Pameran Slavery di Rijksmuseum Tampilkan Sejarah Kelam Perbudakan Kolonial Belanda
19 May 2021 |
16:58 WIB
Rijksmuseum di Amsterdam membuka pameran besar pertamanya bertajuk Slavery pada Selasa (18/5), yang diresmikan secara langsung oleh Raja Willem-Alexander.
Pameran tersebut mengajak pengunjung untuk menyaksikan kembali sejarah masa penjajahan 250 tahun negara itu, dengan fokus pada perdagangan budak trans-Atlantik yang dioperasikan oleh Perusahaan Hindia Barat Belanda, dan perbudakan kolonial di Asia dan Afrika Selatan selama masa Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Taco Dibbits, Direktur Rijksmuseum mengatakan, mereka tidak berniat memihak dalam debat politik dan budaya tetapi menyoroti bahwa kekayaan yang didapat dan kekejaman yang dialami tidak hanya relevan unuk keturunan dari mereka yang diperbudak.
Pameran pertama tentang perdagangan budak Belanda ini bukanlah untuk menjadi 'hakim' dari sejarah tetapi menceritakan kisah secara transparan tentang Belanda di Zaman Keemasan, kata direktur jenderal lembaga nasional tersebut.
Valika Smeulders, kurator pameran dan kepala sejarah Rijksmuseum, mengatakan sangat penting untuk menggali sejarah lisan karena kurangnya properti dan bukti tertulis dari orang-orang yang diperbudak.
Salah satu pengungkapan yang suram dari pameran tersebut, adalah pengekang leher dari kuningan yang didekorasi dengan mewah disumbangkan ke Rijksmuseum pada tahun 1881 dan diukir dengan lambang keluarga keluarga Nassau, Vianden dan Dietz, bertanggal 1689.
Menurut Smeulders, kalung itu kemungkinan besar bukan kalung anjing, seperti yang diperkirakan semula, tetapi kalung yang dikenakan oleh orang-orang kulit hitam yang diperbudak yang dibawa kembali ke Belanda sebagai pelayan.
Pedagang Belanda mengirim lebih dari 600.000 orang Afrika ke utara dan Amerika Selatan dan antara 660.000 dan 1,1 juta orang di sekitar Samudera Hindia.
Dampak dari kelamnya praktik perbudakan oleh Belanda kala itu masih menjadi perdebatan hingga hari ini.
Setelah beberapa dekade, tahun lalu Raja Willem-Alexander meminta maaf atas kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh penjajah Belanda di Indonesia.
Namun, Dibbits mengatakan museum tidak ingin menginstruksikan orang tentang apa yang harus dipikirkan terkait hal tersebut, museum hanya berupaya untuk menjadi pelengkap sejarah.
Rencana untuk menggelar pameran dengan tema perbudakan di Rijksmuseum, Amsterdam, telah diumumkan pertama kali pada tahun 2017 dan mendapat tentangan.
Rijksmuseum saat ini tetap tertutup untuk umum tetapi tur digital tersedia dan pelajar diundang secara gratis.
Adapun, pameran akan berlangsung hingga 29 Agustus mendatang.
Editor: Indyah Sutriningrum
Pameran tersebut mengajak pengunjung untuk menyaksikan kembali sejarah masa penjajahan 250 tahun negara itu, dengan fokus pada perdagangan budak trans-Atlantik yang dioperasikan oleh Perusahaan Hindia Barat Belanda, dan perbudakan kolonial di Asia dan Afrika Selatan selama masa Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Taco Dibbits, Direktur Rijksmuseum mengatakan, mereka tidak berniat memihak dalam debat politik dan budaya tetapi menyoroti bahwa kekayaan yang didapat dan kekejaman yang dialami tidak hanya relevan unuk keturunan dari mereka yang diperbudak.
Pameran pertama tentang perdagangan budak Belanda ini bukanlah untuk menjadi 'hakim' dari sejarah tetapi menceritakan kisah secara transparan tentang Belanda di Zaman Keemasan, kata direktur jenderal lembaga nasional tersebut.
Valika Smeulders, kurator pameran dan kepala sejarah Rijksmuseum, mengatakan sangat penting untuk menggali sejarah lisan karena kurangnya properti dan bukti tertulis dari orang-orang yang diperbudak.
Salah satu pengungkapan yang suram dari pameran tersebut, adalah pengekang leher dari kuningan yang didekorasi dengan mewah disumbangkan ke Rijksmuseum pada tahun 1881 dan diukir dengan lambang keluarga keluarga Nassau, Vianden dan Dietz, bertanggal 1689.
Menurut Smeulders, kalung itu kemungkinan besar bukan kalung anjing, seperti yang diperkirakan semula, tetapi kalung yang dikenakan oleh orang-orang kulit hitam yang diperbudak yang dibawa kembali ke Belanda sebagai pelayan.
Pedagang Belanda mengirim lebih dari 600.000 orang Afrika ke utara dan Amerika Selatan dan antara 660.000 dan 1,1 juta orang di sekitar Samudera Hindia.
Dampak dari kelamnya praktik perbudakan oleh Belanda kala itu masih menjadi perdebatan hingga hari ini.
Setelah beberapa dekade, tahun lalu Raja Willem-Alexander meminta maaf atas kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh penjajah Belanda di Indonesia.
Namun, Dibbits mengatakan museum tidak ingin menginstruksikan orang tentang apa yang harus dipikirkan terkait hal tersebut, museum hanya berupaya untuk menjadi pelengkap sejarah.
Rencana untuk menggelar pameran dengan tema perbudakan di Rijksmuseum, Amsterdam, telah diumumkan pertama kali pada tahun 2017 dan mendapat tentangan.
Rijksmuseum saat ini tetap tertutup untuk umum tetapi tur digital tersedia dan pelajar diundang secara gratis.
Adapun, pameran akan berlangsung hingga 29 Agustus mendatang.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.