Komisaris Utama PT Tripar Multivision Plus Tbk. Raam Jethmal Punjabi. (Sumber foto: Hypeabis/Himawan Nugraha)

Eksklusif Profil Raam Punjabi: Formula Jitu Multivision Merajai Jagat Sinema

26 May 2023   |   14:07 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Di ruangan kerjanya yang luas di lantai 24 kantor Multivision di Kuningan, Jakarta Selatan, Raam Punjabi menyambut Hypeabis.id dengan ramah. Sore itu, salah satu produser prominen di Indonesia itu mengenakan setelan rapi dengan jas berwarna jingga seraya senyum lebar yang menghiasi wajahnya.

Di usianya yang menginjak 79 tahun, pria pemilik nama asli Raam Jethmal Punjabi itu tampak masih menyimpan semangat dan tekad yang kuat untuk terus membangun industri perfilman di Tanah Air. Konsistensinya berkecimpung di dunia film dan sinetron pun tak terbantahkan lagi seiring dengan usia rumah produksinya, Multivision Plus, yang kini sudah memasuki usia lima dekade.

Baca juga: Suguhkan Genre Komedi-Fantasi, Film Jin & Jun Gunakan 80 Persen Teknologi CGI

Perjalanan Raam Punjabi menekuni industri film berawal pada 1967 dengan mendirikan perusahaan importir film, PT Indako Film, bersama dua kakaknya yakni Dhamoo Punjabi dan Gobind Punjabi dengan modal Rp30 juta. Melihat Indonesia sebagai negara yang potensial untuk mengembangkan industri film, tiga tahun kemudian, dia pun mendirikan PT Panorama Film dengan memproduksi film pertama berjudul Mama (1972) karya sutradara Wim Umboh.

Sayangnya, kala itu, film tersebut tidak mendapatkan sambutan yang besar oleh penonton dalam negeri. Namun, Raam tidak patah arang. Baginya, di tengah industri film yang cenderung anomali, dia harus terus konsisten memproduksi karya sinema yang berkualitas kepada masyarakat.

Terbukti, pada 1980, ketika kondisi perfilman Indonesia sedang terpuruk, Raam malah mendulang sukses dengan membawa tren film komedi di Tanah Air, dengan menampilkan bintang komedi trio Warkop yakni Dono, Kasino, dan Indro. Dalam kurun waktu 17 tahun awal kariernya sebagai produser, Raam telah memproduksi lebih dari 100 film dengan perusahaan PT Parkit Film yang dia dirikan pada 1981.

 
Raam Punjabi. (Sumber foto: Hypeabis/Himawan Nugraha)
Begitupun pada akhir 1980 hingga awal 1990-an, saat industri sinema nasional benar-benar terpuruk, Raam dengan cepat beralih ke dunia sinetron yang kala itu masih terbilang baru, seiring dengan munculnya RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama. Baginya, hal tersebut merupakan peluang yang baik. Itu terbukti dengan suksesnya serial sinetron komedi Gara-Gara yang dibintangi Lydia Kandou dan Jimmy Gideon.

Barulah pada 1990, dia mendirikan rumah produksi PT Tripar Multivision Plus (MVP). Tak hanya jago kandang, perusahaan tersebut lantas membuka cabang pertama di India pada 2004 untuk distribusi film mancanegara. Dua tahun kemudian, perusahaan melebar ke Negeri Jiran melalui joint venture dengan Astro Malaysia.

Di Tanah Air, pengaruh MVP kian luas dengan adanya kerja sama Wilmar Group dan Ciputra. Dari kerja sama inilah muncul anak perusahaan bernama Platinum Sinema yang mengoperasikan jaringan bioskop Platinum Cineplex pada 2011. Hingga sekarang sudah ada 10 Platinum Cineplex yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia.

Tiga tahun berselang, MVP membuka lini bisnis baru bernama Pay TV. Hingga pada 2015 distribusi film MVP tersedia di berbagai negara Asia Tenggara, mulai dari Thailand, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Kamboja, dan Laos.

Terbaru, MVP juga resmi melantai atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia untuk semakin melebarkan sayap bisnisnya. Lewat kode emiten RAAM, rumah produksi itu menawarkan 15 persen sahamnya dengan nilai IPO sebanyak-banyaknya Rp217,4 miliar.

Raam pun berencana untuk menggunakan dana ini untuk modal kerja MVP dalam produksi konten film, sinetron, dan web series. Dia juga ingin lebih serius membangun jaringan bioskop, Platinum Cineplex, yang sudah beroperasi di kota Kebumen, Malang, Ambon, dan delapan kota lainnya.

Kepada Hypeabis.id, Raam Punjabi membeberkan panjang lebar mengenai pandangannya soal dinamika, perkembangan, sekaligus tantangan industri perfilman nasional saat ini. Termasuk, strateginya untuk bisa mengembangkan bisnis MVP, serta gagasannya untuk turut berkontribusi dalam kemajuan industri perfilman.

Seperti apa? Berikut petikan obrolan kami.


Bagaimana Anda melihat perkembangan industri perfilman nasional saat ini?

Sejak saya berkecimpung, industri film saat ini jauh sekali kemajuannya. Dulu, mungkin hanya 10 persen kualitas teknis yang bisa bagus dan sisanya jelek. Tapi sekarang, 90 persen sudah bisa dipertanggungjawabkan kualitas teknis seperti suara dan gambarnya. Tapi, satu kekurangannya adalah di bidang penulisan skenario. Kita masih sangat minim kreativitas di bidang itu. Sebagiannya memang sudah bagus. Tapi di industri ini, bagus saja belum cukup.

Dari sisi kuantitas film, kita juga masih kalah dengan negara lain seperti India. Sekarang film-film Indonesia masih di angka 150 judul per tahun. Kenapa begitu? Karena gedung bioskop kita terbatas. Indonesia minimal membutuhkan 10.000 gedung bioskop sedangkan yang ada hanya 3.000 gedung. Makanya, kami berusaha untuk membangun bioskop dan mudah-mudahan analisa ini juga ditangkap oleh pemain-pemain yang lain.


Anda menyebutkan bahwa salah satu tantangan di industri perfilman adalah soal kualitas skenario, lantas bagaimana upaya MVP untuk tetap memproduksi kualitas skenario terbaik?

Kami coba menggunakan penulis-penulis skenario baru dengan pengarahan dari penulis yang mempunyai track record. Kami juga punya tim kreatif untuk menciptakan cerita atau intelligence property (IP) baru tapi tetap mencari penulis dari luar MVP. Hal itu tergantung dari genre yang mau diangkat sehingga penulisnya pun akan berbeda-beda.


Saat ini, tampaknya genre film horor masih cukup digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?

Ya, saat ini yang masih laku itu genrenya horor. Dalam bidang ini, layaknya seperti hidup, kita tidak bisa melawan arus. Kita harus mengikuti arus, tapi bukan berarti kita tidak bisa berkreasi dan berpikir out of the box.

Saya ambil langkah yang sudah diperhitungkan yaitu 80 persen mengikuti arus, sementara 20 persen kita memberikan sumbangsih dari kreativitas kita. Itu yang paling tepat. Kalau yang 20 persen itu sudah diterima masyarakat, mungkin bisa naik menjadi 25 persen dan seterusnya. Itu menjadi tanggung jawab bagi semua produser, bahwa kita tidak bisa hanya mengikuti arus tapi harus berpikir out of the box.

 

Tim Hypeabis.id bersama dengan pendiri rumah produksi Multivision Plus Raam Punjabi dan Co-Producer Multivision Plus Amrit Punjabi di kantor pusat MVP, Jakarta, Senin (22/5/2023). (Sumber foto: Hypeabis.id/Himawan L. Nugraha)

Tim Hypeabis.id bersama dengan pendiri rumah produksi Multivision Plus Raam Punjabi dan Co-Producer Multivision Plus Amrit Punjabi di kantor pusat MVP, Jakarta, Senin (22/5/2023). (Sumber foto: Hypeabis.id/Himawan L. Nugraha)

 

Baru-baru ini, Anda menyebut bahwa MVP ingin membuat platform OTT sendiri. Mengapa dan model platform seperti apa yang akan dibuat?

Ya, mudah-mudahan kuartal I/2024 sudah ada satu platform OTT yang sama-sama berdiri sejajar dengan platform seperti Vidio, Netflix, dan lain-lain. Modelnya belum ditentukan akan seperti apa tapi platform ini akan ada. Kami tidak mau menyaingi beberapa platform yang sudah ada tapi kami punya produk-produk konten khusus. Selama ini, kami yang produksi tapi pihak OTT yang menentukan ini cocok atau tidak. Kami mau yang menentukan itu adalah masyarakat makanya kami ingin punya platform OTT sendiri.

Baca juga: Hadir ke Festival Film Cannes 2023, Bos MVP Pictures Raam Punjabi Cari Film & Benchmark Platform OTT


Saat ini, di samping industri bioskop, kemunculan platform OTT juga kian masif di Indonesia. Bagaimana Anda melihat dua hal tersebut?

Kehadiran platform OTT itu ada manfaatnya tapi ada resikonya juga. Kalau keduanya sama-sama saling mengisi itu sebuah keharusan. Karena yang ke bioskop itu kan rata-rata masyarakat yang berusia 25-40 tahun, dan masyarakat yang 40 tahun ke atas lebih senang menonton di rumah. Tapi dua-duanya harus saling melengkapi, karena kami juga punya gedung bioskop sendiri yang sebentar lagi akan buka cabang berikutnya di Kebumen. Kami membangun bioskop Platinum Cineplex memang bukan di kota-kota besar yang sudah banyak saingannya. Jadi, menurut saya, dua-duanya harus ada.


Sepanjang tahun 2023, ada film apa saja dari MVP yang akan tayang di bioskop?

Kemungkinan akan ada tiga film yang akan kami rilis pada tahun ini, tergantung proses pascaproduksinya. Tapi kalau memungkinkan, kami juga bisa merilis 4-5 film lagi. Begitupun tahun depan, kami akan merilis film setidaknya jumlahnya sama atau lebih dari tahun ini karena harus ada peningkatan terus baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kami berusaha betul-betul membuat sesuatu yang disukai masyarakat. Tidak semuanya horor, kami juga ada genre drama romantis.

Selain itu, ada juga film Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur dengan sutradara Hanung Bramantyo yang sedang proses syuting. Tapi, menurut saya, judulnya ini masih kontroversial sepertinya harus diganti dengan yang lebih netral. Ada juga film sekuel Si Manis Jembatan Ancol dengan Anggy Umbara dan projek lain sama Garin Nugroho. Buat kami, setiap film itu seperti nafas yang baru, harus punya kerja, harapan, dan nyali yang besar.

 

pendiri rumah produksi Multivision Plus Raam Punjabi dan Co-Producer Multivision Plus Amrit Punjabi di kantor pusat MVP, Jakarta, Senin (22/5/2023). (Sumber foto: Hypeabis.id/Himawan L. Nugraha)

pendiri rumah produksi Multivision Plus Raam Punjabi dan Co-Producer Multivision Plus Amrit Punjabi di kantor pusat MVP, Jakarta, Senin (22/5/2023). (Sumber foto: Hypeabis.id/Himawan L. Nugraha)

 

MVP sudah memasuki usia 50 tahun. Apa saja target yang ingin dicapai ke depannya?

Target saya sebetulnya harus menguasai penonton di Indonesia, dan pelan-pelan saya juga merambah ke negara-negara Asean. Kalau kami sudah bisa menguasai mayoritas penonton Indonesia, baru kami akan betul-betul secara serius mencoba memahami selera masyarakat di negara-negara lain. Saya kira, bahasa film itu sudah dikenal oleh seluruh masyarakat dunia.


Selama 50 tahun berdiri, mengapa MVP baru saat ini memutuskan untuk melantai di Bursa Efek Indonesia?

Menurut saya, baru sekarang ini saat yang tepat. Dua puluh tahun yang lalu saya ditawari untuk go public tapi saya akan merasa dosa memakai duit masyarakat untuk sesuatu yang belum stabil. Saat itu, MVP memang memimpin industri persinetronan di Indonesia, tapi kami masih tergantung dengan perusahaan televisi yang akan menilai produk-produk kami. Tapi, saat itu mulai 1998 sampai 2002 industri perfilman belum stabil sehingga perusahaan bioskop juga sempat terhenti.

Oleh karena itu, 20 tahun yang lalu, saya menolak untuk menawarkan saham saya kepada masyarakat dan menikmati duit mereka cuma untuk di kantong pribadi saya saja. Tapi sekarang sekup bisnis industri perfilman sangat besar. Jadi, di samping modal sendiri sangat dibutuhkan dana segar dari masyarakat. Tujuan utama saya untuk menawarkan saham saya ke publik ini adalah agar MVP tetap bertahan di tengah masyarakat karena pada satu saat nanti akan ada teknologi baru yang bermunculan.

Baca juga: Mulai Syuting 21 Juni, Tersanjung The Series akan Hadir dengan Kisah yang Lebih Kekinian
 

MVP memiliki banyak judul sinetron yang populer dari era 1990-an dan beberapa sudah diadaptasi menjadi film layar lebar. Apa alasannya dan mengapa tidak diangkat lagi menjadi sinetron dengan penyajian yang lebih kekinian?

Sistem distribusi tayangan di televisi saat ini sudah berubah. Dulu, hak distribusi semuanya ada pada kami karena tidak ada stasiun televisi yang bisa membuat produk-produk tersebut. Saat itu, kami punya banyak IP dan terus berlanjut tapi belum terpikir untuk membuatnya menjadi versi film. Tapi sekarang kami sudah memikirkan hal itu.

Misalnya kalau dulu kami sukses membuat film Lenong Rumpi, sekarang lagi dipikirkan untuk membuat Lenong Rumpi versi baru film layar lebar. Apakah selera itu masih mengena di masyarakat dan mereka mau beli tiket bioskop? Itu juga masih menjadi satu tanda tanya besar karena kalau dulu kan menonton gratis. Jadi, banyak pertimbangan untuk bikin IP jadi produk film bioskop dan sangat tidak mudah. Sekarang di zaman ini, apa yang anak muda ingin tonton, belum tentu mereka suka dengan produk yang pernah sukses di tahun-tahun dulu. Jadi, kami sebenarnya lebih banyak pikirkan produk baru dan sekuel daripada hanya memikirkan remake. Bisnis film ini memang berisiko tinggi, kita baru tahu laku apa tidak setelah berjualan.
 

pendiri rumah produksi Multivision Plus Raam Punjabi dan Co-Producer Multivision Plus Amrit Punjabi di kantor pusat MVP, Jakarta, Senin (22/5/2023). (Sumber foto: Hypeabis.id/Himawan L. Nugraha)

pendiri rumah produksi Multivision Plus Raam Punjabi dan Co-Producer Multivision Plus Amrit Punjabi di kantor pusat MVP, Jakarta, Senin (22/5/2023). (Sumber foto: Hypeabis.id/Himawan L. Nugraha)

 

Anda pernah menyebutkan ingin menjadikan MVP seperti Warner Bros. dan Disney, mengapa demikian?

Ya, betul. Suatu hari saya bertemu dengan salah satu mantan pemilik Disney di Hong Kong dan mengenalkan generasi ketiga dari Disneyland. Semua kegiatan perusahaan Disney dijalankan oleh profesional sudah hampir 100 tahun. Kalau mereka bisa, kenapa MVP tidak bisa? Karena kalau niat itu hanya berhenti di generasi pertama, MVP yang sudah didirikan sejak 50 tahun lalu bisa terbengkalai. Itu akan dijalankan oleh profesional. Modal di industri ini cuma gairah. Kalau Anda tidak punya passion, it's impossible.
 

Menurut Anda, apa saja tantangan yang akan dihadapi industri perfilman nasional pada masa mendatang?

Saya bisa bertahan selama 50 tahun itu tekadnya cuma satu, kita harus eksis bukan sebagai pengekor tapi sebagai pelopor. Ke depannya tantangannya akan banyak sekali. Sesuatu yang harus bertahan itu harus didukung oleh dua sisi, manusia dan alam. Misalnya saat alam menentukan bioskop harus tutup karena pandemi, muncul platform OTT dan mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Jadi kita harapkan alam bisa selalu mendukung pikiran kita.

Semoga Multivision ke depannya bisa terus berjaya yang berarti industri ini terus hidup. Kalau tidak ada industri film, tidak akan ada Multivision. Begitupun kalau Multivision tidak memberikan sumbangsih dari waktu ke waktu, industri ini juga tidak akan berkembang. Jadi, dua-duanya saling mengisi satu sama lain dan generasi penerus harus punya gairah untuk terus belajar.


Di tengah persaingan perusahaan film yang semakin ketat, apa saja strategi yang akan ditempuh MVP untuk bisa terus menjadi top of mind di kalangan masyarakat Indonesia?

Motto perusahaan saya adalah selalu thinking out of the box, selalu memikir sesuatu yang berbeda dari orang kebanyakan. Menurut saya, itu adalah hal yang paling penting untuk bisa memenangkan persaingan. Kami bukan ingin mematikan saingan, tapi kami akan berusaha untuk tetap menjadi pionir untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat dan industri perfilman kita.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Intip Tampilan Project Q dari Sony, Perangkat PS5 Portabel yang Dinantikan Gamers

BERIKUTNYA

Aturan Konser Suga Agust D di ICE BSD, Barang-barang ini Tak Boleh Dibawa ke Venue

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: