Pasar Seni di Asia Bergairah, Bagaimana dengan Indonesia?
23 May 2023 |
16:00 WIB
Meski sempat lesu pasca pandemi, pasar seni Asia kini mulai bangkit kembali. Ada sejumlah faktor yang mendongkrak gairah pasar seni Asia dan tampak menyusul geliat di pasar negeri Barat yang selama ini cenderung menjadi sorotan. Mulai dari tumbuh masifnya kolektor hingga banyaknya seniman muda yang menggebrak pasar.
Berdasarkan data dari Artprice.com, Kota Beijing di China masih menjadi wilayah teratas yang mengalami penjualan seni terbesar di Asia dengan perolehan pendapatan sebesar US$2,01 miliar sepanjang 2022. Posisi kedua ditempati oleh Hong Kong dengan pendapatan sebesar US$1,16 miliar.
Baca juga: Kala Seniman Muda Guncang Pasar Seni Dunia
Laporan itu menyebutkan tidak kurang dari sepertiga omzet lelang seni di Hong Kong berasal dari seniman kontemporer muda di bawah usia 40 tahun. Tiga seniman dengan pendapatan terbesar yakni Zhang Daqian yang menghasilkan US$47,2 juta, Zao Wou-ki dengan US$35,4 juta, dan Gerhard Richter dengan US$25,5 juta.
Tahun 2022 juga menjadi momen bersejarah bagi pasar seni Jepang dan Korea Selatan. Jepang menempati peringkat ke-7 di pasar seni global dengan omzet penjualan sebesar US$185 juta atau naik 11 persen dari perolehan tahun lalu.
Sementara Korea Selatan telah membukukan peningkatan pendapatan pasar seni hingga 140 persen sejak 2019. Sepanjang 2022, Negeri Gingseng itu mencatatkan pendapatan sebesar US$134,2 miliar.
Geliat seni juga tak luput terjadi di pasar seni Asia Tenggara. Seniman Melati Suryodarmo mengatakan setidaknya ada tiga negara di kawasan Asia Tenggara yang tengah mengalami perkembangan seni baik secara artistik maupun bisnis adalah Thailand, Singapura, dan Vietnam. Dia menilai banyak kolektor seni di Thailand yang mendukung para perupa lokal, termasuk kemunculan sekolah-sekolah seni dan galeri komersil yang berkualitas.
Sementara di Singapura, banyak seniman muda yang kian masif bermunculan dengan pemikiran-pemikiran artistik yang lebih progresif, dengan mengeksplorasi tema-tema seputar latar belakang sosial mereka sebagai orang Asia Tenggara. Adapun, di Vietnam, banyak seniman di negara tersebut yang melakukan studi banding dengan seniman-seniman lain baik di negara-negara Asia Tenggara, maupun di Amerika dan Eropa.
Menurut Melati, Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas yang sama besar seperti ketiga negara tersebut. Namun, geliat pasar seni di Tanah Air dinilai masih terpusat di kota-kota besar saja seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.
"Tergantung dengan dukungan infrastruktur seninya juga," kata seniman lulusan Hochshule für Bindende Kunste Braunschweig di Jerman itu.
Melati mengatakan salah satu kekurangan dalam kancah seni rupa Indonesia adalah terletak pada kehadiran kritikus seni independen yang melihat perkembangan seni secara kontekstual dan netral, bukan hanya menulis untuk mempromosikan seorang seniman atau kegiatan seni tertentu.
Dukungan lain yang tak kalah fundamental untuk peningkatan infrastruktur seni di Indonesia adalah dari pemerintah dan kehadiran sekolah-sekolah seni yang memiliki kurikulum pembelajaran yang mengikuti perkembangan keilmuan kesenian. "Sementara sekolah-sekolah di luar negeri selalu update dengan ilmu-ilmu seni," katanya.
Perempuan pendiri Studio Plesungan ini tak menampik bahwa selama ini pemerintah pusat telah memberikan dukungan yang terstruktur untuk kemajuan dunia seni di Indonesia. Hanya saja, dia belum melihat dukungan yang serupa yang diberikan oleh pemerintah-pemerintah di daerah, manakala seniman atau komunitas seni ingin menghidupkan geliat seni di suatu daerah tertentu.
Adanya kewenangan otonomi daerah, paparnya, seharusnya bisa menjadi semacam alat untuk menguatkan potensi seni lokal yang memang berkembang. "Jadi enggak semuanya tergantung ke pemerintah pusat, supaya ekosistem seni ini berkelanjutan. Kita sekarang harus melihat kesenian secara lebih holistik," terang perempuan yang juga menjadi dosen di Nanyang Academy of Fine Arts ini.
Hampir senada, Direktur Artistik Art Jog Heri Pemad menilai bahwa selama ini, pemerintah belum memiliki keberpihakan pada perkembangan seni di Indonesia. Padahal, dalam kondisi atau tantangan seperti apapun seniman-seniman lokal terus produktif berkarya. Dalam hal ini, Heri berpendapat semestinya pemerintah bisa lebih merangkul seniman-seniman dalam negeri.
Dia mencontohkan salah satu seniman dengan karya-karyanya yang unik adalah mendiang Ni Tanjung yang wafat pada 2020 lalu. Ni Tanjung merupakan seniman pertama di Indonesia yang karyanya menjadi koleksi Museum Collection d'Art Brut di Lusanne, Swiss. Di sana, karya Ni Tanjung berdampingan dengan karya para perupa art brut dunia seperti Gustav Mesmer, Giovanni Bosco, Antonio Roseno de Lima, Monsieur Kashinath, dan Ezekile Messou.
Sepanjang hidupnya, Ni Tanjung produktif mengumpulkan bebatuan dari sungai dan membuatnya menjadi gundukan-gundukan kecil, kemudian melukis ragam wajah di permukaannya. Intensitas berkaryanya meliputi pula sosok-sosok wayang dari kertas-kertas yang menampilkan wajah-wajah unik, serta hadir dengan ekspresi kekinian atau kontemporer.
"Harusnya, museum di Indonesia bisa tampilkan karya-karya beliau. Tapi, museum itu siapa? Masalahnya kita punya atau tidak. Kita ketinggalan karena justru tidak ada apresiasi dari pemerintah," kata pria yang juga menggagas pameran Artina itu.
Menurut Heri, jika pemerintah bisa mengangkat nama-nama seniman yang memang sudah dikenal bahkan di kancah internasional serta memberikan ruang dan promosi untuk menampilkan karya-karyanya, bukan tidak mungkin itu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para kolektor tak hanya dari Indonesia tapi juga mancanegara.
Kurator Independen Agung Hujatnika sepakat jika sebenarnya Indonesia memiliki kualitas seniman-seniman lokal unggul. Bahkan, dia memaparkan, Indonesia merupakan negara dengan sejarah seni rupa modern tertua di Asia Tenggara yang salah satunya ditandai dengan kehadiran sosok maestro Raden Saleh.
Baca juga: Pasar Seni Rupa Mulai Bergairah, Kolektor Baru Serbu Pameran
Menurutnya, salah satu kekhasan seniman dan komunitas seni di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara adalah sikap independensinya yang sangat tinggi. Hal itu, paparnya, ditandai dengan banyaknya gelaran seni yang dihelat secara independen baik oleh seniman maupun kolektif dari suatu komunitas seni.
Sebaliknya, di negara-negara lain di Asia Tenggara, dukungan pemerintah dan infrastrukturnya seninya memang sudah cukup baik, namun inisiatif dan independensi dari para pelaku seninya masih dinilai kurang. "Jadi modal kita sebenarnya adalah independensi para seniman dan komunitas seni sendiri," kata pria yang juga berprofesi sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung itu.
Berdasarkan data dari Artprice.com, Kota Beijing di China masih menjadi wilayah teratas yang mengalami penjualan seni terbesar di Asia dengan perolehan pendapatan sebesar US$2,01 miliar sepanjang 2022. Posisi kedua ditempati oleh Hong Kong dengan pendapatan sebesar US$1,16 miliar.
Baca juga: Kala Seniman Muda Guncang Pasar Seni Dunia
Laporan itu menyebutkan tidak kurang dari sepertiga omzet lelang seni di Hong Kong berasal dari seniman kontemporer muda di bawah usia 40 tahun. Tiga seniman dengan pendapatan terbesar yakni Zhang Daqian yang menghasilkan US$47,2 juta, Zao Wou-ki dengan US$35,4 juta, dan Gerhard Richter dengan US$25,5 juta.
Tahun 2022 juga menjadi momen bersejarah bagi pasar seni Jepang dan Korea Selatan. Jepang menempati peringkat ke-7 di pasar seni global dengan omzet penjualan sebesar US$185 juta atau naik 11 persen dari perolehan tahun lalu.
Sementara Korea Selatan telah membukukan peningkatan pendapatan pasar seni hingga 140 persen sejak 2019. Sepanjang 2022, Negeri Gingseng itu mencatatkan pendapatan sebesar US$134,2 miliar.
Geliat seni juga tak luput terjadi di pasar seni Asia Tenggara. Seniman Melati Suryodarmo mengatakan setidaknya ada tiga negara di kawasan Asia Tenggara yang tengah mengalami perkembangan seni baik secara artistik maupun bisnis adalah Thailand, Singapura, dan Vietnam. Dia menilai banyak kolektor seni di Thailand yang mendukung para perupa lokal, termasuk kemunculan sekolah-sekolah seni dan galeri komersil yang berkualitas.
Sementara di Singapura, banyak seniman muda yang kian masif bermunculan dengan pemikiran-pemikiran artistik yang lebih progresif, dengan mengeksplorasi tema-tema seputar latar belakang sosial mereka sebagai orang Asia Tenggara. Adapun, di Vietnam, banyak seniman di negara tersebut yang melakukan studi banding dengan seniman-seniman lain baik di negara-negara Asia Tenggara, maupun di Amerika dan Eropa.
Menurut Melati, Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas yang sama besar seperti ketiga negara tersebut. Namun, geliat pasar seni di Tanah Air dinilai masih terpusat di kota-kota besar saja seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.
"Tergantung dengan dukungan infrastruktur seninya juga," kata seniman lulusan Hochshule für Bindende Kunste Braunschweig di Jerman itu.
Infrastruktur Seni
Melati mengatakan salah satu kekurangan dalam kancah seni rupa Indonesia adalah terletak pada kehadiran kritikus seni independen yang melihat perkembangan seni secara kontekstual dan netral, bukan hanya menulis untuk mempromosikan seorang seniman atau kegiatan seni tertentu.Dukungan lain yang tak kalah fundamental untuk peningkatan infrastruktur seni di Indonesia adalah dari pemerintah dan kehadiran sekolah-sekolah seni yang memiliki kurikulum pembelajaran yang mengikuti perkembangan keilmuan kesenian. "Sementara sekolah-sekolah di luar negeri selalu update dengan ilmu-ilmu seni," katanya.
Suasana pameran seni di ajang Art SG di Singapura (Sumber gambar: Art SG Official Instagram)
Adanya kewenangan otonomi daerah, paparnya, seharusnya bisa menjadi semacam alat untuk menguatkan potensi seni lokal yang memang berkembang. "Jadi enggak semuanya tergantung ke pemerintah pusat, supaya ekosistem seni ini berkelanjutan. Kita sekarang harus melihat kesenian secara lebih holistik," terang perempuan yang juga menjadi dosen di Nanyang Academy of Fine Arts ini.
Hampir senada, Direktur Artistik Art Jog Heri Pemad menilai bahwa selama ini, pemerintah belum memiliki keberpihakan pada perkembangan seni di Indonesia. Padahal, dalam kondisi atau tantangan seperti apapun seniman-seniman lokal terus produktif berkarya. Dalam hal ini, Heri berpendapat semestinya pemerintah bisa lebih merangkul seniman-seniman dalam negeri.
Dia mencontohkan salah satu seniman dengan karya-karyanya yang unik adalah mendiang Ni Tanjung yang wafat pada 2020 lalu. Ni Tanjung merupakan seniman pertama di Indonesia yang karyanya menjadi koleksi Museum Collection d'Art Brut di Lusanne, Swiss. Di sana, karya Ni Tanjung berdampingan dengan karya para perupa art brut dunia seperti Gustav Mesmer, Giovanni Bosco, Antonio Roseno de Lima, Monsieur Kashinath, dan Ezekile Messou.
Sepanjang hidupnya, Ni Tanjung produktif mengumpulkan bebatuan dari sungai dan membuatnya menjadi gundukan-gundukan kecil, kemudian melukis ragam wajah di permukaannya. Intensitas berkaryanya meliputi pula sosok-sosok wayang dari kertas-kertas yang menampilkan wajah-wajah unik, serta hadir dengan ekspresi kekinian atau kontemporer.
"Harusnya, museum di Indonesia bisa tampilkan karya-karya beliau. Tapi, museum itu siapa? Masalahnya kita punya atau tidak. Kita ketinggalan karena justru tidak ada apresiasi dari pemerintah," kata pria yang juga menggagas pameran Artina itu.
Menurut Heri, jika pemerintah bisa mengangkat nama-nama seniman yang memang sudah dikenal bahkan di kancah internasional serta memberikan ruang dan promosi untuk menampilkan karya-karyanya, bukan tidak mungkin itu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para kolektor tak hanya dari Indonesia tapi juga mancanegara.
Kurator Independen Agung Hujatnika sepakat jika sebenarnya Indonesia memiliki kualitas seniman-seniman lokal unggul. Bahkan, dia memaparkan, Indonesia merupakan negara dengan sejarah seni rupa modern tertua di Asia Tenggara yang salah satunya ditandai dengan kehadiran sosok maestro Raden Saleh.
Baca juga: Pasar Seni Rupa Mulai Bergairah, Kolektor Baru Serbu Pameran
Menurutnya, salah satu kekhasan seniman dan komunitas seni di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara adalah sikap independensinya yang sangat tinggi. Hal itu, paparnya, ditandai dengan banyaknya gelaran seni yang dihelat secara independen baik oleh seniman maupun kolektif dari suatu komunitas seni.
Sebaliknya, di negara-negara lain di Asia Tenggara, dukungan pemerintah dan infrastrukturnya seninya memang sudah cukup baik, namun inisiatif dan independensi dari para pelaku seninya masih dinilai kurang. "Jadi modal kita sebenarnya adalah independensi para seniman dan komunitas seni sendiri," kata pria yang juga berprofesi sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung itu.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.