Hypereport: Jakarta Tetap Jadi Magnet Bagi Perantau Mengejar Mimpi
18 March 2023 |
19:58 WIB
Sepanggal lirik “Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan terjadi” menjadi salah satu lagu yang langsung terlintas ketika berbicara Ibu Kota. Tembang berjudul Kembali Ke Jakarta dari grup band legendaris, Koes Ploes ini menggambarkan bagaimana Ibu Kota menjadi magnet bagi banyak orang.
Dirilis pada 1969, lagu itu tidak dapat dipungkiri masih relevan sampai saat ini. Setelah 54 tahun dari keluarnya lagu itu, Jakarta tetap menjadi tempat bagi banyak perantau dari berbagai pelosok untuk mengadu nasib dan meraih kesempatan menjadi sukses.
Baca juga: Hypereport: Satwa Liar dalam Jerat Konten Medsos & Dilema Konservasi
Salah satunya adalah Theresia Sinandang. Wanita yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah, memutuskan merantau ke Jakarta karena kesempatan untuk berkarier lebih besar sesuai dengan pendidikan yang dimilikinya.
Theresia pertama kali pergi ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di Indonesia. Setelah lulus, wanita yang kini menduduki jabatan kepala di sebuah perusahaan swasta memilih untuk menetap dan mengadu nasib daripada pulang ke kampung halamannya.
“Kenapa akan tetap stay di Jakarta karena ketersediaan area kerja. Di daerah saya rasanya tidak mengakomodasi apa yang saya pelajari. Jadi, berakhir lah di Jakarta dan memang ternyata pekerjaannya saya sukai,” katanya saat ditemui Hypeabis.id belum lama ini.
Wanita yang pertama kali menginjakkan kaki di Ibu Kota pada 2001 silam itu mengaku mengalami sejumlah tantangan, seperti kemacetan dan keharusan berangkat kerja jauh lebih pagi dari jam kerja yang dimiliki.
Tidak hanya itu, dia juga mengalami culture shock dalam menjalin pertemanan dengan gaya hidup kota metropolitan ini. Berbeda dengan budaya masyarakat tempatnya berasal, individu di Jakarta lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya.
Mereka akan berkata tidak suka jika memang tidak suka, dan sebaliknya. Kondisi ini berbeda dengan budaya di daerahnya yang kerap memilih diam ketika tidak suka terhadap seseorang atau sesuatu.
Meskipun begitu, rasa cinta terhadap pekerjaan membuatnya mampu melewatkan tantangan tersebut. Baginya, Jakarta adalah city of opportunity. Di tempat ini terdapat banyak kesempatan bagi individu untuk menjadi sukses. Ketekunan menjadi kunci untuk memperoleh keberhasilan di sini.
Mereka yang bisa melihat dan meraih kesempatan akan memperoleh keberhasilan. Sementara itu, individu yang hanya bisa melihat kemacetan dan segala macam yang buruk tentang kota ini tidak akan mampu bertahan lama. “Dari fasilitas bagus. Transportasi kalau dinikmati sangat bagus dibandingkan dengan daerah lain,” ujarnya.
SEJARAH PANJANG
Ibu Kota sebagai tujuan bagi para perantau teryata memiliki sejarah yang panjang. Bukan hanya pada saat musim arus balik Lebaran saja para perantau berdatangan, tetapi penjelajah dari berbagai negeri juga memiliki daya tarik terhadap kota yang dulunya bernama Batavia.
Sejarawan dan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudi mengatakan Jakarta sebagai tujuan bagi para perantau sudah ada sejak zaman dahulu atau pada abad ke-13 dan 14 masehi.
Pada saat itu, para perantau yang datang dari berbagai negara dari Eropa, Arab, dan juga China datang ke Jakarta melalui pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka membeli berbagai macam komoditas lokal untuk dibawa ke negaranya.
Di antara mereka sudah ada yang menetap meskipun tidak permanen. Para perantau itu datang bermukim sambil menunggu angin untuk menggerakkan kapal yang digunakan untuk berlayar ke tempat tujuan. “Biasanya motivasi mereka datang ke Jakarta adalah untuk kepentingan perdagangan,” ujarnya.
Tidak jauh berbeda dengan masa lampau, perantau pada saat ini datang ke kota yang dahulu bernama Batavia ini juga memiliki motivasi ekonomi. Hanya saja, kasusnya lebih kompleks jika dibandingkan dengan zaman dahulu.
Mereka yang datang masih percaya dengan anggapan yang mengatakan bahwa kesejahteraan ada di ibu kota, sehingga para perantau datang untuk memperolehnya. Beberapa di antaranya datang tanpa kemampuan.
“Kalau dahulu yang datang adalah pedagang. Artinya mereka punya skill dalam bidang bisnis. Sedangkan perantau sekarang kadang tidak melihat lagi punya skill di bidang apa. Modal yang dimiliki hanya tubuh yang sehat dan kuat untuk bekerja di ranah apa pun di ibu kota,” katanya.
Individu yang datang ke Jakarta mencari kesejahteraan secara materiel lantaran tidak bisa memperolehnya di kampung. Dengan begitu, maka harapan utama yang ingin diraih oleh para perantau adalah mendapatkan banyak uang.
Dia menambahkan, banyak individu dari luar daerah ke ibu kota untuk mendapatkan uang dan menetap dengan membeli properti. Tidak jarang mereka juga membuka usaha, sehingga menciptakan lapangan pekerjaan yang luas.
Meskipun begitu, terdapat juga para perantau yang menjadikan kota ini sebagai tempat untuk memperoleh penghasilan saja. Mereka memilih kampung asal terkait dengan kebutuhan seperti properti, keluarga, dan sebagainya.
Perantau itu lebih memilih membelanjakan penghasilan yang diraih di kampung halamannya, seperti membeli rumah yang bagus, sawah yang luas, dan sebagainya. langkah ini dilakukan karena berpikir tenaga yang dimiliki memiliki jangka waktu.
“Nilai produktivitas akan mengalami penurunan sesuai dengan bertambahnya usia. Mereka lebih baik menimbun kekayaan di kampung halaman daripada ibu kota,” katanya.
Baca juga: Hypereport: Pemaknaan Luas Generasi Muda tentang Janji Suci Pernikahan
Salah satu contoh itu adalah beberapa pedagang yang ada di pasar – pasar Jakarta. Meskipun perputaran ekonomi begitu cepat, bukan berarti mereka ingin membeli properti atau menghabiskan sisa hidup di ibu kota.
Editor: Fajar Sidik
Dirilis pada 1969, lagu itu tidak dapat dipungkiri masih relevan sampai saat ini. Setelah 54 tahun dari keluarnya lagu itu, Jakarta tetap menjadi tempat bagi banyak perantau dari berbagai pelosok untuk mengadu nasib dan meraih kesempatan menjadi sukses.
Baca juga: Hypereport: Satwa Liar dalam Jerat Konten Medsos & Dilema Konservasi
Salah satunya adalah Theresia Sinandang. Wanita yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah, memutuskan merantau ke Jakarta karena kesempatan untuk berkarier lebih besar sesuai dengan pendidikan yang dimilikinya.
Theresia pertama kali pergi ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di Indonesia. Setelah lulus, wanita yang kini menduduki jabatan kepala di sebuah perusahaan swasta memilih untuk menetap dan mengadu nasib daripada pulang ke kampung halamannya.
“Kenapa akan tetap stay di Jakarta karena ketersediaan area kerja. Di daerah saya rasanya tidak mengakomodasi apa yang saya pelajari. Jadi, berakhir lah di Jakarta dan memang ternyata pekerjaannya saya sukai,” katanya saat ditemui Hypeabis.id belum lama ini.
Wanita yang pertama kali menginjakkan kaki di Ibu Kota pada 2001 silam itu mengaku mengalami sejumlah tantangan, seperti kemacetan dan keharusan berangkat kerja jauh lebih pagi dari jam kerja yang dimiliki.
Tidak hanya itu, dia juga mengalami culture shock dalam menjalin pertemanan dengan gaya hidup kota metropolitan ini. Berbeda dengan budaya masyarakat tempatnya berasal, individu di Jakarta lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya.
Mereka akan berkata tidak suka jika memang tidak suka, dan sebaliknya. Kondisi ini berbeda dengan budaya di daerahnya yang kerap memilih diam ketika tidak suka terhadap seseorang atau sesuatu.
Meskipun begitu, rasa cinta terhadap pekerjaan membuatnya mampu melewatkan tantangan tersebut. Baginya, Jakarta adalah city of opportunity. Di tempat ini terdapat banyak kesempatan bagi individu untuk menjadi sukses. Ketekunan menjadi kunci untuk memperoleh keberhasilan di sini.
Mereka yang bisa melihat dan meraih kesempatan akan memperoleh keberhasilan. Sementara itu, individu yang hanya bisa melihat kemacetan dan segala macam yang buruk tentang kota ini tidak akan mampu bertahan lama. “Dari fasilitas bagus. Transportasi kalau dinikmati sangat bagus dibandingkan dengan daerah lain,” ujarnya.
SEJARAH PANJANG
Ibu Kota sebagai tujuan bagi para perantau teryata memiliki sejarah yang panjang. Bukan hanya pada saat musim arus balik Lebaran saja para perantau berdatangan, tetapi penjelajah dari berbagai negeri juga memiliki daya tarik terhadap kota yang dulunya bernama Batavia.
Sejarawan dan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudi mengatakan Jakarta sebagai tujuan bagi para perantau sudah ada sejak zaman dahulu atau pada abad ke-13 dan 14 masehi.
Pada saat itu, para perantau yang datang dari berbagai negara dari Eropa, Arab, dan juga China datang ke Jakarta melalui pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka membeli berbagai macam komoditas lokal untuk dibawa ke negaranya.
Di antara mereka sudah ada yang menetap meskipun tidak permanen. Para perantau itu datang bermukim sambil menunggu angin untuk menggerakkan kapal yang digunakan untuk berlayar ke tempat tujuan. “Biasanya motivasi mereka datang ke Jakarta adalah untuk kepentingan perdagangan,” ujarnya.
Tidak jauh berbeda dengan masa lampau, perantau pada saat ini datang ke kota yang dahulu bernama Batavia ini juga memiliki motivasi ekonomi. Hanya saja, kasusnya lebih kompleks jika dibandingkan dengan zaman dahulu.
Mereka yang datang masih percaya dengan anggapan yang mengatakan bahwa kesejahteraan ada di ibu kota, sehingga para perantau datang untuk memperolehnya. Beberapa di antaranya datang tanpa kemampuan.
“Kalau dahulu yang datang adalah pedagang. Artinya mereka punya skill dalam bidang bisnis. Sedangkan perantau sekarang kadang tidak melihat lagi punya skill di bidang apa. Modal yang dimiliki hanya tubuh yang sehat dan kuat untuk bekerja di ranah apa pun di ibu kota,” katanya.
Individu yang datang ke Jakarta mencari kesejahteraan secara materiel lantaran tidak bisa memperolehnya di kampung. Dengan begitu, maka harapan utama yang ingin diraih oleh para perantau adalah mendapatkan banyak uang.
Dia menambahkan, banyak individu dari luar daerah ke ibu kota untuk mendapatkan uang dan menetap dengan membeli properti. Tidak jarang mereka juga membuka usaha, sehingga menciptakan lapangan pekerjaan yang luas.
Meskipun begitu, terdapat juga para perantau yang menjadikan kota ini sebagai tempat untuk memperoleh penghasilan saja. Mereka memilih kampung asal terkait dengan kebutuhan seperti properti, keluarga, dan sebagainya.
Perantau itu lebih memilih membelanjakan penghasilan yang diraih di kampung halamannya, seperti membeli rumah yang bagus, sawah yang luas, dan sebagainya. langkah ini dilakukan karena berpikir tenaga yang dimiliki memiliki jangka waktu.
“Nilai produktivitas akan mengalami penurunan sesuai dengan bertambahnya usia. Mereka lebih baik menimbun kekayaan di kampung halaman daripada ibu kota,” katanya.
Baca juga: Hypereport: Pemaknaan Luas Generasi Muda tentang Janji Suci Pernikahan
Salah satu contoh itu adalah beberapa pedagang yang ada di pasar – pasar Jakarta. Meskipun perputaran ekonomi begitu cepat, bukan berarti mereka ingin membeli properti atau menghabiskan sisa hidup di ibu kota.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.