Pernikahan Dini Memunculkan Fenomena Missing Women, Simak Penjelasannya
27 June 2023 |
20:15 WIB
Jumlah pernikahan usia dini di Indonesia mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut data UNICEF pada akhir tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN sebagai negara dengan jumlah pernikahan tertinggi di dunia dengan total hampir 1,5 juta kasus.
Di sisi lain, menurut data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini sepanjang 2022, atau hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya.
Baca juga: Menengok Pernikahan Bernuansa Elegan Adinia Wirasti, Ada Detail Unik di Gaunnya
Hingga 2022, perempuan di bawah usia 16 tahun menjadi kelompok yang paling banyak terlibat dari kasus pernikahan dini atau sebanyak 14,15 persen.
Prevalensi tersebut meningkat secara signifikan selama pandemi Covid-19, didorong oleh faktor-faktor seperti naiknya angka putus sekolah, kondisi ekonomi keluarga yang menurun, kepatuhan terhadap agama dan adat istiadat, serta pengaruh teman-teman sejawat yang menikah dini.
Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah mengamandemen Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019, yang menaikkan usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.
Dampak Negatif Pernikahan Dini
Sebuah studi yang dilakukan Research Fellow Monash University menunjukkan bahwa praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30 persen di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status atau kondisi kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.
Danusha Jayawardana, Peneliti dari Research Fellow Monash University menjelaskan studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.
Apalagi, bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial. "Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan," katanya.
Selain itu, studi yang sama juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Danusha mengatakan dari penelitian yang dilakukan, amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan.
Apalagi, ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.
Meningkatkan Fenomena Missing Women
Danusha juga menjelaskan bahwa temuan fakta studi tersebut semakin memperjelas fenomena missing women atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia. Pernikahan usia dini, paparnya, seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan.
Hal tersebut jug berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko seperti menyakiti diri sendiri. Oleh karena itu, Danusha menjelasan bahwa dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini.
Baca juga: Hypereport: Pemaknaan Luas Generasi Muda tentang Janji Suci Pernikahan
“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," jelas Danusha.
Editor: Fajar Sidik
Di sisi lain, menurut data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini sepanjang 2022, atau hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya.
Baca juga: Menengok Pernikahan Bernuansa Elegan Adinia Wirasti, Ada Detail Unik di Gaunnya
Hingga 2022, perempuan di bawah usia 16 tahun menjadi kelompok yang paling banyak terlibat dari kasus pernikahan dini atau sebanyak 14,15 persen.
Prevalensi tersebut meningkat secara signifikan selama pandemi Covid-19, didorong oleh faktor-faktor seperti naiknya angka putus sekolah, kondisi ekonomi keluarga yang menurun, kepatuhan terhadap agama dan adat istiadat, serta pengaruh teman-teman sejawat yang menikah dini.
Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah mengamandemen Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019, yang menaikkan usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.
Dampak Negatif Pernikahan Dini
Sebuah studi yang dilakukan Research Fellow Monash University menunjukkan bahwa praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30 persen di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status atau kondisi kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.
Pernikahan dini memberi dampak buruk khususnya bagi perempuan (Sumber gambar: Samantha Gades/Unsplash)
Danusha Jayawardana, Peneliti dari Research Fellow Monash University menjelaskan studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.
Apalagi, bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial. "Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan," katanya.
Selain itu, studi yang sama juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Danusha mengatakan dari penelitian yang dilakukan, amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan.
Apalagi, ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.
Meningkatkan Fenomena Missing Women
Danusha juga menjelaskan bahwa temuan fakta studi tersebut semakin memperjelas fenomena missing women atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia. Pernikahan usia dini, paparnya, seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan.
Hal tersebut jug berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko seperti menyakiti diri sendiri. Oleh karena itu, Danusha menjelasan bahwa dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini.
Baca juga: Hypereport: Pemaknaan Luas Generasi Muda tentang Janji Suci Pernikahan
“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," jelas Danusha.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.