi perlu menjadi satu platform yang luas dengan saling keterlibatan dan keterhubungan para pelaku seni, sehingga muncul potensi keberlanjutan pada ekosistem seni pertunjukan itu sendiri.
Berangkat dari kesadaran tersebut, Komite Seni Tari DKJ pun rutin menggelar Lokakarya Artistic Development, sebuah proses untuk mengembangkan kapasitas artistik dan penciptaan karya yang lebih mengutamakan dialog dan percakapan antarseniman. Untuk memperluas sekup dialog ini, mereka juga bekerja sama dengan Yayasan Kelola dan Southeast Asia Choreographers Network (SEACN).
Tak hanya berasal dari seniman atau komunitas tari, program tersebut juga membuka pintu untuk para seniman lintas disiplin seni seperti teater, performans, dan musik. Menurut Josh, hal ini menjadi penting dilakukan untuk semakin memperluas gagasan artistik baik dari praktik maupun disiplin masing-masing seniman.
"Dari perlintasan-perlintasan ini maka pertemuan antar ekosistem (seni) pun terjadi," ucapnya.
Sementara itu, Aktris sekaligus Pendiri Teater Koma Ratna Riantiarno menilai diperlukan penelitian yang komprehensif dan berkelanjutan terkait pertumbuhan jumlah penonton seni pertunjukan di Indonesia. Sebab, menurutnya, antara penonton pertunjukan dengan festival teater memiliki karakter yang berbeda.
Meski demikian, dia menilai kesadaran masyarakat untuk menonton seni pertunjukan masih minim jika dibandingkan dengan Broadway di Amerika yang bisa menggelar pementasan hingga satu tahun lamanya. Oleh karena itu, kata Ratna, masing-masing komunitas atau kelompok teater perlu memiliki strategi untuk bisa terus menggaet penonton.
Baca juga: Seni Pertunjukan Diperkirakan Kian Mendapat Hati di Masyarakat
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Kondisi ini lah yang akhirnya membuat para pelaku seni pertunjukan kerap kesulitan untuk mengakses bantuan pendanaan dan infrastruktur dari para pemangku kepentingan.
Berangkat dari kondisi tersebut, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bekerja sama dengan para pelaku seni pertunjukan mencoba untuk membaca dan memetakan pertumbuhan jumlah penonton seni pertunjukan tari dan teater di Jakarta, baik pada platform bertaraf nasional maupun internasional yang muncul pada skala produksi sepanjang 2017-2022.
Baca juga: Begini Strategi Para Artpreneur Tingkatkan Bisnis Seni Pertunjukan & Konser
Data dan pembacaan ini dimaksudkan dapat menjadi sebuah tawaran konkret bagi para pemangku kepentingan untuk mendukung kegiatan seni teater dan tari mulai dari skala individu, komunitas hingga lingkup kota serta secara sistematis mengalokasikan dana bagi pengembangan kegiatan teater sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan.
Hasilnya, ditemukan bahwa jumlah komunitas seni teater di Jakarta sepanjang lima tahun tersebut sebanyak 75 komunitas, sedangkan pada seni tari berjumlah 47 komunitas. Jumlah ini pun diprediksi terus bertambah hingga hari ini.
Namun, jumlah komunitas yang ada rupanya belum diimbangi dengan ketersediaan ruang presentasi karya atau pertunjukan yang ada di Jakarta. Hasil pemetaan mencatat bahwa hanya ada 19 ruang pertunjukan dan 4 ruang alternatif di Jakarta dengan rerata kapasitas penonton sebanyak 200-300 kursi.
Sementara dari sisi jumlah penonton, riset ini menyasar pada perhelatan beberapa festival seni tari dan teater besar tahunan yang digelar di ibu kota baik secara tatap muka maupun online, yang dianggap mewakili ekosistem seni pertunjukan. Hasilnya ditemukan bahwa minat masyarakat untuk menonton seni pertunjukan masih cukup besar.
Misalnya Helatari yang rutin diselenggarakan oleh Komunitas Salihara mampu mendatangkan hingga 6.027 penonton daring dalam gelarannya selama dua minggu pada 2021, serta Musim Seni Salihara 2022 yang mencatat 1.660 penonton selama satu bulan penyelenggaraannya. Bahkan, Jakarta Dance Meet Up 2020 mampu mendatangkan hingga 496.860 penonton daring selama dua minggu.
Sementara itu, pada festival pertunjukan teater, ditemukan bahwa jumlah penonton Djakarta Teater Platform tahun 2019 mencatatkan 3.920 penonton secara tatap muka, dan Festival Teater Jakarta yang mencatatkan 5.323 penonton pada tahun yang sama.
Udiarti, Penulis sekaligus Anggota Mirat Kolektif, menjelaskan dari pemetaan tersebut disimpulkan bahwa jumlah komunitas seni pertunjukan yang ada lebih banyak dari jumlah ruang pertunjukan yang tersedia. Selain itu, hingga saat ini, masih banyak komunitas tari dan teater di Jakarta yang belum membuat pendataan penonton secara spesifik, terutama untuk pertunjukan tatap muka (offline).
"Faktor utamanya sistem tiket yang masih manual sehingga butuh waktu untuk mengumpulkan datanya, beda dengan penonton daring yang memang sudah otomatis terdata," katanya.
Oleh karena itu, dia menyampaikan perlu adanya kesadaran dari para pelaku seni pertunjukan untuk mendata jumlah penonton sebagai penunjang pencarian sponsor sekaligus mengetahui tipe penonton sebagai pangsa audiens yang bisa disasar. Selain itu, perlu juga adanya strategi bagi para komunitas seni untuk menggali kemungkinan adanya subsidi silang pada kebutuhan ruang pertunjukan.
Ilustrasi pertunjukan tari (Sumber gambar: Yiran Ding/Unsplash)
Diskusi & Kolaborasi
Anggota Komite Teater DKJ, Rebecca Kezia, mengatakan ekosistem seni pertunjukan bukan hanya dilihat dari sisi pertunjukannya saja, tetapi juga harus memastikan keberlangsungan diskusi dan riset antarkomunitas. Oleh karena itu, perlu adanya pemetaan potensi lokal dari segi infrastruktur di masing-masing daerah di Jakarta untuk mendukung keberlangsungan kegiatan tersebut."Misalnya di Jakarta Utara berpotensi untuk menumbuhkan ruang-ruang untuk riset atau di Jakarta Selatan dengan situasi seperti itu, berpotensi untuk menjadi hub presentasi karya," paparnya.
Menurutnya, dengan memetakan potensi di tiap-tiap ruang tersebut, para pelaku seni dan komunitas bisa lebih bereksplorasi dalam proses penciptaan karya untuk mendiversifikasi penonton yang ingin diraih, bukan hanya dari segi kuantitas tapi juga kualitas.
Rebecca juga menuturkan perlu adanya kesadaran untuk menumbuhkan budaya pertemuan antarkomunitas seni teater dalam bentuk kegiatan diskusi atau pitching forum, alih-alih hanya berfokus pada penciptaan karya. Hal ini, paparnya, bisa menjadi ruang untuk saling menginformasikan potensi sekaligus membuka peluang kerja sama antar pelaku seni.
"Jadi saling silang gitu. Kita bisa mengatasi kemacetan yang terjadi di ruang-ruang utama yang susah diakses karena kebijakan, harga, dan sebagainya. Penggunaan ruang untuk membuat ekosistem seni pertunjukan berkelanjutan menjadi sangat penting," imbuhnya.
Hampir senada, Anggota Komite Tari DKJ, Josh Marcy, menilai seni pertunjukan saat ini tidak bisa hanya dilihat sebatas praktik artistik dari senimannya saja, tetapi perlu menjadi satu platform yang luas dengan saling keterlibatan dan keterhubungan para pelaku seni, sehingga muncul potensi keberlanjutan pada ekosistem seni pertunjukan itu sendiri.
Berangkat dari kesadaran tersebut, Komite Seni Tari DKJ pun rutin menggelar Lokakarya Artistic Development, sebuah proses untuk mengembangkan kapasitas artistik dan penciptaan karya yang lebih mengutamakan dialog dan percakapan antarseniman. Untuk memperluas sekup dialog ini, mereka juga bekerja sama dengan Yayasan Kelola dan Southeast Asia Choreographers Network (SEACN).
Tak hanya berasal dari seniman atau komunitas tari, program tersebut juga membuka pintu untuk para seniman lintas disiplin seni seperti teater, performans, dan musik. Menurut Josh, hal ini menjadi penting dilakukan untuk semakin memperluas gagasan artistik baik dari praktik maupun disiplin masing-masing seniman.
"Dari perlintasan-perlintasan ini maka pertemuan antar ekosistem (seni) pun terjadi," ucapnya.
Sementara itu, Aktris sekaligus Pendiri Teater Koma Ratna Riantiarno menilai diperlukan penelitian yang komprehensif dan berkelanjutan terkait pertumbuhan jumlah penonton seni pertunjukan di Indonesia. Sebab, menurutnya, antara penonton pertunjukan dengan festival teater memiliki karakter yang berbeda.
Meski demikian, dia menilai kesadaran masyarakat untuk menonton seni pertunjukan masih minim jika dibandingkan dengan Broadway di Amerika yang bisa menggelar pementasan hingga satu tahun lamanya. Oleh karena itu, kata Ratna, masing-masing komunitas atau kelompok teater perlu memiliki strategi untuk bisa terus menggaet penonton.
Baca juga: Seni Pertunjukan Diperkirakan Kian Mendapat Hati di Masyarakat
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.