Ilustrasi toko buku (Sumber gambar: Rachel Claire/Pexels)

Begini Potret Industri Buku Indonesia pada Era Disrupsi Digital

24 April 2023   |   17:00 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Industri perbukuan di Indonesia tercatat terus mengalami pertumbuhan dalam beberapa waktu terakhir. Menurut hasil riset Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2020, terdapat lebih dari 5.200 entitas yang menerbitkan buku di Indonesia. Secara rata-rata, dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 3.280 entitas merupakan perusahaan penerbitan dengan orientasi bisnis baik skala kecil, menengah, maupun besar.

Sementara dari jumlah judul buku yang terbit terjadi pertumbuhan secara konsisten dalam 3 tahun terakhir dan dalam persentase yang cukup signifikan. Dari 2017 ke 2018 terjadi pertambahan jumlah judul buku terbit sebanyak 16.162 judul atau naik 25,8 persen. Sedangkan dari tahun 2018 ke 2019 terjadi pertambahan judul buku terbit sebanyak 16.749 judul atau tumbuh 21,2 persen.

Baca juga: 4 Buku Puisi Terbaik Karya Sapardi Djoko Damono yang Harus Dibaca Anak Muda

Kendati demikian, Sejarawan sekaligus Pendiri Komunitas Bambu JJ Rizal mengatakan industri perbukuan di Tanah Air tak ubahnya seperti hutan belantara dimana semua pelakunya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada sebuah sistem distribusi yang terang bagi penerbit, begitupun menjamin proses akses buku yang mudah bagi pembaca di seluruh pelosok negeri.

Industri perbukuan masih mengalami banyak persoalan mulai dari hulu hingga hilir yang seolah sulit untuk terpecahkan, karena selama ini negara dianggap tidak hadir untuk turun tangan secara langsung dalam upaya membuat ekosistem perbukuan yang baik.

Dari proses percetakan, kertas baca yang digunakan sebagai bahan baku utama buku masih diimpor dari luar negeri. Padahal, Indonesia memiliki hutan yang luas termasuk sejumlah perusahaan yang memproduksi bubur kertas (pulp). "Tapi Indonesia tidak memproduksi kertas. Ironi kan? Hutannya habis dibabatin untuk bubur kertas tapi tidak memproduksi kertas baca," kata Rizal.

Di Indonesia, kertas yang banyak diproduksi dan paling umum digunakan adalah kertas houtvrij schrijfpapier (HVS) yakni kertas yang terbuat dari bubur kertas dan tidak mengandung lignin (perekat antar serat). Namun, kertas HVS tidak proporsional sebagai kertas baca karena berbagai alasan mulai dari bisa memantulkan cahaya hingga berat karena memiliki gramatur yang besar.
 

Ilustrasi toko buku (Sumber gambar: Pixabay/Pexels)

Ilustrasi toko buku (Sumber gambar: Pixabay/Pexels)


Distribusi Buku
Selama ini, penerbit juga menghadapi persoalan yang serius dalam proses distribusi buku. Toko-toko buku besar seperti Gramedia yang memiliki sejumlah gerai di berbagai daerah di Indonesia kerap kali menjadi tujuan utama para penerbit untuk mendistribusikan bukunya.

Namun, ketentuan pembagian royalti atau keuntungan penjualan buku yang mencapai 50 persen-58 persen dinilai memberatkan penerbit. Pasalnya, dari hasil penjualan yang didapatkan, sejumlah 40 persenmerupakan modal penerbit dalam menerbitkan buku, sedangkan sisanya masih harus memberikan royalti kepada penulis mulai dari 7,5 persen-10 persen.

Terlebih, kebanyakan toko buku menerapkan sistem konsinyasi, dimana hanya akan membayar hasil penjualan jika bukunya telah laku terjual. Sementara penerbit mengeluarkan modal sepenuhnya di awal sebelum proses penerbitan. "Tapi setiap penulis baru merasa menjadi penulis kalau buku-bukunya masuk ke dalam toko-toko besar," terangnya.

Kondisi ini akhirnya membuat sejumlah penerbit mulai gencar melakukan penjualan buku melalui marketplace atau lokapasar. Diakui oleh Rizal menjual buku di marketplace lebih mudah karena memberlakukan potongan keuntungan hanya sekitar 8 persen-10 persen, termasuk kemudahan akses masyarakat untuk membeli buku.

Namun, marketplace sebagai pihak ketiga dari proses distribusi buku antara penerbit dan pembeli tidak memiliki kebijakan yang tegas untuk menolak menjual buku bajakan. Walhasil, dengan terbukanya sistem marketplace, tak sedikit toko yang menjual buku bajakan dengan harga murah sehingga sangat merugikan penerbit.

"Misalnya buku Mustika Rasa yang harganya Rp400.000, itu bisa dijual Rp90.000. Gimana caranya kita bisa bersaing dengan hal itu di tengah masyarakat Indonesia yang tidak bisa membedakan antara buku bajakan dan asli. Disinilah perlu kebijakan dari pemerintah," kata Rizal.

Belum lagi, buku juga masih sulit untuk diakses khususnya bagi masyarakat Indonesia di bagian Timur. Cenderung terpusatnya industri perbukuan di Pulau Jawa membuat tarif ongkos kirim buku ke daerah-daerah Indonesia di bagian Timur relatif mahal, sehingga harga buku yang dijual mau tidak mau harus dinaikkan sekitar 15 persen-20 persen dari harga jual di Jawa.

"Jadi orang Indonesia Timur yang dalam statistik ekonominya lebih rendah harus membayar lebih mahal dalam membaca atau mengakses buku daripada orang Jawa," imbuhnya.

Baca juga: Rayakan Hari Buku Anak Internasional dengan 5 Buku Cerita Terlaris Sepanjang Masa

Begitupun dengan proses digitalisasi buku yang kini mulai dilakukan oleh sebagian penerbit. Rizal mengatakan digitalisasi buku juga menghadapi masalah yakni kurang memahaminya masyarakat terhadap hak kekayaan intelektual buku, sehingga banyak buku elektronik (e-book) yang dilipatgandakan dan tersebar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Voxxes Suguhkan Karya Paling Emosional dalam Single Stand the Night

BERIKUTNYA

Hore, Ada Tiket Kereta Api Murah Untuk Arus Balik Lebaran 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: