Kolaborasi Jadi Kunci Sukseskan Program Literasi di Tanah Air
28 February 2023 |
12:59 WIB
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengajak semua pihak untuk terus menumbuhkan benih literasi anak di Indonesia. Pasalnya, tingkat literasi masyarakat di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) masih rendah dan belum merata.
Menyikapi hal itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun telah menggulirkan Kebijakan Merdeka Belajar Episode 23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia. Namun, program yang dimulai sejak 2022 ini dinilai tidak akan berhasil tanpa adanya kolaborasi erat antar pemangku kepentingan di lapangan.
“Kemendikbudristek tidak dapat bekerja sendirian dalam menyediakan ataupun mendistribusikan buku bacaan bermutu dan berkualitas tidak terbatas hanya di daerah 3T, tetapi untuk seluruh anak Indonesia di penjuru negeri,” papar Nadiem dalam siaran tertulis, Selasa, (28/2/23).
Baca juga: Kemendikbudristek Bagikan Ribuan Buku untuk Tingkatkan Literasi di Daerah 3T
Tak hanya itu, Nadiem juga mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam meningkatkan kompetensi literasi anak didik. Oleh karena itu dia pun meminta sinergisitas antara wali murid dan para guru untuk ikut menggencarkan program tersebut agar minat baca anak semakin baik ke depannya.
“Kami perlu dukungan tidak hanya dari guru dan kepala sekolah saja, tetapi juga orang tua, karena peran orang tua punya dampak besar dalam menentukan anak-anak kita untuk mencintai buku,” tambahnya.
Sebelumnya, pada 2022 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menyediakan dan menyalurkan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu disertai dengan pelatihan dan pendampingan guru pada lebih dari 20.000 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang paling membutuhkan di Indonesia.
Adapun, pengiriman buku bacaan bermutu ke berbagai daerah dilakukan karena masih belum tersedianya buku bacaan yang menarik peserta didik. Menurut Nadiem, inilah salah satu penyebab rendahnya kebiasaan membaca serta kemampuan literasi anak-anak di daerah 3T.
“Ini adalah program pengiriman buku dengan jumlah buku dan jumlah penerima yang terbesar. Selain itu yang paling penting adalah bagaimana kami saat ini juga menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk membantu sekolah memanfaatkan buku-buku yang diterima,” tutur Nadiem.
Tak hanya itu, terobosan dalam program pengiriman buku itu dirancang berdasarkan situasi di lapangan yang harus segera ditangani. Pasalnya, berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021, Indonesia saat ini sedang mengalami darurat literasi.
Nadiem menuturkan, satu dari dua peserta didik pada jenjang SD sampai SMA saat ini belum mencapai kompetensi minimum literasi. Mirisnya, kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih berada di bawah rata-rata kemampuan literasi peserta didik di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
“Hasil tersebut konsisten dengan hasil Programme for International Student Assessment [PISA] selama 20 tahun terakhir yang menunjukkan bahwa skor literasi anak-anak Indonesia masih rendah dan belum meningkat secara signifikan,” imbuh Nadiem.
Selain itu, fakta lain yang ditunjukkan dari hasil AN menunjukkan terdapat kesenjangan pada kompetensi literasi. Yaitu di mana masih cukup banyak sekolah, terutama yang berada di kawasan 3T dengan peringkat literasi dan numerasi berada pada level satu atau sangat rendah.
“Sekolah-sekolah yang berada di level satu dan di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan ini membutuhkan intervensi khusus, sehingga kami menjadikannya sebagai satuan pendidikan penerima buku bacaan bermutu pada program pengiriman buku ini,” jelas Mendikbudristek.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2022, disebutkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan memang masih rendah, yakni berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.
Tak hanya itu, data tersebut juga didukung oleh penelitian United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizatoin (UNESCO). Mereka menyebutkan masyarakat Indonesia memang memiliki minat baca yang cukup memprihatinkan. Dalam data UNESCO tersebut, hanya 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Menyikapi hal itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun telah menggulirkan Kebijakan Merdeka Belajar Episode 23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia. Namun, program yang dimulai sejak 2022 ini dinilai tidak akan berhasil tanpa adanya kolaborasi erat antar pemangku kepentingan di lapangan.
“Kemendikbudristek tidak dapat bekerja sendirian dalam menyediakan ataupun mendistribusikan buku bacaan bermutu dan berkualitas tidak terbatas hanya di daerah 3T, tetapi untuk seluruh anak Indonesia di penjuru negeri,” papar Nadiem dalam siaran tertulis, Selasa, (28/2/23).
Baca juga: Kemendikbudristek Bagikan Ribuan Buku untuk Tingkatkan Literasi di Daerah 3T
Tak hanya itu, Nadiem juga mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam meningkatkan kompetensi literasi anak didik. Oleh karena itu dia pun meminta sinergisitas antara wali murid dan para guru untuk ikut menggencarkan program tersebut agar minat baca anak semakin baik ke depannya.
“Kami perlu dukungan tidak hanya dari guru dan kepala sekolah saja, tetapi juga orang tua, karena peran orang tua punya dampak besar dalam menentukan anak-anak kita untuk mencintai buku,” tambahnya.
Sebelumnya, pada 2022 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menyediakan dan menyalurkan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu disertai dengan pelatihan dan pendampingan guru pada lebih dari 20.000 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang paling membutuhkan di Indonesia.
Adapun, pengiriman buku bacaan bermutu ke berbagai daerah dilakukan karena masih belum tersedianya buku bacaan yang menarik peserta didik. Menurut Nadiem, inilah salah satu penyebab rendahnya kebiasaan membaca serta kemampuan literasi anak-anak di daerah 3T.
“Ini adalah program pengiriman buku dengan jumlah buku dan jumlah penerima yang terbesar. Selain itu yang paling penting adalah bagaimana kami saat ini juga menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk membantu sekolah memanfaatkan buku-buku yang diterima,” tutur Nadiem.
Tak hanya itu, terobosan dalam program pengiriman buku itu dirancang berdasarkan situasi di lapangan yang harus segera ditangani. Pasalnya, berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021, Indonesia saat ini sedang mengalami darurat literasi.
Nadiem menuturkan, satu dari dua peserta didik pada jenjang SD sampai SMA saat ini belum mencapai kompetensi minimum literasi. Mirisnya, kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih berada di bawah rata-rata kemampuan literasi peserta didik di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
“Hasil tersebut konsisten dengan hasil Programme for International Student Assessment [PISA] selama 20 tahun terakhir yang menunjukkan bahwa skor literasi anak-anak Indonesia masih rendah dan belum meningkat secara signifikan,” imbuh Nadiem.
Selain itu, fakta lain yang ditunjukkan dari hasil AN menunjukkan terdapat kesenjangan pada kompetensi literasi. Yaitu di mana masih cukup banyak sekolah, terutama yang berada di kawasan 3T dengan peringkat literasi dan numerasi berada pada level satu atau sangat rendah.
“Sekolah-sekolah yang berada di level satu dan di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan ini membutuhkan intervensi khusus, sehingga kami menjadikannya sebagai satuan pendidikan penerima buku bacaan bermutu pada program pengiriman buku ini,” jelas Mendikbudristek.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2022, disebutkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan memang masih rendah, yakni berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.
Tak hanya itu, data tersebut juga didukung oleh penelitian United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizatoin (UNESCO). Mereka menyebutkan masyarakat Indonesia memang memiliki minat baca yang cukup memprihatinkan. Dalam data UNESCO tersebut, hanya 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.