Ilustrasi startup lampu kuning (Per Lööv/Unsplash)

Benarkah Startup Hadapi ‘Kiamat Kecil’ Tahun Ini? Cek Hasil Surveinya

15 March 2023   |   14:00 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Beberapa hari terakhir, tepatnya pada Jumat (10/3/2023) Sillicon Valey Bank (SVB) mengalami kerugian sebesar US$2,3 miliar yang menyebabkan bank urutan terbesar ke-16 di Amerika ini mengalami kebangkrutan. Padahal, SVB merupakan salah satu pendukung terbesar startup sehingga kebangkrutan ini bisa dikatakan menjadi bencana bagi startup.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Pakar marketing dari Inventure Yuswohady mengatakan para pelaku industri stratup di Indonesia juga harus lebih waspada dan berhati-hati. Pasalnya, pada 2023 ini akan banyak gonjangan yang bakal dialami perusahaan startup dari berbagai sisi, sehingga berisiko menghadapi ancaman ledakan gelembung.

Baca juga: Kiat Pekerja Tahan Gempuran Melawan Era Bubble Burst di Industri Startup

Menurutnya, penyebab ancaman tersebut bukan karena kolapsnya Sillicon Valey Bank, tetapi karena fondasi bisnis yang rapuh. Ancamannya pun terlihat dari berbagai sisi. Di sisi hulu, era bakar uang telah selesai.

Pemilik modal, terutama investor global, kini makin banyak perhitungan, terlebih di tengah situasi global yang terancam resesi. Mereka menekan startup untuk segera cetak profit. 

Sementara di sisi hilir, konsumen yang price sensitive cenderung meninggalkan layanan yang digunakannya karena berkurangnya aneka diskon yang diberikan startup demi menjaga efisiensinya.

“Awas, hati-hati! kita mesti mewaspadai sinyal meletusnya digital bubble dari sektor startup, seperti banyaknya PHK. Kondisi ini akan merembet serta berdampak ke sektor-sektor lain yang terkait langsung ataupun tidak, karena biasanya pelaku startup memiliki ekosistem yang luas,” ujar Yuswohady.

Hal ini sejalan juga dengan hasil riset dari Indonesia Industry Outlook (IIO) 2023 bertajuk ‘he Dark Global Economy, The Bright Local Champions bahwa konsumen akan mengurangi atau menghapus aplikasi digitalnya di masa depan karena dianggap tidak efisien dan kompetitif. 
 

Pakar Marketing Yuswohady saat menjelaskan hasil riset Inventure-Alvara  (sumber gambar : Inventure)

Pakar Marketing Yuswohady saat menjelaskan hasil riset Inventure-Alvara (sumber gambar : Inventure)


Dalam survei oleh lembaga konsultan Inventure dan biro riset Alvara terhadap 620 responden terlihat bahwa semua layanan digital pada masa depan akan berkurang jumlah penggunanya. Misalnya pengguna layanan food delivery yang saat ini digunakan oleh 74,8 persen pengguna, ke depannya hanya akan ada 65,2 persen.

Begitu pula dengan layanan transportasi online yang saat ini digunakan oleh 56,6 persen, nantinya hanya akan tinggal 46,1 persen pengguna.

Adapun yang paling kecil penggunanya adalah aplikasi online groceries, di mana saat ini jumlah penggunanya sekitar 3,25 persen dan pada masa depan diprediksi hanya tinggal 1,3 persen pengguna.

Pasalnya, konsumen menilai layanan tersebut kini sudah tidak kompetitif lagi karena tidak mampu memberikan diskon, cashback, bebas ongkir, dan lainnya yang dulu menjadi andalan saat mereka berada pada era bakar duit.

Di samping itu, pelaku industri Online Travel Agent (OTA) juga terancam ditinggalkan karena konsumen lebih memilih memesan langsung ke service provider (hotel) lantaran merasa lebih ringkas prosesnya, selain tidak mendapat tawaran menggiurkan – seperti diskon – dari kalangan OTA.

Dari hasil survei tersebut ditemukan bahwa 80 persen responden setuju bahwa memesan hotel secara langsung melalui sales atau website hotel jauh lebih murah daripada melalui OTA.

Yuswohady menyebutkan OTA yang dulu dikenal murah karena menawarkan tiket jauh lebih murah dengan berbagai promo kini harganya mulai melambung. Alasannya ‘Era Bakar Duit’ di kalangan startup telah berakhir. 

“Mereka (OTA) harus mulai fokus meraih profit untuk meraih kepercayaan investor. Alhasil demi profit mereka harus mengurangi promo dan menaikan biaya layanan,” ucapnya.

Selain itu, OTA juga mulai mengenakan komisi bagi hotel-hotel mitra sehingga membuat hotel merasa ‘terjepit’. Kondisi ini membuat pihak hotel dengan membuat strategi khusus yakni memberikan diskon bagi konsumen yang memesan melalui website hotel.

“Fenomena ini bisa dijadikan sebagai tanda dan pertanda bahwa OTA bsa saja mendekati akhir,” tutur Yuswohady.
Namun, apakah layanan-layanan digital tersebut akan mati oleh adanya kiamat kecil ini? 

Kendati tantangan demikian berat, Yuswohady yang juga pakar manajemen dan bisnis ini optimistis jalan terang tetap terlihat. “Lewat IIO inilah kami ingin membekali para industry leader agar bisa menyukseskan target 2023 dengan sebaik-baiknya,” katanya. 

Baca juga: 10 Daftar Startup yang Menghentikan Layanannya di Indonesia 

Pasalnya, dalam report IIO 2023, selain disajikan insight atas perkembangan sejumlah industri, juga akan dibedah dan diidentifikasi secara lengkap berbagai tren pasar yang berpotensi tumbuh beserta strategi dan tips menjalankan usaha dan bisnis tahun ini. 

“Jadi, 2023 memang tampak gelap. Namun dengan berpegang pada hasil IIO 2023 ini, saya berharap para industry leaders bisa memahami bagaimana caranya menciptakan cahaya di tengah lorong yang gelap. Kalau kita bisa melakukan itu, tahun ini justru bisa menjadi tahun terang bagi para pemain-pemain yang agile dan smart,” ucapnya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

5 Gerakan Olahraga Mudah untuk Tubuh Sehat & Ideal

BERIKUTNYA

Vin Diesel Pamer Poster Film Fast X, Momen Berkumpulnya Kembali Anggota Geng Fast & Furious

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: