5 Seniman dengan Autisme Unjuk Karya Seni dalam Pameran Amal
04 April 2023 |
04:57 WIB
Pameran seni amal diselenggarakan oleh Sunrise Art Gallery dan Raysha Management Team di Fairmont Hotel, Jakarta. Pameran ini melibatkan para seniman dengan kondisi autisme yang memiliki keterampilan luar biasa dalam berkarya.
Director Sunrise Art Gallery, Jessica Senjaya mengatakan kreasi artistik kontemporer para seniman yang penuh dengan ekspresi diri yang berani dan keajaiban imajinatif menjadi pertimbangan karya lima seniman ditampilkan dalam pameran ini.
“Setiap goresan dilakukan dengan niat yang tulus karena setiap seniman melukis dengan gaya khas yang berbeda. Ini yang membuat kami tertarik untuk memilih karyanya,” katanya kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Cerita Seniman Nyoman Nuarta Pilih Desain Burung Garuda untuk Istana Kepresidenan di IKN
Dia menuturkan, seniman-seniman yang ikut serta dalam pameran ini adalah Raysha Dinar Kemal Gani, Kezia Kuryakin Sibuea, Shan Rafael Saputra, dan Owen Phillip Widjajakusuma yang menempuh pendidikan di London School Beyond Academy (LSBA).
Selain mereka, seniman yang juga turut serta adalah Dwi Putro Mulyono Jati yang tinggal di Daerah Istimewa (D.I.) Yogyakarta. Berikut profil para seniman dengan kondisi autisme yang ikut serta dalam pameran ini.
Raysha Dinar Kemal Gani adalah putri bungsu pasangan Kemal Gani dan Prita Kemal Gani. Dia lahir pada 14 Januari 2004 dan dua kakak, yakni Ghina Amani Kemal Gani dan Fauzan Kanz Kemal Gani.
Sang seniman didiagnosis dengan autisme berat pada usia 2,5 tahun dengan keterlambatan bicara, gangguan perkembangan, masalah sensorik, dan gangguan keterampilan motorik.
Kondisi tersebut membuat keluarga melakukan sejumlah terapi seperti menunggang kuda, berenang dengan lumba-lumba, seluncur es, bersepeda, skuter, dan sebagainya.
Kegiatan motorik yang dijalani telah meningkatkan perkembangan dan sistem pembelajarannya. Kegiatan ini juga merupakan terapi untuk meningkatkan konsentrasi dan untuk menciptakan lebih banyak kebahagiaan.
Dia kemudian secara bertahap dapat mengeksplorasi kemampuan dan minatnya dengan bantuan orang-orang di sekelilingnya. Dia mulai mulai menari, yoga, jalan pagi, melukis, memasak, dan sebagainya. Raysha menemukan bahwa melukis adalah kegiatan yang menarik dan cara yang baik agar belajar tetap tenang.
Seniman lainnya adalah Dwi Putro Mulyono Jati atau yang akrab disapa Pak Wi. Dia memiliki kondisi disabilitas mental intelektual, tuli, dan tidak berbicara. Melukis menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Pameran karya-karyanya telah diselenggarakan di Yogyakarta, Bali, Bandung, Jakarta, dan Jepang.
Ketika berusia sekitar sembilan tahun di kelas 3 sekolah dasar, gangguan pendengaran muncul. Kondisi ini membuat Pak Wi lebih suka menyendiri dan proses pembelajaran terganggu. Dia tidak pergi ke kelas dan mengulangi.
Ternyata pada tahun berikutnya, dia tidak masuk kelas lagi. Administrasi sekolah menyarankan agar Pak Wi pindah ke sekolah khusus untuk tunarungu. Dia kemudian tidak ingin pergi ke sekolah dan meminta diblkan sepeda baru yang telah membawa Pak Wi ke perlombaan sepeda trek rumput dan menang.
Setahun berlalu. Pak Wi dibujuk untuk belajar di SLB/B Negeri 1 Yogyakarta. Dia pernah mewakili sekolah untuk mengikuti Jambore Pramuka di Cibubur, Jakarta. Di dekat tempat tinggalnya, Pak Wi suka menonton pertunjukan wayang kulit.
Hal inilah yang membuat Pak Wi begitu gemar melukis wayang kulit sampai sekarang. Seperti remaja lainnya, dia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis di sekolahnya. Namun, dari kelas yang berbeda. Dia sering bolos kelas hanya untuk mengintip pacarnya dari jendela kelas.
Baca juga: 3 Seniman Indonesia yang Kerap Menyematkan Kaligrafi dalam Karya Lukisan
Manifestasi gangguan mentalnya kemudian memicu. Pak Wi pernah menjalani rehabilitasi di sebuah rumah sakit jiwa di Yogyakarta.
Pameran yang pernah diikutinya adalah pameran bersama Unlimeted Art di Hotel Ciputra, Semarang; pameran bersama di booth Ken Dedes Performance di Ciputra Artpreneur, Jakarta, dan sebagainya.
Director Sunrise Art Gallery, Jessica Senjaya mengatakan kreasi artistik kontemporer para seniman yang penuh dengan ekspresi diri yang berani dan keajaiban imajinatif menjadi pertimbangan karya lima seniman ditampilkan dalam pameran ini.
“Setiap goresan dilakukan dengan niat yang tulus karena setiap seniman melukis dengan gaya khas yang berbeda. Ini yang membuat kami tertarik untuk memilih karyanya,” katanya kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Cerita Seniman Nyoman Nuarta Pilih Desain Burung Garuda untuk Istana Kepresidenan di IKN
Dia menuturkan, seniman-seniman yang ikut serta dalam pameran ini adalah Raysha Dinar Kemal Gani, Kezia Kuryakin Sibuea, Shan Rafael Saputra, dan Owen Phillip Widjajakusuma yang menempuh pendidikan di London School Beyond Academy (LSBA).
Selain mereka, seniman yang juga turut serta adalah Dwi Putro Mulyono Jati yang tinggal di Daerah Istimewa (D.I.) Yogyakarta. Berikut profil para seniman dengan kondisi autisme yang ikut serta dalam pameran ini.
Raysha Dinar Kemal Gani
Raysha Dinar Kemal Gani adalah putri bungsu pasangan Kemal Gani dan Prita Kemal Gani. Dia lahir pada 14 Januari 2004 dan dua kakak, yakni Ghina Amani Kemal Gani dan Fauzan Kanz Kemal Gani.Sang seniman didiagnosis dengan autisme berat pada usia 2,5 tahun dengan keterlambatan bicara, gangguan perkembangan, masalah sensorik, dan gangguan keterampilan motorik.
Kondisi tersebut membuat keluarga melakukan sejumlah terapi seperti menunggang kuda, berenang dengan lumba-lumba, seluncur es, bersepeda, skuter, dan sebagainya.
Kegiatan motorik yang dijalani telah meningkatkan perkembangan dan sistem pembelajarannya. Kegiatan ini juga merupakan terapi untuk meningkatkan konsentrasi dan untuk menciptakan lebih banyak kebahagiaan.
Dia kemudian secara bertahap dapat mengeksplorasi kemampuan dan minatnya dengan bantuan orang-orang di sekelilingnya. Dia mulai mulai menari, yoga, jalan pagi, melukis, memasak, dan sebagainya. Raysha menemukan bahwa melukis adalah kegiatan yang menarik dan cara yang baik agar belajar tetap tenang.
Dwi Putro Mulyono Jati
Seniman lainnya adalah Dwi Putro Mulyono Jati atau yang akrab disapa Pak Wi. Dia memiliki kondisi disabilitas mental intelektual, tuli, dan tidak berbicara. Melukis menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Pameran karya-karyanya telah diselenggarakan di Yogyakarta, Bali, Bandung, Jakarta, dan Jepang.Ketika berusia sekitar sembilan tahun di kelas 3 sekolah dasar, gangguan pendengaran muncul. Kondisi ini membuat Pak Wi lebih suka menyendiri dan proses pembelajaran terganggu. Dia tidak pergi ke kelas dan mengulangi.
Ternyata pada tahun berikutnya, dia tidak masuk kelas lagi. Administrasi sekolah menyarankan agar Pak Wi pindah ke sekolah khusus untuk tunarungu. Dia kemudian tidak ingin pergi ke sekolah dan meminta diblkan sepeda baru yang telah membawa Pak Wi ke perlombaan sepeda trek rumput dan menang.
Setahun berlalu. Pak Wi dibujuk untuk belajar di SLB/B Negeri 1 Yogyakarta. Dia pernah mewakili sekolah untuk mengikuti Jambore Pramuka di Cibubur, Jakarta. Di dekat tempat tinggalnya, Pak Wi suka menonton pertunjukan wayang kulit.
Hal inilah yang membuat Pak Wi begitu gemar melukis wayang kulit sampai sekarang. Seperti remaja lainnya, dia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis di sekolahnya. Namun, dari kelas yang berbeda. Dia sering bolos kelas hanya untuk mengintip pacarnya dari jendela kelas.
Baca juga: 3 Seniman Indonesia yang Kerap Menyematkan Kaligrafi dalam Karya Lukisan
Manifestasi gangguan mentalnya kemudian memicu. Pak Wi pernah menjalani rehabilitasi di sebuah rumah sakit jiwa di Yogyakarta.
Pameran yang pernah diikutinya adalah pameran bersama Unlimeted Art di Hotel Ciputra, Semarang; pameran bersama di booth Ken Dedes Performance di Ciputra Artpreneur, Jakarta, dan sebagainya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.