Ilustrasi toko buku. (Sumber gambar: Unsplash/Sean Benesh)

Pakar Bisnis Ungkap Penyebab Bangkrut & 5 Tren Toko Buku di Masa Mendatang

22 May 2023   |   15:19 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Like
Usaha toko buku di Indonesia terancam mengalami gulung tikar. Seperti yang dialami Toko Gunung Agung yang berencana menutup seluruh outletnya pada akhir 2023. Diprediksi akan semakin banyak waralaba literasi ini yang kemungkinan tutup jika tidak menyesuaikan zaman dan membuat inovasi. 

Konsultan Bisnis dari Managing Patner Inventure Yuswohadi menerangkan ada beberapa faktor toko buku seperti Gunung Agung hingga Gramedia terancam bangkrut. Paling utama, tentu saja perubahan perilaku konsumen. 

Seperti buku Millenials Kill Everything yang ditulisnya pada 2019, salah satu yang dibunuh generasi milenial adalah toko buku. Dia menyebut toko buku yang ada sekarang biasanya menjual buku tidak sesuai preferensi generasi milenial dan generasi Z. “Mereka readership-nya bergeser,” ujarnya saat dihubungi Hypeabis.id, Senin (22/5/2023). 

Baca juga: Toko Buku Gunung Agung Tutup Seluruh Outlet Akhir Tahun, Ini Penyebabnya

Kedua, cara membaca atau mendapat informasi dari kedua generasi ini juga berubah. Buku bukan lagi menjadi alat utama memperoleh pengetahuan. Mereka lebih mencari kenyamanan dan kemudahan untuk mendapatkan pengetahuan dengan menonton YouTube, TikTok, hingga mendengarkan Podcast. 

Ketiga, kebiasaan berbelanja buku pun sudah berubah. Dikenal dengan generasi mager, Milenial dan Gen Z juga mengandalkan kepraktisan dalam hal mendapatkan sesuatu yang ingin dibeli, termasuk buku. Mereka kini membeli buku secara online untuk mendapatkannya secara fisik atau membaca buku digital. 

“Ini ditambahkan banyak toko buku semakin enggak lengkap karena diisi produk bukan buku. Toko buku terancam dari berbagai arah,” tegas Yuswohadi. 

Kalau dikaitkan dengan rendahnya tingkat literasi atau membaca di Indonesia, menurut Yuswohadi itu tidak terlalu signifikan. Rendahnya budaya membaca sudah menjadi persoalan klasik di Indonesia sejak lama. Namun situasinya diperumit ketika digitalisasi merajalela. 

Sementara itu, Yuswohadi menilai industri di balik literasi sedang mencari selamatnya masing-masing di tengah ancaman gulung tikar toko buku. Entah itu percetakan, penerbit, maupun penulisnya. 

Penerbit seperti Gramedia maupun Mizan saat ini sedang bersusah payah mempertahankan bisnisnya. Pasalnya, penulis di masa sekarang bisa menerbitkan buku sendiri dan mencetaknya berdasarkan permintaan. Penjualan buku pun kini bisa melalui media sosial. 

“Dia pakai TikTok, Instagram untuk menjual bukunya. Kalau di Gramedia cetak minimal 3.000, dia bisa cetak 300 buku, dijual di TikTok shop. Cetak tergantung laku tidaknya, by demand,” jelasnya.

Selain itu, muncul penerbit indie yang memanfaatkan reseller atau influencer di medsos. Sementara jika ditaruh di toko buku, potongan bagi keuntungannya terbilang besar. “Percetakan akan turunkan produksi buku karena demandnya tidak sekuat dulu,” jelasnya. 

Dengan sejumlah permasalahan ini, Yuswohadi masih optimis toko buku akan tetap eksis. Namun demikian, tren atau formatnya akan berubah di masa mendatang. 

Saat ini, Barnes & Noble, toko buku terbesar di dunia pun sedang melakukan eksperimen. Mereka mengubah konsep toko menjadi lebih seperti gerai kopi Starbucks untuk tetap bertahan. 

Masyarakat yang ingin membaca buku bisa mendapatkan pengalaman bersantai menghirup secangkir kopi di sana. Mungkin hal ini yang perlu diperhatikan para pendiri maupun pengelola toko buku yang ada di Indonesia. 

Seperti apa tren gerai buku di masa mendatang? Berikut prediksi yang dibagikan Yuswohadi. 


1. Toko Buku + Ritel

Menurut Yuswohadi, metamorfosis terdekat yang dilakukan toko buku adalah seperti yang dilakukan Gramedia saat ini. Apa itu? Yakni menyulap toko buku tidak hanya menjual buku tetapi juga alat tulis dan produk ritel yang lain seperti kursi pijat hingga sepeda. 

Dia menilai space buku kian tergerus oleh produk ritel yang lebih cepat terjual dan meningkatkan pendapatan. “Kalau hanya jual buku, (usahanya) akan mati,” sebutnya. 


2. Seperti Starbucks

Toko buku di masa mendatang lebih menyerupai Starbucks ketimbang toko buku konvensional. Konsepnya yakni bookstore ditambah coffee shop, restoran, workspace, event space, hingga lifestyle center. Barnes & Noble menyebutnya retail-tainment. “Ke toko buku cari experience. Kandidatnya Starbucks, Pos Bloc, M Bloc,” imbuh Yuswohadi. 


3. Community Hub

Tren selanjutnya, toko buku tak hanya tempat menjual buku, tetapi juga tempat diskusi buku, bertemu penulis dan book signing, bookfest, kelas/workshop penulisan, hingga baca puisi. Kandidatnya menurut Yuswohadi terletak di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Perpusnas.


4. Niche Bookstore

Toko buku ke depan akan menjadi lebih kecil dan terspesialisasi dengan topik-topik buku spesifik seperti sastra, musik, anak, kuliner, arsitektur, film, sains, dan lainnya. 

Dengan inventori terbatas, tempatnya pun mengecil dan konsepnya menjadi destinasi toko buku. “Tidak semua buku ada karena spesifik. Ukurannya juga lebih kecil,” tuturnya. 


5. Immersive Bookstore

Kedepannya toko buku akan canggih karena memadukan dunia virtual dan nyata dengan pendekatan teknologi. Toko buku akan memasukkan teknologi-teknologi canggih seperti augmented reality, virtual reality, artificial intelegence, bahkan metaverse untuk pengalaman personal.

Baca juga: Selain Toko Buku Gunung Agung, Ini 4 Toko Buku yang Lebih dulu Tutup

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Makin Digemari, Ini Serba-serbi yang Harus Diketahui tentang Olahraga Lari

BERIKUTNYA

Mengenal Produk Unggulan Wellness Tourism Indonesia di Kalangan Turis Lokal dan Mancanegara

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: