77 Tahun Berlalu, Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia Jatuh Pada 17 Agustus 1945
16 June 2023 |
17:38 WIB
Setelah 77 tahun, pemerintah Belanda akhirnya mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia. Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, didampingi Wopke Hoekstra sebagai Menteri Luar Negeri dan Kajsa Ollorongren sebagai Menteri Pertahanan, meminta maaf dan menyatakan Belanda mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan tersebut diumumkan itu di hadapan anggota parlemen pada 14 Juni 2023 dan secara formal menandai babak baru pemahaman sejarah Belanda terhadap revolusi kemerdekaan Indonesia. Selama ini Belanda menganggap Kemerdekaan RI jatuh pada 27 Desember 1949, yakni saat Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB).
Baca juga: Asal-usul Panjat Pinang, Lomba 17 Agustusan Warisan Orang-Orang Belanda
Bonnie Triyana, sejarawan Indonesia, dalam rilisnya memaparkan, dalam menanggapi pengakuan kemerdekaan oleh perdana menteri Belanda tersebut, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi.
Perlu diketahui sebelumnya pada 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot pernah menyatakan bahwa pemerintah Belanda menerima kenyataan bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Ben Bot menggunakan kata 'menerima kenyataan' (aanvaarden) yang memiliki arti berbeda dengan mengakui (erkent atau to recognize) yang diucapkan Rutte.
Dengan beggitu, Rutte jelas-jelas mengatakan bahwa dia, atas nama pemerintah Belanda, mengakui (erkent) kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, pada kesempatan tersebut Rute juga menyampaikan bahwa kekerasan yang terjadi semasa revolusi kemerdekaan Indonesia di luar Konvensi Jenewa.
Artinya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia namun tak mengakui adanya kejahatan perang. Alasannya, menurut Belanda, peristiwa itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa 1949. Sehingga kesepakatan internasional yang mengatur perlindungan kemanusiaan dalam perang itu belum berlaku.
Rutte mengakui kekerasan Belanda terhadap warga Indonesia secara moral, namun tidak secara yuridis. Kemudian ini berujung pada kesimpulan bahwa secara legal kekerasan serdadu Belanda terhadap warga Indonesia tidak bisa dianggap sebagai kejahatan perang.
Berdasarkan pernaytatannya, Rutte seolah menghindari konsekuensi hukum dari tindakan Belanda semasa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Ini menjadikan pengakuan tersebut tak ada bedanya dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari pejabat Belanda.
Baca juga: Pameran Slavery di Rijksmuseum Tampilkan Sejarah Kelam Perbudakan Kolonial Belanda
Melihat kembali catatan sejarah, sebulan semenjak Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, serdadu Belanda masuk kembali ke Indonesia di bawah bendera tentara sekutu Inggris. Kedatangan serdadu Belanda itu membuat situasi tegang serta penuh kekerasan. Kemudian, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Menyusul kemudian, pada 19 Desember 1948 Agresi Militer Kedua.
Setelah perdana menteri Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, artinya dia juga mengakui bahwa Indonesia sudah menjadi sebuah negara merdeka. Maka dua agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke Indonesia sama artinya dengan invasi ke sebuah negara merdeka.
Agresi itu bertentangan dengan prinsip dalam Atlantik Charter 1941 yang menyatakan bahwa perluasan wilayah melalui sebuah agresi tidaklah dibenarkan. Dua agresi itu pun melanggar Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada 10 Desember 1948 atau sembilan hari sebelum Belanda menyerang Indonesia.
Namun demikian, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia ini menjadi momentum penting bagi kedua bangsa untuk belajar dari sejarah kelam kolonialisme. Praktik perbudakan, penindasan, diskriminasi, rasialisme, dan kekerasan oleh negara terhadap warganya dan kekerasan horizontal antarwarga harus segera diakhiri.
Bonnie Triyana berpendapat, di masa yang akan datang diharapkan hubungan kedua bangsa semakin erat, tanpa harus melupakan apa yang terjadi di masa lalu, atau bahkan menghindari soal-soal penting di dalam pengungkapan sejarah itu.
Kerjasama kedua negara mestinya bisa lebih baik dan lebih erat berdasarkan prinsip-prinsip kepercayaan (trust) dan kesetaraan (equality). Bentuk konkret dari kerjasama ini bisa saja dalam bentuk pemberian visa on arrival kepada warga Indonesia yang hendak berkunjung ke Belanda.
Karena selama ini pemberian fasilitas tersebut sudah disediakan bagi warga Belanda saat berkunjung ke Indonesia untuk kunjungan singkat. Kerja sama lain yang bisa menjadi wujud hubungan baik kedua negara adalah dalam bidang pendidikan, pertanian, atau sektor penting lainnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Pengakuan tersebut diumumkan itu di hadapan anggota parlemen pada 14 Juni 2023 dan secara formal menandai babak baru pemahaman sejarah Belanda terhadap revolusi kemerdekaan Indonesia. Selama ini Belanda menganggap Kemerdekaan RI jatuh pada 27 Desember 1949, yakni saat Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB).
Baca juga: Asal-usul Panjat Pinang, Lomba 17 Agustusan Warisan Orang-Orang Belanda
Bonnie Triyana, sejarawan Indonesia, dalam rilisnya memaparkan, dalam menanggapi pengakuan kemerdekaan oleh perdana menteri Belanda tersebut, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi.
1. Belanda tak mengakui kejahatan perang
Perlu diketahui sebelumnya pada 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot pernah menyatakan bahwa pemerintah Belanda menerima kenyataan bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Ben Bot menggunakan kata 'menerima kenyataan' (aanvaarden) yang memiliki arti berbeda dengan mengakui (erkent atau to recognize) yang diucapkan Rutte.Dengan beggitu, Rutte jelas-jelas mengatakan bahwa dia, atas nama pemerintah Belanda, mengakui (erkent) kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, pada kesempatan tersebut Rute juga menyampaikan bahwa kekerasan yang terjadi semasa revolusi kemerdekaan Indonesia di luar Konvensi Jenewa.
Artinya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia namun tak mengakui adanya kejahatan perang. Alasannya, menurut Belanda, peristiwa itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa 1949. Sehingga kesepakatan internasional yang mengatur perlindungan kemanusiaan dalam perang itu belum berlaku.
Rutte mengakui kekerasan Belanda terhadap warga Indonesia secara moral, namun tidak secara yuridis. Kemudian ini berujung pada kesimpulan bahwa secara legal kekerasan serdadu Belanda terhadap warga Indonesia tidak bisa dianggap sebagai kejahatan perang.
Berdasarkan pernaytatannya, Rutte seolah menghindari konsekuensi hukum dari tindakan Belanda semasa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Ini menjadikan pengakuan tersebut tak ada bedanya dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari pejabat Belanda.
Baca juga: Pameran Slavery di Rijksmuseum Tampilkan Sejarah Kelam Perbudakan Kolonial Belanda
2. Agresi militer belanda melanggar Piagam PBB
Melihat kembali catatan sejarah, sebulan semenjak Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, serdadu Belanda masuk kembali ke Indonesia di bawah bendera tentara sekutu Inggris. Kedatangan serdadu Belanda itu membuat situasi tegang serta penuh kekerasan. Kemudian, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Menyusul kemudian, pada 19 Desember 1948 Agresi Militer Kedua. Setelah perdana menteri Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, artinya dia juga mengakui bahwa Indonesia sudah menjadi sebuah negara merdeka. Maka dua agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke Indonesia sama artinya dengan invasi ke sebuah negara merdeka.
Agresi itu bertentangan dengan prinsip dalam Atlantik Charter 1941 yang menyatakan bahwa perluasan wilayah melalui sebuah agresi tidaklah dibenarkan. Dua agresi itu pun melanggar Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada 10 Desember 1948 atau sembilan hari sebelum Belanda menyerang Indonesia.
3. Hubungan kedua negara diharapkan bisa lebih erat
Namun demikian, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia ini menjadi momentum penting bagi kedua bangsa untuk belajar dari sejarah kelam kolonialisme. Praktik perbudakan, penindasan, diskriminasi, rasialisme, dan kekerasan oleh negara terhadap warganya dan kekerasan horizontal antarwarga harus segera diakhiri.Bonnie Triyana berpendapat, di masa yang akan datang diharapkan hubungan kedua bangsa semakin erat, tanpa harus melupakan apa yang terjadi di masa lalu, atau bahkan menghindari soal-soal penting di dalam pengungkapan sejarah itu.
Kerjasama kedua negara mestinya bisa lebih baik dan lebih erat berdasarkan prinsip-prinsip kepercayaan (trust) dan kesetaraan (equality). Bentuk konkret dari kerjasama ini bisa saja dalam bentuk pemberian visa on arrival kepada warga Indonesia yang hendak berkunjung ke Belanda.
Karena selama ini pemberian fasilitas tersebut sudah disediakan bagi warga Belanda saat berkunjung ke Indonesia untuk kunjungan singkat. Kerja sama lain yang bisa menjadi wujud hubungan baik kedua negara adalah dalam bidang pendidikan, pertanian, atau sektor penting lainnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.