Hypereport: Orang-orang Ini Berhasil Membuktikan, Tinggal di Kampung pun Bisa Sukses
18 March 2023 |
22:43 WIB
Suatu siang di pertengahan Maret tahun ini, saya menemui Muhsin di Palmerah, Jakarta Barat. Dia baru selesai memberikan les privat menggunakan Zoom bersama kliennya. Muhsin bukanlah perantau. Praktisi guru itu datang ke Jakarta untuk menemui klien sekaligus membawa misi pribadi, berjumpa kekasih hati.
Tumbuh dan besar di Salatiga, Jawa Tengah, tak urung membuatnya memiliki pandangan berbeda terhadap tradisi merantau. Selain itu, hampir semua keluarganya, bahkan tidak mengenal tradisi urbanisasi yang jamak dilakukan masyarakat itu.
Baca juga: Hypereport: Jakarta Tetap Jadi Magnet Bagi Perantau Mengejar Mimpi
Mereka memilih hidup guyub bersama warga desa. Hal inilah yang membuatnya juga memilih tinggal di kampung meski ada banyak kesempatan untuk menjadi perantau.
"Saya sempat ditawari beasiswa di Turki dan bekerja di India, tapi tidak diberi izin. Namun, aku jadi menemukan a blessing in disguise atau hikmah. Saya jadi lebih sensitif saja untuk melihat potensi [desa] dan akhirnya memilih jadi guru Bahasa Inggris," papar pemuda berambut gondrong itu.
Permasalahan masyarakat desa menurut Muhsin memang di tataran finansial ekonomi. Namun, saat pemberdayaan terhadap masyarakat dilakukan dengan maksimal, keuntungan yang diraih oleh warga tidak hanya dari segi finansial semata. Namun juga meliputi kenyamanan, pertahanan nilai, dan kestabilan desa yang mereka tinggali.
Bersama komunitasnya, Rumah Literasi Pojok Buku, bahkan saat ini dia sedang memaksimalkan potensi alam di desanya yang bernama Kalibening. Beberapa di antaranya dengan membuat workshop kepenulisan sejarah desa, fotografi, pemutaran film, serta pemberdayaan masyarakat berbasis sociopreneur.
"Di desaku memang tidak banyak yang merantau. Ada banyak faktor, termasuk ketakutan dan kenyamanan. Namun, kenyamanan ini perlu digaris bawahi, nyaman dengan tidak melakukan apa-apa itu beda dengan nyaman saat berkontribusi," imbuhnya.
Mengenai kontribusi pada masyarakat, dia pun mencontohkan salah satu program yang mereka helat. Program tersebut berupa workshop menggambar untuk anak-anak, yang kemudian dicetak menjadi tas kanvas. Lewat kegiatan itu anak usia dini menurutnya bahkan bisa memiliki uang pemasukan sendiri.
"Bayangkan, satu orang anak dengan program ini bisa menghasilkan uang Rp50.000 dari satu hasil karya mereka. Itu bahkan cukup untuk membayar uang SPP atau duit jajan sehari-hari jika diberdayakan dengan benar," papar Muhsin.
Lain ladang lain ilalang. Yusar juga mengatakan saat ini pegawai kantoran memang masih menjadi profesi mainstream ketimbang ikhtiar untuk mengelola sumber daya yang tersedia. Adapun, ikhtiar yang dia maksud adalah gagasan wirausaha yang sering disalahpahami masyarakat sebagai profesi kelas dua.
Hal itulah yang dilakukan oleh Syahrial Aman. Pebisnis asal Pati, Jawa Tengah itu dulunya sempat merantau ke berbagai daerah, tapi akhirnya memilih pulang kampung. Padahal, dia sudah diterima bekerja di perusahaan besar, tapi memutuskan banting setir menjadi wirausaha tas anyaman dari plastik bernama Syam's Handicraft.
Salah satu faktor kenapa memutuskan pulang kampung adalah kenyamanan. Terlebih saat Syahrial sudah berkeluarga, sehingga harus memboyong anak dan istrinya untuk ikut merantau. Namun, biaya hidup yang mahal dan kerja yang monoton membuatnya memilih untuk hengkang sebagai pegawai perusahaan.
Gayung pun bersambut, usaha yang dijalankan sejak 2019 itu produknya sering ludes di pasar nasional dan global. Meski awalnya, dia memulainya dari seorang reseller, tapi lambat laun market bisnis yang dijalankan moncer, bahkan saat ini sudah tembus hingga ke Jepang, dan Australia.
Tak hanya itu, bisnisnya pun mampu memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Total ada sekitar tiga ratus lima puluh orang yang turut membantunya memproduksi tas. Mereka didominasi ibu rumah tangga dan mantan tenaga kerja wanita yang dibantu oleh perangkat desa agar bisa berdaya guna.
"Saat ini kita juga sudah punya target kerja sama dengan Jepang, 3-4 bulan ke depan kita masih ada produksi dengan negara tersebut kurang lebih 1 minggu 500-600 tas itu pun hanya untuk Jepang belum negara lain," tutur Syahrial.
Sementara itu, dari segi omset Syahrial mengungkap bisnis yang dijalankan bisa mencapai Rp300-400 juta perbulan saat pandemi. Kendati begitu, dia tidak menampik saat ini omsetnya sedang mengalami penurunan. Ini diakibatkan perekonomian Indonesia yang lesu.
Adapun, Syahrial membanderol harga untuk satu tas plastik besutannya mulai dari Rp10.000 sampai Rp250.000 per buah tergantung bahan dan model. Selain melakukan pemasaran secara digital, dia juga mengandalkan reseller yang berada di berbagai daerah Indonesia.
"Dari segi marketnya tahun ini memang saya merasakan mengalami penurunan, tetapi tidak terlalu signifikan. Solusinya adalah dengan menambah market tidak hanya di lokal, tapi juga di luar negeri sehingga omset kita itu tetap stabil, walaupun lokal mengalami penurunan," kata Syahrial.
Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yusar, mengatakan desa memiliki potensi besar jika masyarakatnya kreatif. Di beberapa daerah, lahan pertanian dan perkebunan pun telah disulap menjadi desa agrowisata. Bahkan, warga juga sering menyediakan workshop bagi rombongan wisatawan.
Menurutnya, selain menikmati hasil bumi, wisatawan yang datang juga bisa bernostalgia saat mereka masih menjadi orang desa. Tak hanya itu, sumber daya lain, seperti sungai yang masih alami pun bisa dimanfaatkan sebagai arena wisata. Tinggal bagaimana strategi pengelolaannya saja yang perlu dikemas oleh masyarakat dan perangkat desa.
"Jika bisa disterilkan dari kepentingan-kepentingan pihak tertentu, saya kira hal ini akan sangat memberikan manfaat bagi penduduk suatu desa. Yaitu memberikan penghasilan, dan pada tataran tertentu dapat mengurangi niat merantau dari golongan usia produktif," kata Yusar saat dihubungi Hypeabis.id belum lama ini.
Beberapa etnis di Indonesia memang terkenal dengan kebiasaan merantau. Hal itu menurut Yusar dipengaruhi sistem kekerabatan, pewarisan, dan ketersediaan lahan. Namun, pada etnis yang bersistem waris bilateral dan unilateral, atau tingkat ketersediaan lahan yang tinggi, umumnya mereka cenderung tidak merantau.
"Saya katakan merantau sebagai kebiasaan karena tidak ada sanksi yang mengikat jika anggota masyarakatnya tidak merantau. Demikian pula banyak etnis yang tidak memiliki kebiasaan merantau, kalaupun merantau, tidak ada sanksi bagi mereka," jelas Yusar.
Kendati begitu, pada tataran tertentu Yusar mengungkap tradisi merantau juga mengakibatkan depopulasi pada daerah-daerah yang ditinggalkan. Jika dibiarkan maka kondisi tersebut dikhawatirkan dapat membuat wilayah yang ditinggalkan jadi tidak produktif.
"Terlebih jika daerah-daerah tersebut belum terjangkau oleh akses-akses pemudah hidup, seperti jalan, transportasi atau saluran komunikasi. Padahal, pada wilayah pedesaan sebetulnya bisa memberikan peluang kerja yang relatif besar juga jika digali potensinya," katanya.
Editor: Dika Irawan
Tumbuh dan besar di Salatiga, Jawa Tengah, tak urung membuatnya memiliki pandangan berbeda terhadap tradisi merantau. Selain itu, hampir semua keluarganya, bahkan tidak mengenal tradisi urbanisasi yang jamak dilakukan masyarakat itu.
Baca juga: Hypereport: Jakarta Tetap Jadi Magnet Bagi Perantau Mengejar Mimpi
Mereka memilih hidup guyub bersama warga desa. Hal inilah yang membuatnya juga memilih tinggal di kampung meski ada banyak kesempatan untuk menjadi perantau.
"Saya sempat ditawari beasiswa di Turki dan bekerja di India, tapi tidak diberi izin. Namun, aku jadi menemukan a blessing in disguise atau hikmah. Saya jadi lebih sensitif saja untuk melihat potensi [desa] dan akhirnya memilih jadi guru Bahasa Inggris," papar pemuda berambut gondrong itu.
Permasalahan masyarakat desa menurut Muhsin memang di tataran finansial ekonomi. Namun, saat pemberdayaan terhadap masyarakat dilakukan dengan maksimal, keuntungan yang diraih oleh warga tidak hanya dari segi finansial semata. Namun juga meliputi kenyamanan, pertahanan nilai, dan kestabilan desa yang mereka tinggali.
Bersama komunitasnya, Rumah Literasi Pojok Buku, bahkan saat ini dia sedang memaksimalkan potensi alam di desanya yang bernama Kalibening. Beberapa di antaranya dengan membuat workshop kepenulisan sejarah desa, fotografi, pemutaran film, serta pemberdayaan masyarakat berbasis sociopreneur.
"Di desaku memang tidak banyak yang merantau. Ada banyak faktor, termasuk ketakutan dan kenyamanan. Namun, kenyamanan ini perlu digaris bawahi, nyaman dengan tidak melakukan apa-apa itu beda dengan nyaman saat berkontribusi," imbuhnya.
Mengenai kontribusi pada masyarakat, dia pun mencontohkan salah satu program yang mereka helat. Program tersebut berupa workshop menggambar untuk anak-anak, yang kemudian dicetak menjadi tas kanvas. Lewat kegiatan itu anak usia dini menurutnya bahkan bisa memiliki uang pemasukan sendiri.
"Bayangkan, satu orang anak dengan program ini bisa menghasilkan uang Rp50.000 dari satu hasil karya mereka. Itu bahkan cukup untuk membayar uang SPP atau duit jajan sehari-hari jika diberdayakan dengan benar," papar Muhsin.
Lain ladang lain ilalang. Yusar juga mengatakan saat ini pegawai kantoran memang masih menjadi profesi mainstream ketimbang ikhtiar untuk mengelola sumber daya yang tersedia. Adapun, ikhtiar yang dia maksud adalah gagasan wirausaha yang sering disalahpahami masyarakat sebagai profesi kelas dua.
Hal itulah yang dilakukan oleh Syahrial Aman. Pebisnis asal Pati, Jawa Tengah itu dulunya sempat merantau ke berbagai daerah, tapi akhirnya memilih pulang kampung. Padahal, dia sudah diterima bekerja di perusahaan besar, tapi memutuskan banting setir menjadi wirausaha tas anyaman dari plastik bernama Syam's Handicraft.
Salah satu faktor kenapa memutuskan pulang kampung adalah kenyamanan. Terlebih saat Syahrial sudah berkeluarga, sehingga harus memboyong anak dan istrinya untuk ikut merantau. Namun, biaya hidup yang mahal dan kerja yang monoton membuatnya memilih untuk hengkang sebagai pegawai perusahaan.
Gayung pun bersambut, usaha yang dijalankan sejak 2019 itu produknya sering ludes di pasar nasional dan global. Meski awalnya, dia memulainya dari seorang reseller, tapi lambat laun market bisnis yang dijalankan moncer, bahkan saat ini sudah tembus hingga ke Jepang, dan Australia.
Tak hanya itu, bisnisnya pun mampu memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Total ada sekitar tiga ratus lima puluh orang yang turut membantunya memproduksi tas. Mereka didominasi ibu rumah tangga dan mantan tenaga kerja wanita yang dibantu oleh perangkat desa agar bisa berdaya guna.
"Saat ini kita juga sudah punya target kerja sama dengan Jepang, 3-4 bulan ke depan kita masih ada produksi dengan negara tersebut kurang lebih 1 minggu 500-600 tas itu pun hanya untuk Jepang belum negara lain," tutur Syahrial.
Sementara itu, dari segi omset Syahrial mengungkap bisnis yang dijalankan bisa mencapai Rp300-400 juta perbulan saat pandemi. Kendati begitu, dia tidak menampik saat ini omsetnya sedang mengalami penurunan. Ini diakibatkan perekonomian Indonesia yang lesu.
Adapun, Syahrial membanderol harga untuk satu tas plastik besutannya mulai dari Rp10.000 sampai Rp250.000 per buah tergantung bahan dan model. Selain melakukan pemasaran secara digital, dia juga mengandalkan reseller yang berada di berbagai daerah Indonesia.
"Dari segi marketnya tahun ini memang saya merasakan mengalami penurunan, tetapi tidak terlalu signifikan. Solusinya adalah dengan menambah market tidak hanya di lokal, tapi juga di luar negeri sehingga omset kita itu tetap stabil, walaupun lokal mengalami penurunan," kata Syahrial.
Kreativitas Cegah Depopulasi
Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yusar, mengatakan desa memiliki potensi besar jika masyarakatnya kreatif. Di beberapa daerah, lahan pertanian dan perkebunan pun telah disulap menjadi desa agrowisata. Bahkan, warga juga sering menyediakan workshop bagi rombongan wisatawan.Menurutnya, selain menikmati hasil bumi, wisatawan yang datang juga bisa bernostalgia saat mereka masih menjadi orang desa. Tak hanya itu, sumber daya lain, seperti sungai yang masih alami pun bisa dimanfaatkan sebagai arena wisata. Tinggal bagaimana strategi pengelolaannya saja yang perlu dikemas oleh masyarakat dan perangkat desa.
"Jika bisa disterilkan dari kepentingan-kepentingan pihak tertentu, saya kira hal ini akan sangat memberikan manfaat bagi penduduk suatu desa. Yaitu memberikan penghasilan, dan pada tataran tertentu dapat mengurangi niat merantau dari golongan usia produktif," kata Yusar saat dihubungi Hypeabis.id belum lama ini.
Beberapa etnis di Indonesia memang terkenal dengan kebiasaan merantau. Hal itu menurut Yusar dipengaruhi sistem kekerabatan, pewarisan, dan ketersediaan lahan. Namun, pada etnis yang bersistem waris bilateral dan unilateral, atau tingkat ketersediaan lahan yang tinggi, umumnya mereka cenderung tidak merantau.
"Saya katakan merantau sebagai kebiasaan karena tidak ada sanksi yang mengikat jika anggota masyarakatnya tidak merantau. Demikian pula banyak etnis yang tidak memiliki kebiasaan merantau, kalaupun merantau, tidak ada sanksi bagi mereka," jelas Yusar.
Kendati begitu, pada tataran tertentu Yusar mengungkap tradisi merantau juga mengakibatkan depopulasi pada daerah-daerah yang ditinggalkan. Jika dibiarkan maka kondisi tersebut dikhawatirkan dapat membuat wilayah yang ditinggalkan jadi tidak produktif.
"Terlebih jika daerah-daerah tersebut belum terjangkau oleh akses-akses pemudah hidup, seperti jalan, transportasi atau saluran komunikasi. Padahal, pada wilayah pedesaan sebetulnya bisa memberikan peluang kerja yang relatif besar juga jika digali potensinya," katanya.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.