Tren Sustainable Fashion, Zero Waste Kian Jadi Perhatian Para Desainer
25 January 2023 |
14:11 WIB
Industri fashion boleh dibilang tidak pernah surut. Setiap tahunnya, selalu ada model, pola, hingga warna serta corak baru yang jadi pusat tren. Namun di balik gemerlapnya industri fesyen, ada sebuah masalah yang kian menjadi perhatian para perancang busana di dunia. Yakni permasalahan limbah.
Sebuah laporan Ellen McArthur Foundation menyebutkan dunia fashion masih banyak menyumbang limbah dengan metode buat-pakai-buang. Hal ini menyebabkan sampah terus menumpuk yang diperkirakan bisa mencapai angka US$500 miliar per tahun. Nilai yang fantastis dan berpengaruh besar terhadap lingkungan.
Baca juga: Jakarta Fashion Trend 2023 Hadirkan Perpaduan Fesyen, Kosmetik & Nature
Nathalia Gunarian, Fashion Business Program Coordinator di salah satu sekolah mode bernama ESMOD Jakarta menyebut, memang sustainable fashion semakin menjadi perhatian bagi para desainer, termasuk pemode yang masih menempuh pendidikan.
Bahkan sekolah mode itu selalu menekankan para mahasiswanya untuk menggunakan metode-metode pembuatan pakaian yang berkelanjutan. Misalnya recycledi mana pakaiannya dibuat dari bahan bekas, atau Upcycle yang tidak sekadar membuat pakaian dari kain bekas, tetapi juga dibuat semakin berdaya guna dengan desain yang unik. Ada juga zero waste, konsep yang memastikan bahwa tak ada bahan yang tertinggal saat membuat busana.
“Setidaknya satu saja dari metode-metode ini digunakan, kami sudah sedikit banyak menggaungkan sustainable fashion. Jadi dalam bisnis atau desain, diajarkan bagaimana mereka bertanggung jawab dengan apa yang dibuatnya,” kata Nathalia.
Zero waste menjadi konsep pembuatan busana yang banyak bergaung di ESMOD. Konsep ini memastikan tidak ada sisa bahan sama dalam pembuatan baju. Misalnya sisa potongan celana harus kembali dimanfaatkan menjadi pakaian, aksesori, material alas kaki, atau apapun.
“Harus dipikirkan bagaimana caranya agar tidak ada sisa bahan, kami mendorong juga mahasiswa agar tidak terjebak dengan industri dengan pattern busana yang begitu-begitu saja. Diajarkan pula untuk bermain pola, misalnya pakaian itu tidak melulu bentuknya seperti t-shirt, bisa dikembangkan dengan pola lain yang juga mengundang proses kreatif mahasiswa," katanya.
Meski banyak konsumen yang mulai memperhatikan produk sustainable, tak dapat dimungkiri bahwa konsep ini belum bisa diterima sepenuhnya. Misalnya tentang keraguan konsumen dengan kualitas bahan yang mungkin menurun.
Namun Nathalia melihat celah dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, dengan menggunakan produk sustainable berarti konsumen akan semakin menambah panjang umur sebuah material.
“Kualitas bahan ini memang tergantung dan cukup tricky. Misalnya saja konsep upcycle dari jeans lama yang didaur ulang. Jeans ini kan sudah dipakai orang dan pemode merancangnya lagi. Artinya kita berkontribusi dengan kepanjangan umur sebuah material, kita tidak membuang bahan ini begitu saja. Jadi yang perlu diperhatikan dari sisi usia bahannya," jelas Nathalia.
Nathalia mengibaratkan, kaos berbahan polyester memang diklaim sustain. Tetapi penggunaannya tak akan bertahan lama, maksimal 1 tahun misalnya, kaos ini akan cenderung tidak digunakan lagi.
Berbeda dengan jeans denim yang justru dikenal secara pencucian paling jauh dari kata sustain, tetapi umur penggunaannya bisa mencapai 5 tahun atau lebih. “Jadi bisa kita pandang dari sisi umurnya, di mana jeans lebih sustain dari polyester, waste-nya lebih kecil," jelasnya.
Baca juga: Melirik Peluang Bisnis Reworked Fashion, Baju Seken Jadi Unik & Kece!
Sudah lebih dari 4 tahun sejak sekolah mode ini menekankan konsep sustainable pada mahasiswanya. Mereka juga kerap kali hadir dengan proyek-proyek khusus sustainable.
Ke depannya, ESMOD ingin lebih menggaungkan konsep-konsep pembuatan busana tanpa limbah tersisa ini. “Kami mulai mengarah ke sana, perhatian besar bagi kami meski saat ini belum diterapkan 100 persen. Jadi bertahap,” jelasnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Fajar Sidik
Sebuah laporan Ellen McArthur Foundation menyebutkan dunia fashion masih banyak menyumbang limbah dengan metode buat-pakai-buang. Hal ini menyebabkan sampah terus menumpuk yang diperkirakan bisa mencapai angka US$500 miliar per tahun. Nilai yang fantastis dan berpengaruh besar terhadap lingkungan.
Baca juga: Jakarta Fashion Trend 2023 Hadirkan Perpaduan Fesyen, Kosmetik & Nature
Nathalia Gunarian, Fashion Business Program Coordinator di salah satu sekolah mode bernama ESMOD Jakarta menyebut, memang sustainable fashion semakin menjadi perhatian bagi para desainer, termasuk pemode yang masih menempuh pendidikan.
Bahkan sekolah mode itu selalu menekankan para mahasiswanya untuk menggunakan metode-metode pembuatan pakaian yang berkelanjutan. Misalnya recycledi mana pakaiannya dibuat dari bahan bekas, atau Upcycle yang tidak sekadar membuat pakaian dari kain bekas, tetapi juga dibuat semakin berdaya guna dengan desain yang unik. Ada juga zero waste, konsep yang memastikan bahwa tak ada bahan yang tertinggal saat membuat busana.
“Setidaknya satu saja dari metode-metode ini digunakan, kami sudah sedikit banyak menggaungkan sustainable fashion. Jadi dalam bisnis atau desain, diajarkan bagaimana mereka bertanggung jawab dengan apa yang dibuatnya,” kata Nathalia.
Zero waste menjadi konsep pembuatan busana yang banyak bergaung di ESMOD. Konsep ini memastikan tidak ada sisa bahan sama dalam pembuatan baju. Misalnya sisa potongan celana harus kembali dimanfaatkan menjadi pakaian, aksesori, material alas kaki, atau apapun.
“Harus dipikirkan bagaimana caranya agar tidak ada sisa bahan, kami mendorong juga mahasiswa agar tidak terjebak dengan industri dengan pattern busana yang begitu-begitu saja. Diajarkan pula untuk bermain pola, misalnya pakaian itu tidak melulu bentuknya seperti t-shirt, bisa dikembangkan dengan pola lain yang juga mengundang proses kreatif mahasiswa," katanya.
Busana karya mahasiwa ESMOD Jakarta (Sumber gambar: Indah Permata Hati/Hypeabis.id)
Meski banyak konsumen yang mulai memperhatikan produk sustainable, tak dapat dimungkiri bahwa konsep ini belum bisa diterima sepenuhnya. Misalnya tentang keraguan konsumen dengan kualitas bahan yang mungkin menurun.
Namun Nathalia melihat celah dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, dengan menggunakan produk sustainable berarti konsumen akan semakin menambah panjang umur sebuah material.
“Kualitas bahan ini memang tergantung dan cukup tricky. Misalnya saja konsep upcycle dari jeans lama yang didaur ulang. Jeans ini kan sudah dipakai orang dan pemode merancangnya lagi. Artinya kita berkontribusi dengan kepanjangan umur sebuah material, kita tidak membuang bahan ini begitu saja. Jadi yang perlu diperhatikan dari sisi usia bahannya," jelas Nathalia.
Nathalia mengibaratkan, kaos berbahan polyester memang diklaim sustain. Tetapi penggunaannya tak akan bertahan lama, maksimal 1 tahun misalnya, kaos ini akan cenderung tidak digunakan lagi.
Berbeda dengan jeans denim yang justru dikenal secara pencucian paling jauh dari kata sustain, tetapi umur penggunaannya bisa mencapai 5 tahun atau lebih. “Jadi bisa kita pandang dari sisi umurnya, di mana jeans lebih sustain dari polyester, waste-nya lebih kecil," jelasnya.
Baca juga: Melirik Peluang Bisnis Reworked Fashion, Baju Seken Jadi Unik & Kece!
Sudah lebih dari 4 tahun sejak sekolah mode ini menekankan konsep sustainable pada mahasiswanya. Mereka juga kerap kali hadir dengan proyek-proyek khusus sustainable.
Ke depannya, ESMOD ingin lebih menggaungkan konsep-konsep pembuatan busana tanpa limbah tersisa ini. “Kami mulai mengarah ke sana, perhatian besar bagi kami meski saat ini belum diterapkan 100 persen. Jadi bertahap,” jelasnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.