Unik, Anak Muda Ini Sulap Limbah Jamur jadi Produk Fesyen dan Perabotan
22 May 2023 |
09:49 WIB
Genhype pernah tidak membayangkan kalau sebuah fesyen atau bahkan perabotan rumah tangga terbuat dari jamur? Sekilas terlihat tidak mungkin, tetapi di tangan anak-anak muda kreatif, limbah dari jamur ini dapat diolah menjadi material seperti benang ataupun kulit terbarukan sebagai bahan dasar pembuatan fesyen hingga perabotan.
Yup, pada 2015 lalu sekelompok anak muda yakni Adi Reza Nugroho, Ronaldiaz Hartantyo, Robby Zidna Ilman, M. Arkha Bentangan, dan Annisa Wibi Ismarlanti berinovasi menciptakan produk serta bahan bangunan dari bagian vegetatif seperti benang dari jamur atau dikenal juga dengan istilah miselium di bawah bendera usaha Mycotech Lab (MYCL).
Baca juga: Menyulap Limbah Kain Jadi Fesyen yang Inovatif
Co-Founder MYCL, Ronaldiaz mengatakan penerapan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan bukanlah sebuah tren, melainkan sebuah kebutuhan. Sebab, pada dasarnya bukan bumi yang membutuhkan manusia, tetapi manusia yang membutuhkan bumi.
“Dengan MYCL, kami mencoba menyelamatkan bumi dengan menawarkan alternatif yang berkelanjutan melalui penggunaan serat jamur sebagai pengganti kulit hewani,” ujarnya.
Pihaknya percaya bahwa bahwa kepedulian terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan alternatif yang berkelanjutan, seperti beralih dari kulit hewani ke serat jamur.
Sebelum masuk dalam bisnis sosial ini, MYCL bermula dari produsen makanan jamur sejak 2012. Keresahan akan jumlah limbah jamur tiram yang dibakar karena tak terpakai, membuat MYCL coba memanfaatkan sisa limbah tersebut agar tak ada yang terbuang.
Apalagi setelah menyadari kantong tumbuh jamur menjadi keras dan kuat setelah digunakan sehingga mendorong perusahaan melakukan penelitian tentang fenomena ini bekerjasama dengan berbagai laboratorium Mikologi yang berlokasi di Indonesia, Singapura, dan Swiss.
Dari hasil penelitian, MYCL melihat miselium sebagai bagian vegetatif jamur ternyata dapat dikembangkan sebagai bahan perekat atau pengikat alami untuk membuat papan komposit biomaterial.
Dengan sistem pengolahan yang mirip dengan tempe, MYCL mengikat miselium dengan limbah pertanian seperti sekam jagung dan serpihan kayu, lalu menumbuhkannya menjadi bahan yang disebut MyleaTM. Bahan ini tahan api, tahan air dan fleksibel, bahkan dapat diubah menjadi bahan baru dan kuat seperti kulit imitasi eksperimental yang dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk kulit konvensional.
“Berbekal misi untuk mengungkap dampak industri kulit tradisional bagi bumi, Kami pun mulai memasarkan teknologi ini ke bisnis lain di industri konstruksi dan mode,” terangnya.
Bahkan MYCL pernah menjalin kerja sama dengan Doublet, sebuah merek fashion streetwear terkemuka asal Jepang. Doublet meluncurkan koleksi berbahan dasar MyleaTM yang dikembangkan oleh MYCL. Koleksi runway tersebut telah ditampilkan pada Paris Fashion Week di bulan Juni 2021.
Doublet mengganti kulit dalam koleksi fashion ini dengan MyleaTM. Dibandingkan dengan kulit, MyleaTM dapat tumbuh menjadi bahan seperti kulit dengan waktu yang lebih singkat dan konsumsi air yang lebih sedikit.
Selain itu, MyleaTM mengemisi karbon yang jauh lebih sedikit dan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya atau logam berat dalam proses pembuatannya. Hal tersebut meminimalisir risiko berbahaya, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi kesehatan manusia, dan yang terpenting tidak ada hewan yang dikorbankan selama proses tersebut.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Yup, pada 2015 lalu sekelompok anak muda yakni Adi Reza Nugroho, Ronaldiaz Hartantyo, Robby Zidna Ilman, M. Arkha Bentangan, dan Annisa Wibi Ismarlanti berinovasi menciptakan produk serta bahan bangunan dari bagian vegetatif seperti benang dari jamur atau dikenal juga dengan istilah miselium di bawah bendera usaha Mycotech Lab (MYCL).
Baca juga: Menyulap Limbah Kain Jadi Fesyen yang Inovatif
Co-Founder MYCL, Ronaldiaz mengatakan penerapan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan bukanlah sebuah tren, melainkan sebuah kebutuhan. Sebab, pada dasarnya bukan bumi yang membutuhkan manusia, tetapi manusia yang membutuhkan bumi.
“Dengan MYCL, kami mencoba menyelamatkan bumi dengan menawarkan alternatif yang berkelanjutan melalui penggunaan serat jamur sebagai pengganti kulit hewani,” ujarnya.
Pihaknya percaya bahwa bahwa kepedulian terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan alternatif yang berkelanjutan, seperti beralih dari kulit hewani ke serat jamur.
Sebelum masuk dalam bisnis sosial ini, MYCL bermula dari produsen makanan jamur sejak 2012. Keresahan akan jumlah limbah jamur tiram yang dibakar karena tak terpakai, membuat MYCL coba memanfaatkan sisa limbah tersebut agar tak ada yang terbuang.
Apalagi setelah menyadari kantong tumbuh jamur menjadi keras dan kuat setelah digunakan sehingga mendorong perusahaan melakukan penelitian tentang fenomena ini bekerjasama dengan berbagai laboratorium Mikologi yang berlokasi di Indonesia, Singapura, dan Swiss.
Dari hasil penelitian, MYCL melihat miselium sebagai bagian vegetatif jamur ternyata dapat dikembangkan sebagai bahan perekat atau pengikat alami untuk membuat papan komposit biomaterial.
Dengan sistem pengolahan yang mirip dengan tempe, MYCL mengikat miselium dengan limbah pertanian seperti sekam jagung dan serpihan kayu, lalu menumbuhkannya menjadi bahan yang disebut MyleaTM. Bahan ini tahan api, tahan air dan fleksibel, bahkan dapat diubah menjadi bahan baru dan kuat seperti kulit imitasi eksperimental yang dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk kulit konvensional.
“Berbekal misi untuk mengungkap dampak industri kulit tradisional bagi bumi, Kami pun mulai memasarkan teknologi ini ke bisnis lain di industri konstruksi dan mode,” terangnya.
Bahkan MYCL pernah menjalin kerja sama dengan Doublet, sebuah merek fashion streetwear terkemuka asal Jepang. Doublet meluncurkan koleksi berbahan dasar MyleaTM yang dikembangkan oleh MYCL. Koleksi runway tersebut telah ditampilkan pada Paris Fashion Week di bulan Juni 2021.
Doublet mengganti kulit dalam koleksi fashion ini dengan MyleaTM. Dibandingkan dengan kulit, MyleaTM dapat tumbuh menjadi bahan seperti kulit dengan waktu yang lebih singkat dan konsumsi air yang lebih sedikit.
Selain itu, MyleaTM mengemisi karbon yang jauh lebih sedikit dan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya atau logam berat dalam proses pembuatannya. Hal tersebut meminimalisir risiko berbahaya, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi kesehatan manusia, dan yang terpenting tidak ada hewan yang dikorbankan selama proses tersebut.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.