Perlu adanya regulasi yang terus relevan dengan perkembangan industri perfilman (Sumber gambar: Avel Chuklanov/Unsplash)

Dianggap Sudah Usang, Regulasi Perfilman Mendesak Direvisi

08 May 2023   |   14:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Meski sempat lesu akibat pandemi Covid-19, layar industri perfilman nasional kini kembali terkembang. Menurut data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), jumlah penonton film Indonesia pada 2022 mencapai 55 juta penonton.

Angka tersebut melebihi pencapaian jumlah penonton sebelum pandemi atau tepatnya pada 2019. Saat itu, tercatat sebanyak 52 juta penonton. Jika menggunakan rata-rata harga tiket Rp40.000, jumlah pendapatan dari penjualan tiket film Indonesia di bioskop pada 2022 mencapai Rp2,2 triliun.

Baca juga: Perkuat Ekosistem Sinema di Daerah, Apresiasi Film Indonesia Kembali Digelar Tahun Ini

Masih pada tahun yang sama, nilai market share atau pangsa pasar film Indonesia mencapai 61 persen, di mana angka tersebut tidak pernah tercatat dalam pencapaian industri sinema sebelumnya. Di sisi lain, nilai pendapatan langganan video on demand (VoD) di Indonesia mencapai US$411 juta pada 2021.

Meski demikian, di tengah besarnya potensi tersebut, industri perfilman nasional belum memiliki peta jalan yang terang untuk semakin berkembang. Ekosistem perfilman yang kian besar saat ini tidak memiliki regulasi dan arah kebijakan yang relevan sesuai dengan perkembangan industri dan zaman.

Merespons kondisi itu, Badan Perfilman Indonesia lantas mengadakan Konferensi Film Nasional pada 6-11 Maret 2023 dengan melibatkan 47 narasumber. Mereka merupakan insan perfilman. Baik itu praktisi film, akademisi, organisasi, pelaku usaha, maupun instansi pemerintah terkait, untuk membahas tentang arah kebijakan perfilman nasional.

Konferensi tersebut membedah seluruh persoalan yang ada di dalam industri film nasional mulai dari hulu hingga hilir, sekaligus merancang regulasi baru yang dinilai harus menggantikan Undang-Undang (UU) Perfilman sebelumnya. Regulasi itu dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan industri film Indonesia saat ini.

Hasilnya, tersusunlah buku Wajah Perfilman Indonesia yang berisi rangkuman permasalahan industri film nasional, analisis, data, hingga rekomendasi pengembangan industri film. Nantinya, buku tersebut akan dikembangkan menjadi naskah akademik untuk diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna mendorong penggantian Undang-Undang Perfilman.
 

Perlu adanya penambahan infrastruktur bioskop untuk perfilman nasional (Sumber gambar: Rudy Dong/Unsplash)

Perlu adanya penambahan infrastruktur bioskop untuk perfilman nasional (Sumber gambar: Rudy Dong/Unsplash)

Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia, Gunawan Paggaru, mengatakan regulasi perfilman sudah tidak bisa lagi hanya bertumpu pada satu kementerian dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Namun, harus juga berkolaborasi dengan sejumlah kementerian guna dapat menghasilkan regulasi yang menyeluruh.

Misalnya, regulasi mengenai jaminan dan perlindungan tenaga kerja perfilman harus melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, regulasi mengenai upaya pengembangan film sebagai komoditi ekonomi kreatif dapat melibatkan Kemenparekraf, termasuk perkembangan industri platform streaming digital yang dinilai perlu diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Selain itu, pengembangan industri film yang selama ini tersentralisasi di kota-kota besar seperti Jakarta juga dinilai perlu diubah. Pasalnya, Gunawan menjelaskan saat ini komunitas-komunitas perfilman lokal berkembang pesat hampir di seluruh daerah di Tanah Air, sehingga perlu upaya pengembangan yang menyebar dengan kolaborasi bersama pemerintah daerah di bawah Kementerian Dalam Negeri.

"Kami sudah menganalisis 38 Undang-Undang dan peraturan pemerintah soal perfilman, memang betul-betul dinyatakan rekomendasinya Undang-Undang harus diganti bukan diubah, karena tidak lagi relevan," tegasnya.

Problem Industri Perfilman
Dalam buku Wajah Perfilman Indonesia yang akan dikembangkan menjadi naskah akademik sebagai bahan pembentukan regulasi, setidaknya ada enam poin yang menjadi sorotan dalam perfilman nasional yakni pendidikan film, produksi film, usaha perfilman, regulasi perfilman, kegiatan perfilman nasional, dan harmonisasi UU & peraturan terkait perfilman.

Keenam hal tersebut merupakan hasil pemetaan seluruh persoalan perfilman dari hulu hingga hilir. Dari sisi hulu misalnya diperlukan sumber daya manusia (SDM) perfilman yang berkualitas baik itu sebagai pembuat, pengkaji, maupun pengamat.

Namun, selama ini, pendidikan film nasional masih menghadapi sejumlah tantangan mulai dari kurikulum yang belum sesuai dengan kebutuhan industri, kurangnya pengajar, kurangnya sertifikasi kompetensi pekerja film, hingga minimnya fasilitas teknologi perfilman. Semua persoalan ini akhirnya membuat tidak adanya link and match antara ketersediaan dan kebutuhan SDM di industri film saat ini.

"Selama ini pendidikan film semuanya untuk mencetak pembuat film, tidak ada studi tentang bisnis film. Kalau semua disuruh bikin film, lalu siapa yang akan jualin. Pemerintah tidak pernah tahu ini," kata Gunawan.

Sementara dari sisi produksi, industri film Indonesia dinilai belum memiliki konvensi tentang standarisasi, baik standard operating procedure (SOP), standar alur kerja, standar etika kerja, dan standar mutu dalam ekosistem kerja produksi, distribusi hingga eksibisi.

Hal ini pun menimbulkan sejumlah persoalan mulai dari deskripsi tugas dan tanggung jawab pekerja film dalam produksi film menjadi bias, perlakuan terhadap pekerja film yang masih relatif rendah, hingga hubungan kerja di industri ini yang cenderung belum sehat baik dari skema kontrak kerja, durasi kerja, hingga jaminan sosial bagi pekerja film.

Persoalan lain yang juga menjadi krusial datang dari sisi hilir atau distribusi. Ketersediaan jumlah bioskop saat ini tidak mampu menampung jumlah produk film Indonesia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu, diperlukan pembangunan infrastruktur bioskop-bioskop di sejumlah daerah yang melibatkan pemerintah setempat. "Target kami naskah akademik tentang wajah perfilman kita bisa diserahkan ke DPR tahun ini. Supaya enggak seperti dulu tiba-tiba UU Perfilman jadi dan disahkan," terangnya.

Gunawan menuturkan hasil diskusi dari seluruh insan perfilman ini akan bermuara pada terbentuknya Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN) yang diharapkan dapat menjadi peta jalan bagi pengembangan industri film nasional. Hal ini, paparnya, juga sejalan dengan amanat yang tertuang dalam UU Perfilman sebelumnya dimana harus adanya RIPN yang terus dievaluasi setiap 5 tahun sekali.

Dia menjelaskan dalam RIPN ini nantinya akan tertulis rencana kerja perbaikan sekaligus pengembangan ekosistem perfilman nasional selama lima tahun ke depan yang berangkat dari pemetaan persoalan film dari hulu hingga hilir, yang melibatkan lintas instansi dan kementerian.

Baca juga: Festival Film Indonesia Kembali Hadirkan Kategori Pemeran Anak Tahun Ini

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Tak Perlu Panik, Begini Langkah Penting Bagi Investor Saham saat Nilai Investasinya Turun

BERIKUTNYA

Pengamat: Jadi Film Terlaris, Guardians of the Galaxy Vol. 3 Tawarkan Banyak Keunggulan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: