Kemajuan Teknologi, Angka Harapan Hidup Penyakit Jantung Bawaan Naik 30 Persen
27 February 2023 |
22:57 WIB
Ada kabar baik buat pengidap penyakit jantung bawaan (PJB). Sebab, angka harapan hidup pengidap PJB meningkat sangat signifikan dalam satu dekade terakhir. Salah satu penyebabnya ialah penggunaan teknologi dalam tatalaksana pengobatan PJB, yang makin masif dalam beberapa tahun terakhir ini.
Ketua Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler Indonesia (Perki) Radityo Prakoso mengatakan bahwa kemajuan teknologi di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang intervensi kardiologi anak, telah membawa angin segar bagi perkembangan pengobatan PJB.
Baca juga: Terkait Saraf dan Jantung, Kenali Jenis & Gejala Neurovaskular
Untuk beberapa kasus, kata Radityo, pasien PJB kini tidak lagi mengalami operasi atau pembedahan terbuka. Pasien hanya perlu melakukan tatalaksana prosedur intervensi dengan kateterisasi. sehingga tidak perlu pembedahan.
“Teknologi tatalaksana penanganan pasien PJB sudah makin maju dan berkembang sehingga jika dibandingkan dengan tahun 90-an, angka survival pasien PJB telah meningkat hingga 30 persen,” kata Radityo Prakoso selaku spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dalam media gathering Heartology.
Dokter Radityo menjelaskan beberapa kasus yang dapat dilakukan intervensi non-bedah adalah Patent Ductus Arteriosus (PDA). PDA merupakan kelainan pembuluh darah yang menghubungkan arteri pulmonalis kiri dengan aorta desendens tetap terbuka setelah bayi lahir.
Kondisi tersebut membuat darah bercampur antara dua arteri dan memaksa jantung juga paru-paru bekerja lebih keras. Kelainan ini terjadi pada lima persen hingga sepuluh persen anak yang lahir dengan PJB.
Salah satu pengobatan yang bisa dilakukan ialah dengan Amplatzer Ductal Occluder (ADO) atau dikenal juga dengan prosedur kateter. Meski tanpa bedah, cara ini efektif menutup ductus arteriosus.
Selain itu, Atrial Septal Defect (ASD) atau kebocoran serambi jantung juga sudah dapat dilakukan tatalaksana nonbedah. ASD merupakan kelainan yang memungkinkan aliran darah mengalir dari serambi kiri yang memiliki tekanan tinggi, ke serambi kanan karena ada lubang yang tidak menutup sempurna di dinding pemisah keduanya.
Tatalaksana pengobatan ASD bisa menggunakan Amplatzer Septal Occluder (ASO). Tanpa bedah, penatalaksanaan ASO cukup dengan memasukkan sebuah alat ke jantung melalui teknik kateterisasi agar aliran darah tidak normal tersebut bisa ditutup.
Radityo menjelaskan bahwa tindakan intervensi kateter ini dapat dilakukan dengan metode zero fluoroscopy (tanpa radiasi). Lantaran tanpa radiasi, para pihak yang terlibat, seperti pasien, dokter, dan tim laboratorium bisa menghindari efek jangka panjang dari radiasi tersebut. Selain itu, prosedur ini juga menggunakan bantuan imaging murni dari ekokardiografi.
Tak hanya itu, intervensi nonbedah pada PJB menggunakan kateter ini memiliki beberapa keuntungan. Dari risiko komplikasi yang relatif lebih rendah, masa rawat di rumah sakit dan waktu pemulihan yang lebih singkat, serta biaya yang lebih murah. Di sisi lain, waktu pengerjaan tindakan juga lebih singkat. “Penanganan PJB yang tepat, dapat meningkatkan 3x usia harapan hidup pasien,” imbuhnya.
Sayangnya, 50 persen dari pengidap PJB di Indonesia datang dengan keadaan sudah terlambat. Umumnya, mereka yang datang terlambat karena mengabaikan tanda atau gejala PJB. Selain itu, faktor pertimbangan biaya dan tidak meratanya informasi tentang PJB juga cukup berpengaruh dalam keputusan membawa anak PJB ke dokter. Ujungnya, pasien PJB tidak dapat tertangani dengan baik.
Ada beberapa gejala yang perlu diwaspadai orang tua, terutama jika melihat ada gejala asing yang ditunjukkan oleh anak. Gejala yang sering dijumpai pada pasien PJB adalah warna kulit, baik kaki, tangan, maupun bibir yang kebiruan.
Gejala ini juga kerap berbarengan dengan adanya sesak napas, berat badan yang sulit naik, infeksi batuk serta demam yang berulang dan kesulitan menyusui. Jika ada tanda-tanda tersebut, Radityo menyarankan agar orang tua segera membawa anak ke dokter agar bisa mendapatkan diagnosis lanjutan yang lebih tepat.
Baca juga: Wajib Baca, Ini Deretan Vitamin yang Bantu Kesehatan Jantung
Editor: Dika Irawan
Ketua Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler Indonesia (Perki) Radityo Prakoso mengatakan bahwa kemajuan teknologi di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang intervensi kardiologi anak, telah membawa angin segar bagi perkembangan pengobatan PJB.
Baca juga: Terkait Saraf dan Jantung, Kenali Jenis & Gejala Neurovaskular
Untuk beberapa kasus, kata Radityo, pasien PJB kini tidak lagi mengalami operasi atau pembedahan terbuka. Pasien hanya perlu melakukan tatalaksana prosedur intervensi dengan kateterisasi. sehingga tidak perlu pembedahan.
“Teknologi tatalaksana penanganan pasien PJB sudah makin maju dan berkembang sehingga jika dibandingkan dengan tahun 90-an, angka survival pasien PJB telah meningkat hingga 30 persen,” kata Radityo Prakoso selaku spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dalam media gathering Heartology.
Dokter Radityo menjelaskan beberapa kasus yang dapat dilakukan intervensi non-bedah adalah Patent Ductus Arteriosus (PDA). PDA merupakan kelainan pembuluh darah yang menghubungkan arteri pulmonalis kiri dengan aorta desendens tetap terbuka setelah bayi lahir.
Kondisi tersebut membuat darah bercampur antara dua arteri dan memaksa jantung juga paru-paru bekerja lebih keras. Kelainan ini terjadi pada lima persen hingga sepuluh persen anak yang lahir dengan PJB.
Salah satu pengobatan yang bisa dilakukan ialah dengan Amplatzer Ductal Occluder (ADO) atau dikenal juga dengan prosedur kateter. Meski tanpa bedah, cara ini efektif menutup ductus arteriosus.
Selain itu, Atrial Septal Defect (ASD) atau kebocoran serambi jantung juga sudah dapat dilakukan tatalaksana nonbedah. ASD merupakan kelainan yang memungkinkan aliran darah mengalir dari serambi kiri yang memiliki tekanan tinggi, ke serambi kanan karena ada lubang yang tidak menutup sempurna di dinding pemisah keduanya.
Tatalaksana pengobatan ASD bisa menggunakan Amplatzer Septal Occluder (ASO). Tanpa bedah, penatalaksanaan ASO cukup dengan memasukkan sebuah alat ke jantung melalui teknik kateterisasi agar aliran darah tidak normal tersebut bisa ditutup.
Radityo menjelaskan bahwa tindakan intervensi kateter ini dapat dilakukan dengan metode zero fluoroscopy (tanpa radiasi). Lantaran tanpa radiasi, para pihak yang terlibat, seperti pasien, dokter, dan tim laboratorium bisa menghindari efek jangka panjang dari radiasi tersebut. Selain itu, prosedur ini juga menggunakan bantuan imaging murni dari ekokardiografi.
Tak hanya itu, intervensi nonbedah pada PJB menggunakan kateter ini memiliki beberapa keuntungan. Dari risiko komplikasi yang relatif lebih rendah, masa rawat di rumah sakit dan waktu pemulihan yang lebih singkat, serta biaya yang lebih murah. Di sisi lain, waktu pengerjaan tindakan juga lebih singkat. “Penanganan PJB yang tepat, dapat meningkatkan 3x usia harapan hidup pasien,” imbuhnya.
Kasus PJB di Indonesia
Radityo mengatakan bahwa PJB masih menjadi salah satu jenis penyakit jantung yang umum di Indonesia. Dia mengungkap sekitar 80.000-an bayi per tahunnya lahir dan mengalami penyakit jantung bawaan.Sayangnya, 50 persen dari pengidap PJB di Indonesia datang dengan keadaan sudah terlambat. Umumnya, mereka yang datang terlambat karena mengabaikan tanda atau gejala PJB. Selain itu, faktor pertimbangan biaya dan tidak meratanya informasi tentang PJB juga cukup berpengaruh dalam keputusan membawa anak PJB ke dokter. Ujungnya, pasien PJB tidak dapat tertangani dengan baik.
Ada beberapa gejala yang perlu diwaspadai orang tua, terutama jika melihat ada gejala asing yang ditunjukkan oleh anak. Gejala yang sering dijumpai pada pasien PJB adalah warna kulit, baik kaki, tangan, maupun bibir yang kebiruan.
Gejala ini juga kerap berbarengan dengan adanya sesak napas, berat badan yang sulit naik, infeksi batuk serta demam yang berulang dan kesulitan menyusui. Jika ada tanda-tanda tersebut, Radityo menyarankan agar orang tua segera membawa anak ke dokter agar bisa mendapatkan diagnosis lanjutan yang lebih tepat.
Baca juga: Wajib Baca, Ini Deretan Vitamin yang Bantu Kesehatan Jantung
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.