Cara Meloloskan Diri dari Generasi Roti Lapis
26 February 2023 |
16:02 WIB
Hadi (28 tahun) tengah memegang roti lapis yang dibelinya dari toko di dekat rumahnya di kawasan Jakarta Pusat. Meski begitu, dia tidak langsung menyantapnya tapi menganalogikan dirinya sendiri dengan kudapan itu, terkait isu yang belakangan ramai dibicarakan yakni sandwich generation.
“Banyak orang sekarang ngomongin soal generasi sandwich, dan itu benar sih. Gue sendiri juga begitu. Ya kayak daging ini nih. Dijepit sayur, roti di atas bawah,” katanya sembari menunjuk sandwich yang digenggamnya saat berbincang dengan penulis.
Sandwich generation memang tengah gandrung jadi pembicaraan publik, tak terkecuali di jagat maya. Banyak warganet membagikan kisah mereka yang harus menanggung beban hidup, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan pasangan tapi juga generasi di atasnya; ibu dan ayah hingga kakek dan neneknya.
Hadi yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan swasta di Ibu Kota juga demikian. Dia harus menjadi tulang punggung utama untuk keluarga kecilnya bersama istri dan seorang anak.
Tidak hanya itu. Kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut tidak memiliki pekerjaan sehingga mengandalkan kiriman bulanan dari Hadi. Mertuanya juga begitu, yang masih harus ‘disuapi’ oleh istrinya. Hal tersebut membuat Hadi dan istri harus kerja ekstra keras agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga besarnya.
“Rencananya pengin supaya istri tidak bekerja jadi bisa fokus mengurus anak, tapi kalau tidak begitu [dia dan istrinya sama-sama bekerja] jadi berat. Pemasukan sama pengeluarannya tidak imbang,” imbuhnya.
Baca juga: Begini Cara Kelola Keuangan Jika Terjebak Jadi Generasi Sandwich
Certified Financial Planner Agustina Fitria, mengatakan bahwa situasi ini dialami oleh banyak anak muda. Meskipun sejatinya sandwich generation sudah ada sejak zaman dahulu, tapi situasi yang ada sekarang cukup berbeda.
Dulu, katanya, biaya hidup sehari-hari tidak setinggi sekarang. Selain itu, hal yang jadi faktor pembeda adalah tidak adanya godaan gaya hidup yang berlebihan. Dia menyebut hal ini tampaknya bersifat personal, tapi memang jadi faktor yang cukup signifikan.
“Dulu kan sekolah hanya ada negeri, [sekolah] swasta itu bisa dihitung jari. Belanja juga paling ke pasar untuk kebutuhan pokok. Jadi tantangan sekarang ini makin banyak jalur orang lebih konsumtif, peer pressure, gengsi, dan sebagainya. Media sosial juga sangat berpengaruh,” katanya belum lama ini.
Jika sudah terjebak dan ingin meloloskan diri dari situasi sandwich generation, Fitri mengatakan bahwa mereka perlu pandai mengatur keuangan dan mengendalikan diri. Bagian mengatur keuangan sudah jadi keharusan untuk bisa mengalokasikan dana yang dimiliki dengan cara sebijak mungkin.
Tidak ada rumusan rigid mengenai hal tersebut, yang penting, lanjutnya, harus bisa membuat prioritas kebutuhan yang paling mendesak dengan tidak lupa menyisihkan dana yang dimiliki untuk berinvestasi.
Bagaimanapun, kata Fitria, investasi sangat penting dilakukan untuk tujuan tertentu. Mulai dari dana jalan-jalan, pendidikan anak hingga masa pensiun, yang harapannya bisa memutus rantai sandwich sehingga tidak berlanjut ke generasi berikutnya.
Selain dari sisi pengaturan finansial, hal yang tidak kalah penting adalah memahami situasi dan kondisi diri sendiri. Menurut Fitria, banyak orang yang sebetulnya sudah bisa memenuhi kebutuhan untuk hidupnya dan keluarganya, tapi seringkali mereka tergoda untuk mengedepankan keinginan. Alhasil, ada kebutuhan yang tidak jadi terpenuhi.
“Jangan mudah tergoda, orang lain boleh pamer jalan-jalan dan yang lainnya. Itu ukuran mereka. Kita harus pakai ukuran kita sendiri, yang penting bisa menghidupi diri kita, anak, dan orang tua. Ini juga sangat penting,” katanya.
Mengutip Bisnis Indonesia, Psikolog anak dan remaja dari sekolah Cikal Amri Setu, Rendra Yoanda, menambahkan bahwa generasi muda yang berpotensi menjadi bagian dari sandwich generation perlu membekali diri dengan beragam keterampilan (skills) sedari dini.
Skills yang dimaksud di antaranya adalah self awareness untuk memahami diri dengan baik, organizational skill untuk membantu menyusun prioritas hidup, hingga hard skills terkait finansial untuk membantu pengelolaan keuangan dan mencari informasi yang tepat terkait hal tersebut.
Fenomena yang banyak dibicarakan publik belakangan seperti sandwich generation, tidak bisa dilepaskan dari literasi finansial masyarakat. Pasalnya, indeks literasi keuangan warga Indonesia masih berada pada angka di bawah 50 persen, meskipun terus mengalami pertumbuhan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terakhir menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia telah mencapai 49,68 persen pada 2022. Nilai ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang tercatat memiliki indeks 38,03 persen.
Sebagai catatan, angka ini menunjukkan bahwa per 100 jiwa penduduk Indonesia, ada sekitar 49 orang yang memiliki pemahaman tentang lembaga keuangan dan produk jasa keuangan dengan baik.
Fitria menyebut bahwa indeks literasi keuangan saja tidak bisa dijadikan patokan untuk mengatakan bahwa sejumlah isu terkait finansial masyarakat bakal tuntas. Menurutnya, orang bisa saja tahu dan paham dengan produk jasa keuangan yang ada, tapi tidak mencerminkan praktiknya di lapangan atau kehidupan nyata.
“Mereka paham [literasi finansial] tapi belum tentu mencerminkan juga. Bisa memilih produk tapi eksekusinya seperti apa juga kadang mereka enggak sejalan. Bisa jadi tidak pas dan tidak sesuai dengan tujuannya,” katanya.
Kendati begitu, Fitria mengatakan bahwa indeks literasi yang meningkat merupakan tanda adanya perbaikan. Selangkah lebih maju. Namun, pengetahuan yang dimiliki perlu diaplikasikan dengan baik, berkelanjutan, dan konsisten. Inilah yang menjadi tantangan terbesar masyarakat, katanya: melakukan apa yang sudah direncanakan.
Baca juga: Begini 6 Cara Redakan Stres untuk Generasi Sandwich
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Dika Irawan
“Banyak orang sekarang ngomongin soal generasi sandwich, dan itu benar sih. Gue sendiri juga begitu. Ya kayak daging ini nih. Dijepit sayur, roti di atas bawah,” katanya sembari menunjuk sandwich yang digenggamnya saat berbincang dengan penulis.
Sandwich generation memang tengah gandrung jadi pembicaraan publik, tak terkecuali di jagat maya. Banyak warganet membagikan kisah mereka yang harus menanggung beban hidup, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan pasangan tapi juga generasi di atasnya; ibu dan ayah hingga kakek dan neneknya.
Hadi yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan swasta di Ibu Kota juga demikian. Dia harus menjadi tulang punggung utama untuk keluarga kecilnya bersama istri dan seorang anak.
Tidak hanya itu. Kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut tidak memiliki pekerjaan sehingga mengandalkan kiriman bulanan dari Hadi. Mertuanya juga begitu, yang masih harus ‘disuapi’ oleh istrinya. Hal tersebut membuat Hadi dan istri harus kerja ekstra keras agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga besarnya.
“Rencananya pengin supaya istri tidak bekerja jadi bisa fokus mengurus anak, tapi kalau tidak begitu [dia dan istrinya sama-sama bekerja] jadi berat. Pemasukan sama pengeluarannya tidak imbang,” imbuhnya.
Baca juga: Begini Cara Kelola Keuangan Jika Terjebak Jadi Generasi Sandwich
Certified Financial Planner Agustina Fitria, mengatakan bahwa situasi ini dialami oleh banyak anak muda. Meskipun sejatinya sandwich generation sudah ada sejak zaman dahulu, tapi situasi yang ada sekarang cukup berbeda.
Dulu, katanya, biaya hidup sehari-hari tidak setinggi sekarang. Selain itu, hal yang jadi faktor pembeda adalah tidak adanya godaan gaya hidup yang berlebihan. Dia menyebut hal ini tampaknya bersifat personal, tapi memang jadi faktor yang cukup signifikan.
“Dulu kan sekolah hanya ada negeri, [sekolah] swasta itu bisa dihitung jari. Belanja juga paling ke pasar untuk kebutuhan pokok. Jadi tantangan sekarang ini makin banyak jalur orang lebih konsumtif, peer pressure, gengsi, dan sebagainya. Media sosial juga sangat berpengaruh,” katanya belum lama ini.
Jika sudah terjebak dan ingin meloloskan diri dari situasi sandwich generation, Fitri mengatakan bahwa mereka perlu pandai mengatur keuangan dan mengendalikan diri. Bagian mengatur keuangan sudah jadi keharusan untuk bisa mengalokasikan dana yang dimiliki dengan cara sebijak mungkin.
Tidak ada rumusan rigid mengenai hal tersebut, yang penting, lanjutnya, harus bisa membuat prioritas kebutuhan yang paling mendesak dengan tidak lupa menyisihkan dana yang dimiliki untuk berinvestasi.
Bagaimanapun, kata Fitria, investasi sangat penting dilakukan untuk tujuan tertentu. Mulai dari dana jalan-jalan, pendidikan anak hingga masa pensiun, yang harapannya bisa memutus rantai sandwich sehingga tidak berlanjut ke generasi berikutnya.
Selain dari sisi pengaturan finansial, hal yang tidak kalah penting adalah memahami situasi dan kondisi diri sendiri. Menurut Fitria, banyak orang yang sebetulnya sudah bisa memenuhi kebutuhan untuk hidupnya dan keluarganya, tapi seringkali mereka tergoda untuk mengedepankan keinginan. Alhasil, ada kebutuhan yang tidak jadi terpenuhi.
“Jangan mudah tergoda, orang lain boleh pamer jalan-jalan dan yang lainnya. Itu ukuran mereka. Kita harus pakai ukuran kita sendiri, yang penting bisa menghidupi diri kita, anak, dan orang tua. Ini juga sangat penting,” katanya.
Mengutip Bisnis Indonesia, Psikolog anak dan remaja dari sekolah Cikal Amri Setu, Rendra Yoanda, menambahkan bahwa generasi muda yang berpotensi menjadi bagian dari sandwich generation perlu membekali diri dengan beragam keterampilan (skills) sedari dini.
Skills yang dimaksud di antaranya adalah self awareness untuk memahami diri dengan baik, organizational skill untuk membantu menyusun prioritas hidup, hingga hard skills terkait finansial untuk membantu pengelolaan keuangan dan mencari informasi yang tepat terkait hal tersebut.
Literasi Finansial
Fenomena yang banyak dibicarakan publik belakangan seperti sandwich generation, tidak bisa dilepaskan dari literasi finansial masyarakat. Pasalnya, indeks literasi keuangan warga Indonesia masih berada pada angka di bawah 50 persen, meskipun terus mengalami pertumbuhan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terakhir menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia telah mencapai 49,68 persen pada 2022. Nilai ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang tercatat memiliki indeks 38,03 persen.
Sebagai catatan, angka ini menunjukkan bahwa per 100 jiwa penduduk Indonesia, ada sekitar 49 orang yang memiliki pemahaman tentang lembaga keuangan dan produk jasa keuangan dengan baik.
Fitria menyebut bahwa indeks literasi keuangan saja tidak bisa dijadikan patokan untuk mengatakan bahwa sejumlah isu terkait finansial masyarakat bakal tuntas. Menurutnya, orang bisa saja tahu dan paham dengan produk jasa keuangan yang ada, tapi tidak mencerminkan praktiknya di lapangan atau kehidupan nyata.
“Mereka paham [literasi finansial] tapi belum tentu mencerminkan juga. Bisa memilih produk tapi eksekusinya seperti apa juga kadang mereka enggak sejalan. Bisa jadi tidak pas dan tidak sesuai dengan tujuannya,” katanya.
Kendati begitu, Fitria mengatakan bahwa indeks literasi yang meningkat merupakan tanda adanya perbaikan. Selangkah lebih maju. Namun, pengetahuan yang dimiliki perlu diaplikasikan dengan baik, berkelanjutan, dan konsisten. Inilah yang menjadi tantangan terbesar masyarakat, katanya: melakukan apa yang sudah direncanakan.
Baca juga: Begini 6 Cara Redakan Stres untuk Generasi Sandwich
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.