Dunia Lain Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat
15 June 2023 |
11:59 WIB
Di balik keseriusannya sebagai seorang ilmuwan, dosen, dan akademisi, Koentjaraningrat memiliki sisi lain yang mungkin sulit dibayangkan oleh banyak orang, yakni seorang pelukis. Pria yang dikenal sebagai Bapak Antropologi Indonesia itu mampu menghasilkan karya seni layaknya seorang perupa profesional.
Karya berjudul Chininta Satar di Kuncir (30 x 44 cm, pinsil hitam di atas kertas, 1988) dan Rina Tamara (35 x 51 cm, cat air berwarna di atas kertas, 1986) terpampang dalam pameran 100th Koentjaraningrat di Bentara Budaya, Jakarta.
Baca juga: Merawat Warisan Bapak Antropolog Indonesia Lewat Pameran 100 Tahun Koentjaraningrat
Dua lukisan itu merupakan sedikit contoh karya Koentjaraningrat yang dengan objek manusia yang terlihat hidup dengan ekspresinya. Tidak hanya itu, para penikmat seni juga dapat melihat kepiawaian tokoh besar antropologi ini dalam menggunakan medium cat air yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.
Apresiator juga tidak tidak akan pernah menyangka jika pencipta lukisan itu adalah seorang ilmuwan dan akademisi jika tidak terlebih dahulu membaca atau mengetahui tentang sosok Koentjaraningrat.
Bagi Kurator Pameran Efix Mulyadi, Koentjaraningrat adalah seorang yang sangat mahir dalam melukis, mengenal bahan yang dipakai, tubuh sendiri, dan memiliki jari-jari yang 'artistik'. Garis dalam lukisannya begitu luwes dan memiliki kekuatan artistik.
“Garis yang dibuat sekaligus mengonstruksi bentuk dan bangun yang sudah dengan sendirinya berirama dan kuat, sehingga para penikmat seni merasa yakin [Akan kemampuannya],” katanya dalam diskusi yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Kemampuan pria yang juga kerap disapa Pak Koen itu memiliki kemampuan dalam mengontrol blobor cat air yang luar biasa ketat. Padahal, dia secara spontan menuangkan medium cat air dengan kuas di atas kanvas.
Teknik dan kemampuannya melukis membuat Efix meyakini bahwa Pak Koen memiliki berkah dan bukan sekedar hasil latihan atau ilmu.
Senada dengan penilaian Efix, Asikin Hasan, Kurator Galeri Nasional Indonesia dan Galeri Salihara, menyebutkan bahwa kemampuan melukis sang profesor sangat mumpuni jika melihat karya-karya yang pernah dihasilkannya.
Pria yang pernah melilhat hampir seluruh lukisan Koentjaraningrat ini menuturkan bahwa garis yang dibuat oleh Koentjaraningrat begitu tepat. Dia seolah mengetahui letak garis yang dibuat harus berhenti ketika menggoreskannya di atas medium kanvas atau lainnya. Selain itu, garis – garis yang digoreskan juga efisien, selalu tepat, dan hampir tidak ada bekas dihapus olehnya.
Asikin menilai, Koentjaraningrat juga mampu menangkap karakter ketika melukis objek orang. Para penikmat seni dapat langsung menangkap pesan yang ada di dalam lukisan, seperti ibu-ibu dari suku Jawa atau suku lainnya.
Menurutnya, proporsi dan gestur gerak orang dalam objek lukisan Pak Koen juga terlihat begitu matang. Sementara saat menggambar suasana atau lansekap, dia juga mampu melakukannya dengan sangat baik.
Ada dua cara bagi Koentjaraningrat dalam melukis objek. Pertama adalah melalui foto. Kedua, pengamatan langsung terhadap objek yang ingin dilukis. Meskipun begitu, karya yang dihasilkan tetap sangat luar biasa. Saat hendak melukis, dia mendapati bahwa sang seniman juga kerap membuat sketsa terlebih dahulu.
Meskipun memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melukis, Koentjaraningrat tentu bukan S. Sudjojono yang dalam berkesenian memiliki pemikiran dan ideologi yang dicerminkan dalam karyanya atau terdapat realitas yang ingin ditampilkan.
Karya seni lukis yang dibuat oleh Pak Koen berkisar tentang kehidupan di sekitarnya, seperti lukisan tentang anak berjudul Chininta Satar Menengok (23 x 30 cm, cat air berwarna di atas kertas, 1987) atau budaya seperti dalam lukisan berjudul Anak-anak Sasak (48,5 x 69 cm, cat minyak di atas kanvas, 1990), dan sebagainya.
Dia memperkirakan bahwa sang profesor menemukan lukisan sebagai suatu dunia lain. Pak Koen yang terus berada di dunia pendidikan yang sarat formal dan cenderung membosankan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang realitas yang dialami dengan melukis.
Selain itu, sang antroplog juga mencoba memainkan perannya menjadi anak-anak dengan melukis. Dalam diri manusia, terdapat peran-peran yang harus dijalankannya. Ketika menjadi dosen, Pak Koen membangkitkan peran sebagai orang tua dengan memberikan tugas, marah, dan sebagainya.
“Ketika [menjadi] seniman, [berperan] menjadi anak-anak karena kepolosan, spontanitas, kebebasan, dan sebagainya ada dalam anak-anak. Makanya seniman mencoba seperti anak-anak. Kalau dilihat, Pak Koen seperti itu juga. Ada aspek anak-anak,” katanya.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ilmuwan itu melukis sebagai bentuk refreshing walaupun dia belajar melukis dengan serius. Kegiatan berkarya ini juga sudah disukainya sejak kecil atau sebelum sang seniman menjadi akademisi.
Antropolog Iwan M. Pirous yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut menilai terdapat kemungkinan subjektivitas Pak Koen berganti ketika pengalaman estetis masuk ke dalam diri. Dia menuturkan subjek manusia tidak tunggal dan dapat berganti-ganti.
Menurutnya, Pak Koen bertindak sebagai seorang pelukis ketika berada di belakang panggung ilmuwan antropologi. Peradaban yang tidak mengenal dualitas subjek membuatnya tidak pernah merasa sebagai pelukis. Melukis dianggapnya sebagai hobi walaupun karyanya terlalu sempurna.
Menurut Iwan, ada koneksi antara dunia sains dan seni dalam karya-karya Koentjaraningrat. Dari karya itu, mungkin disiplin ilmu antropologi atau ilmu sosial lainnya mungkin bisa belajar bahwa etnografi bisa sangat visual.
Baca juga: Mengenal Dunia dari Sudut Pandang Seniman Syakieb Sungkar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Karya berjudul Chininta Satar di Kuncir (30 x 44 cm, pinsil hitam di atas kertas, 1988) dan Rina Tamara (35 x 51 cm, cat air berwarna di atas kertas, 1986) terpampang dalam pameran 100th Koentjaraningrat di Bentara Budaya, Jakarta.
Baca juga: Merawat Warisan Bapak Antropolog Indonesia Lewat Pameran 100 Tahun Koentjaraningrat
Dua lukisan itu merupakan sedikit contoh karya Koentjaraningrat yang dengan objek manusia yang terlihat hidup dengan ekspresinya. Tidak hanya itu, para penikmat seni juga dapat melihat kepiawaian tokoh besar antropologi ini dalam menggunakan medium cat air yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.
Apresiator juga tidak tidak akan pernah menyangka jika pencipta lukisan itu adalah seorang ilmuwan dan akademisi jika tidak terlebih dahulu membaca atau mengetahui tentang sosok Koentjaraningrat.
Anak-anak Sasak, Koentjaraningrat (1990). (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
“Garis yang dibuat sekaligus mengonstruksi bentuk dan bangun yang sudah dengan sendirinya berirama dan kuat, sehingga para penikmat seni merasa yakin [Akan kemampuannya],” katanya dalam diskusi yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Kemampuan pria yang juga kerap disapa Pak Koen itu memiliki kemampuan dalam mengontrol blobor cat air yang luar biasa ketat. Padahal, dia secara spontan menuangkan medium cat air dengan kuas di atas kanvas.
Teknik dan kemampuannya melukis membuat Efix meyakini bahwa Pak Koen memiliki berkah dan bukan sekedar hasil latihan atau ilmu.
Anak Badui Dalam | 50 x 70 cm | Cat minyak di atas kanvas, 1990 (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Senada dengan penilaian Efix, Asikin Hasan, Kurator Galeri Nasional Indonesia dan Galeri Salihara, menyebutkan bahwa kemampuan melukis sang profesor sangat mumpuni jika melihat karya-karya yang pernah dihasilkannya.
Pria yang pernah melilhat hampir seluruh lukisan Koentjaraningrat ini menuturkan bahwa garis yang dibuat oleh Koentjaraningrat begitu tepat. Dia seolah mengetahui letak garis yang dibuat harus berhenti ketika menggoreskannya di atas medium kanvas atau lainnya. Selain itu, garis – garis yang digoreskan juga efisien, selalu tepat, dan hampir tidak ada bekas dihapus olehnya.
Asikin menilai, Koentjaraningrat juga mampu menangkap karakter ketika melukis objek orang. Para penikmat seni dapat langsung menangkap pesan yang ada di dalam lukisan, seperti ibu-ibu dari suku Jawa atau suku lainnya.
Menurutnya, proporsi dan gestur gerak orang dalam objek lukisan Pak Koen juga terlihat begitu matang. Sementara saat menggambar suasana atau lansekap, dia juga mampu melakukannya dengan sangat baik.
Pasir Pesisir | 58 x 49 cm | Cat Minyak di atas Kanvas, 1995 (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supryanto)
Ada dua cara bagi Koentjaraningrat dalam melukis objek. Pertama adalah melalui foto. Kedua, pengamatan langsung terhadap objek yang ingin dilukis. Meskipun begitu, karya yang dihasilkan tetap sangat luar biasa. Saat hendak melukis, dia mendapati bahwa sang seniman juga kerap membuat sketsa terlebih dahulu.
Meskipun memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melukis, Koentjaraningrat tentu bukan S. Sudjojono yang dalam berkesenian memiliki pemikiran dan ideologi yang dicerminkan dalam karyanya atau terdapat realitas yang ingin ditampilkan.
Karya seni lukis yang dibuat oleh Pak Koen berkisar tentang kehidupan di sekitarnya, seperti lukisan tentang anak berjudul Chininta Satar Menengok (23 x 30 cm, cat air berwarna di atas kertas, 1987) atau budaya seperti dalam lukisan berjudul Anak-anak Sasak (48,5 x 69 cm, cat minyak di atas kanvas, 1990), dan sebagainya.
Dia memperkirakan bahwa sang profesor menemukan lukisan sebagai suatu dunia lain. Pak Koen yang terus berada di dunia pendidikan yang sarat formal dan cenderung membosankan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang realitas yang dialami dengan melukis.
Selain itu, sang antroplog juga mencoba memainkan perannya menjadi anak-anak dengan melukis. Dalam diri manusia, terdapat peran-peran yang harus dijalankannya. Ketika menjadi dosen, Pak Koen membangkitkan peran sebagai orang tua dengan memberikan tugas, marah, dan sebagainya.
Chininta Satar di kuncir -1988 | 30 x 44 cm Pinsil hitam di atas kertas (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
“Ketika [menjadi] seniman, [berperan] menjadi anak-anak karena kepolosan, spontanitas, kebebasan, dan sebagainya ada dalam anak-anak. Makanya seniman mencoba seperti anak-anak. Kalau dilihat, Pak Koen seperti itu juga. Ada aspek anak-anak,” katanya.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ilmuwan itu melukis sebagai bentuk refreshing walaupun dia belajar melukis dengan serius. Kegiatan berkarya ini juga sudah disukainya sejak kecil atau sebelum sang seniman menjadi akademisi.
Antropolog Iwan M. Pirous yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut menilai terdapat kemungkinan subjektivitas Pak Koen berganti ketika pengalaman estetis masuk ke dalam diri. Dia menuturkan subjek manusia tidak tunggal dan dapat berganti-ganti.
Menurutnya, Pak Koen bertindak sebagai seorang pelukis ketika berada di belakang panggung ilmuwan antropologi. Peradaban yang tidak mengenal dualitas subjek membuatnya tidak pernah merasa sebagai pelukis. Melukis dianggapnya sebagai hobi walaupun karyanya terlalu sempurna.
Menurut Iwan, ada koneksi antara dunia sains dan seni dalam karya-karya Koentjaraningrat. Dari karya itu, mungkin disiplin ilmu antropologi atau ilmu sosial lainnya mungkin bisa belajar bahwa etnografi bisa sangat visual.
Baca juga: Mengenal Dunia dari Sudut Pandang Seniman Syakieb Sungkar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.