Riset Menunjukkan Ratusan Anak-Anak Pemulung Rentan Terpapar Bahaya Limbah Elektronik
16 February 2023 |
21:35 WIB
Lembaga Save the Children melaporkan terdapat sebanyak 200 anak-anak pemulung dengan rentang usia dari 6 tahun sampai dengan 17 tahun berpotensi terpapar bahaya dari sisi keselamatan dan kesehatan akibat sistem limbah elektronik yang terdapat di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Laporan berjudul Circular Geniuses yang membahas limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan itu memperlihatkan anak-anak pemulung berada pada level paling bawah dalam sistem limbah elektronik, yakni mengumpulkan limbah tersebut.
Mereka juga tidak jarang terlibat dalam proses pemilahan yang tidak aman, seperti membakar plastik secara terbuka, membongkar komponen papan sirkuit dengan cara yang tidak aman, dan tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang tepat. Kondisi tersebut dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.
Chief Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia, Troy Pantouw, mengatakan bahwa riset yang dilakukan memaparkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama orang tua memaksa anak bekerja sebagai pemulung. “Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik, karena tentu mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak,” katanya.
Baca juga: Anak-anak Korban Bencana Alam Rentan Alami Trauma
Dia menuturkan bahwa terdapat tiga kecamatan yang memiliki limbah elektronik terbesar di Kota Makassar. Kecamatan itu adalah Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. Persentase jenis limbah yang ada juga beragam.
Jenis limbah dengan jumlah paling banyak adalah televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen, penanak nasi 88,7 persen, setrika 93,2 persen, kulkas 89,2 persen, laptop 76,4 persen, dan AC 49,5 persen.
Menurutnya, laporan itu juga memperlihatkan bahwa masyarakat di Makassar mengelola limbah elektronik dengan cara disimpan sebanyak 40 persen, dijual 33 persen, diperbaiki 20 persen, dibuang 4 persen, dan hanya 3 persen yang mendaur ulang.
Dia menuturkan, sampah elektronik merupakan jenis sampah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia, bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil. Limbah elektronik yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi.
Kondisi itu berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, baik anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pemulung, maupun yang hidup di bantaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi terjadi secara global, termasuk di Kota Makassar.
Dia menambahkan, riset itu juga menyebutkan bahwa sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75.000 pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada 2030. Tercatat, sebesar 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau yang lebih inklusif.
“Ada harapan dari pengelolaan limbah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan,” katanya.
Laporan yang dirilis pada Februari 2023 itu menjelaskan total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun. Di Indonesia limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun.
Dari total limbah elektronik di dalam negeri, hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan resmi. Sementara itu 90 persen lainnya dikelola oleh sektor informal baik individu maupun kelompok yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.
Baca juga: Room to Read & Ashoka Ajak Anak-Anak Jadi Changemaker lewat 12 Buku Cerita Bergambar
Peraturan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun menyebutkan bahwa limbah elektronik masuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya.
Sementara itu, Save the Children bekerja sama dengan Accenture telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir 2022. Langkah ini bertujuan mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, dan menjamin pekerjaan yang lebih layak.
Langkah itu juga termasuk melindungi anak-anak dari terekspos oleh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, berupaya memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta akses kesehatan, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.
(Ikuti terus laporan Hypeabis.id di Google News)
Editor: Roni Yunianto
Laporan berjudul Circular Geniuses yang membahas limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan itu memperlihatkan anak-anak pemulung berada pada level paling bawah dalam sistem limbah elektronik, yakni mengumpulkan limbah tersebut.
Mereka juga tidak jarang terlibat dalam proses pemilahan yang tidak aman, seperti membakar plastik secara terbuka, membongkar komponen papan sirkuit dengan cara yang tidak aman, dan tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang tepat. Kondisi tersebut dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.
Chief Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia, Troy Pantouw, mengatakan bahwa riset yang dilakukan memaparkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama orang tua memaksa anak bekerja sebagai pemulung. “Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik, karena tentu mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak,” katanya.
Baca juga: Anak-anak Korban Bencana Alam Rentan Alami Trauma
Dia menuturkan bahwa terdapat tiga kecamatan yang memiliki limbah elektronik terbesar di Kota Makassar. Kecamatan itu adalah Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. Persentase jenis limbah yang ada juga beragam.
Jenis limbah dengan jumlah paling banyak adalah televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen, penanak nasi 88,7 persen, setrika 93,2 persen, kulkas 89,2 persen, laptop 76,4 persen, dan AC 49,5 persen.
Menurutnya, laporan itu juga memperlihatkan bahwa masyarakat di Makassar mengelola limbah elektronik dengan cara disimpan sebanyak 40 persen, dijual 33 persen, diperbaiki 20 persen, dibuang 4 persen, dan hanya 3 persen yang mendaur ulang.
Dia menuturkan, sampah elektronik merupakan jenis sampah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia, bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil. Limbah elektronik yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi.
Kondisi itu berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, baik anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pemulung, maupun yang hidup di bantaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi terjadi secara global, termasuk di Kota Makassar.
Dia menambahkan, riset itu juga menyebutkan bahwa sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75.000 pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada 2030. Tercatat, sebesar 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau yang lebih inklusif.
“Ada harapan dari pengelolaan limbah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan,” katanya.
Laporan yang dirilis pada Februari 2023 itu menjelaskan total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun. Di Indonesia limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun.
Dari total limbah elektronik di dalam negeri, hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan resmi. Sementara itu 90 persen lainnya dikelola oleh sektor informal baik individu maupun kelompok yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.
Baca juga: Room to Read & Ashoka Ajak Anak-Anak Jadi Changemaker lewat 12 Buku Cerita Bergambar
Peraturan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun menyebutkan bahwa limbah elektronik masuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya.
Sementara itu, Save the Children bekerja sama dengan Accenture telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir 2022. Langkah ini bertujuan mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, dan menjamin pekerjaan yang lebih layak.
Langkah itu juga termasuk melindungi anak-anak dari terekspos oleh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, berupaya memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta akses kesehatan, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.
(Ikuti terus laporan Hypeabis.id di Google News)
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.