Bharat (2019). (Sumber : imdb.com)

Pesan Nasionalisme Tersembunyi dalam Film Box Office Bollywood Bharat

23 January 2023   |   18:00 WIB
Image
Wulan Eka | Hallo Hooman |

Like

“Kau tahu kenapa Ayah memberimu nama Bharat?” Pertanyaan itu membawa kita menyelami menit demi menit dalam film Bharat. Nama karakter utama, Bharat merupakan nama lain dari negara India. Nama kebesaran yang diberikan para pejuang kemerdekaan India.

Dari judulnya sudah tercium bau-bau nasionalisme ya? Film yang rilis pada 2019 ini menceritakan kisah hidup Bharat. Seorang anak yang memegang mandat ayahnya untuk menjaga keluarganya di tanah pengungsian. Kayak enggak asing ya premisnya? Mirip sama satu film blockbuster di Korea? Memang, film ini diadaptasi dari Ode to My Father.Film yang menggunakan setting cerita sejarah saat perang Korea. Film ini diadaptasi, jadilah film Bharat dengan penyesuaian latar belakang sejarah dan budaya India.

Baca juga: Film Tersukses di India, Brahmastra Part One: Shiva Tayang di Disney+ Hotstar



Kisah Bharat bermula saat partisi (pemisahan) Pakistan-India pada 1947. Bharat dan keluarganya sebelumnya tinggal di Desa Mirpur, Lahore. Sore itu di tahun 1947, perang saudara antara orang Hindu dan Islam masih berkobar. Desa di antara Amritsar dan Lahore sudah habis dibakar. Tak aman bagi orang Hindu untuk tetap tinggal di sana. Satu-satunya cara menyelamatkan diri yaitu hijrah ke India dengan menaiki kereta terakhir yang berangkat pada sore itu juga.

Ayah dan Ibu Bharat dengan masing-masing menggendong satu anak berlari tergesa menembus kerumunan orang yang berebut menaiki kereta. Bharat kebagian tugas membawa adiknya yang kedua bernama Gudiya. Bharat menarik tangan Gudiya agar langkahnya lebih cepat, mengejar kedua orangtuanya yang sudah jauh berada di depan.

Kereta sudah terisi penuh, sesak. Bharat menggendong Gudiya untuk memanjat atap kereta. Salah satu tangannya menahan lengan Gudiya. Dia berebut naik tangga dengan puluhan orang dewasa. Tanpa sengaja, pundak Gudiya terinjak tapak kaki pemanjat lainnya. Gudiya jatuh. Genggaman Bharat pada lengan Gudiya lepas. Genggamanya hanya menyisakan sobekan kain baju Gudiya.

 

Poster Film Bharat

Poster Film Bharat. (Sumber : imdb.com)

Di atap kereta, sang ayah panik melihat Gudiya belum jua naik. Sang ayah memutuskan untuk kembali ke kerumunan orang untuk mencari Gudiya. Sebelum turun, sang ayah mewariskan jam tangannya kepada Bharat sambil berpesan untuk selalu menjaga keluarga, menggantikan peran ayahnya sebagai kepala keluarga selama sang ayah belum menyusul ke tanah pengungsian. Ayanya meminta Bharat mendatangi ke toko milik pamannya, Hind Ration Store di Delhi.

Ayahnya turun mencari Gudiya dengan meningglakan pesan terakhir, “Bharat, ada ikatan keluarga dan ikatan dengan tanah airmu. Kau diberkahi keduanya, Nak.” Kereta melaju meninggalkan Lahore. Termasuk meninggalkan orang-orangnya yang tidak kebagian tempat di kereta sore itu.

Kehidupan Bharat di Delhi membuka kisah-kisah baru. Perjalanan hidupnya banyak menyiratkan pesan-pesan nasionalisme yang sepertinya sengaja disisipkan untuk penontonnya. Berikut beberapa pesan yang masuk dalam radar pengamatan amatiran saya setelah menonton film Bharat :


1. Persahabatan Lintas Agama, Bharat dan Vilayati

Saat Bharat mencari ayahnya di wilayah pengungsian dengan membawa papan nama, dia bertemu dengan Vilayati. Vilayati adalah penduduk setempat. Ia berkerja secara serabutan di wilayah itu.  Vilayati menyapa Bharat dengan menanyakan “Ayahmu bernama Gautam?” Vilayati ikutan mengenalkan nama ayahnya, Mukhtar.

Bharat mengetahui jika nama Mukhtar merupakan nama orang muslim. Bharat balik bertanya apakah Vilayati beragama Islam? Jika ia Islam, kenapa tidak ke Pakistan yang memang notabene warganya mayoritas beragama Islam? Waktu itu Pakistan menjadi negara yang aman bagi penduduk beragama Islam saat perpecahan perang antar agama terjadi.

Vilayati menjawab kenapa dirnya musti ke Pakistan, India adalah tanah airnya. Ayah Vilayati telah mengorbankan nyawanya demi memperjuangkan kemerdekaan India. Vilayati tak paham mengapa pengorbanan ayahnya justru dibalas pembakaran rumah dan toko penduduk beragama Islam, saat kerusuhan antar agama terjadi. Percakapan itu selanjutnya membuka hubungan persahabatan keduanya. Dua anak yang terpisah dari ayahnya, pasca perang saudara terjadi.

Adegan ini seolah mewakili suara para penduduk beragama Islam di India pada masa kerusuhan perang saudara tahun 1947-an. Mereka sebelumnya ikut memperjuangkan kemerdekaan India, namun saat kerusuhan antar agama pecah, mereka yang minoritas diserang habis-habisan oleh sesama penduduk India, dikarenakan berbeda agama.

Persahabatan antara Bharat dan Vilayati yang berbeda agama juga mengisyaratkan pesan pada penduduk India agar mengupayakan perdamaian dan menerima keanekaragaman. Memang isu perang antar agama di India bukanlah rahasia lagi, berkali-kali telah menorehkan tinta berdarah dalam catatan sejarah.

 

2. Peradaban yang Menjunjung Kehormatan dan Harga Diri

Saat Bharat menemani sahabatnya Vilayati yang hendak megirim selimut hasil curian di toko pamannya ke pembeli, Bharat membatalkan transaksi. Dia kekeh dengan pendapatnya untuk membatalkan aksi nekat mereka. Bharat berkata,“Aku tidak jadi menjualnya (selimut)….di toko, mereka (keluarga paman) menghormati kita. Sekarang kita pencuri, selimut ini telah melucuti kehormatan kita.”

Vilayati tak terima jika uang yang sudah diterima dari pembeli harus dikembalikan. Namun Bharat melanjutkan keyakinannya,“Aku boleh saja kelaparan, tapi aku tidak akan mencuri.” Alhasil Bharat dan Vilayati babak belur dihajar pembeli. Sebab uang penjualan sudah diterima, sementara selimutnya tak jadi diberikan.

Adegan ini sepertinya mau menitip petuah pada penonton untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. India dengan peradaban kebudayaan yang telah berjalan panjang, ditampilkan dalam film ini sebagai sosok tetua yang lekat dengan kebijaksanaan. Seolah sedang memberi teladan baik untuk memegang teguh nilai kebajikan.


3. Perlu Jembatan Perdamaian untuk Memberantas Perang Saudara

Dengan luka memar yang memberkas di wajah, Bharat pulang ke rumah bibinya. Ibunya akhirnya mengetahui kejadian perkelahian antara Bharat, Vilayati dan pembeli selimut curian. Bharat mengakui kesalahannya. Dalam deeptalk tersebut, Bharat meminta maaf tidak bisa menjaga Gudiya.

Ibu Bharat justru memberi wejangan pada Bharat agar ia memenuhi janjinya kepada sang ayah. “Daripada berkubang dalam kesalahan, pikirkan janji yang kau buat untuk Ayahmu. Bahwa kau akan selalu menjaga keluarga ini. Dan lain kali kalau tindakanmu benar, balaslah. Jangan diam saja dihajar mereka.” Wejangan tersebut menjadi penyuntik semangat Bharat. Sejak saat itu tujuan hidup Bharat hanyalah satu yaitu bekerja keras untuk tetap menjaga keluarganya. Di usianya yang masih anak-anak ia bekerja menjadi pengelap mobil di jalanan dan penyemir sepatu.

Adegan ini menyiratkan pesan bahwa setiap negara tak luput dari catatan merah, melakukan kesalahan. Namun, meratapi kesalahan bukanlah keputusan yang bijak. Sebaiknya lebih fokus untuk menatap ke depan. Tak mengulangi kesalahan yang sama. Melakukan yang bisa dilakukan untuk membuat keadaan lebih baik.

Janji Bharat untuk menjaga keluarganya seperti menganalogikan janji negara India untuk menjaga kerukunan penduduknya. Negara India dengan ribuan tahun mewarisi sistem penggolongan penduduk berdasar agama dan kasta, mungkin memerlukan upaya lebih intens untuk membangun jembatan kerukunan dan perdamaian antar penduduk.


4. Tembok Bernama Kasta

Pada saat Bharat dewasa, ia dan Vilayati mengikuti bursa kerja. Mereka menemukan lowongan kerja sebagai pekerja tambang di Timur Tengah. Saat wawancara kerja, Bharat ditanya nama belakangnya. Bharat menjawab , “Ayahku memberiku nama seperti nama negara (India), Bharat. Jika aku harus memakai nama di belakang Bharat, itu akan mempengaruhi kewibawaan dan keadaan negara (India).”

Pesan tersirat yang sungguh nasionalis. Menyentil juga budaya penggunaan nama marga yang menjadi nama belakang. Di India memang penduduknya memiliki nama marga tersendiri. Nama marga tersebut juga tergantung pada kasta hingga tingkat sosial-ekonomi pemiliknya. Termasuk juga mempengaruhi prestige pemiliknya. Contohnya pemilik nama dengan marga seperti Khan, Kapoor, Bhatt, Malholtra, Dutta, dll biasa berasal dari keluarga yang ekonomi sosialnya terbilang tinggi.

Konsep marga dan kasta membatasi pergaulan manusia, akses ke pekerjaan maupun pendidikan. Dengan kata lain membuat pengotak-kotakan. Pendudukan miskin akan tetap miskin, sementara penduduk kaya setidaknya tetap kaya. Kesenjangan terbentang panjang. Sistem kasta memang menjadi problem sosial di India yang terus diusahakan untuk dihapus, demi tujuan pemerataan kesejahteraan penduduk.


5. Penduduk Bekerja, Menyokong Roda Kehidupan Bernegara

Saat team Bharat ditolak dalam seleksi kerja, Bharat melakukan protes. Pihak recruitmen menjelaskan bahwa pekerja yang dibutuhkan 90 orang. Sementara jumlah pelamar terlalu banyak. Pelamar diharapkan datang lagi untuk seleksi, 6 bulan kemudian. Bharat justru dengan lantang berorasi,

Enam bulan terlalu lama Pak. Negara ini tiap detik terus berubah. Lebih dari separuh bangsa ini banyak yang tidak bugar. Apa mereka tidak berhak bekerja? Bagaimana dengan anak sekolah yang nilainya di bawah standard kelulusan? Pak kita harus mengubah pola pikir. Itu kenapa kita semua harus ke Timur Tengah agar bisa bergaji dollar. Kami akan kirim dollar kami ke rumah. Dollar tersebut akan membawa kemajuan. Dan kemajuan akan membawa kemakmuran. Dan kemakmuran akan membawa jalan bagus. Rumah sakit, sekolah, universitas yang baik. Pendidikan yang baik akan mengakhiri kemiskinan dan bukan buruh seperti kami. Nantinya akan ada  insinyur, dokter, dan ilmuwan. Produksi petani juga akan meningkat. Pemukiman kumuh akan menjadi apartemen. Negara kita akan bersih dan indah. Rakyat yang bahagia akan menjadikan negara ini lebih baik. Kemudian kita akan bangga mengatakan…..Jaana Gaana Maana Adhinayaka Jaya Hai……….(disambung menyanyikan lagu kebangsaan India).”

Adegan yang fiktif, menyisipkan protes dengan gamblang akan problem kebanyakan dari penduduk dari negara berkembang. Akses ekonomi yang minim membuat akses hal lain tertutup. Kemiskinan masih menjadi momok. Beberapa penduduk rela meninggalkan tanah kelahirannya demi mencari harapan akan kemakmuran.


6. Negara Berkembang Masih Menempati Kelas Pekerja

Setelah Bharat melakukan protes, semua tenaga kerja diterima. Pekerja lalu diberangkatkan ke Timur Tengah. Di sana terdapat pula pekerja imigran dari negara Pakistan, Sri Langka, Filipina. Panas dan tandusnya gurun diterjang pekerja demi menghidupi keluarga di tanah kelahiran. Di base camp pekerja, makanan selalu saja habis, bahkan kurang.

Demi saling menjaga, mereka rela berbagi makanan satu sama lain. Bharat juga memperjuangkan teman-temannya yang kekurangan makanan tiap harinya. Ia melihat para supervisor mendapat makanan yang lebih enak dan selalu berlimpah. Bharat memprotes supervisor,

Pak kami dapat makanan kari dan nasi. Tapi tiap hari habis. Sementara kalian para supervisor dapat daging, sayur mayur bahkan manisan. Makanan kalian berlimpah tak pernah habis. Kenapa? Apakah karena kami orang India, Pakistan, Filipina, Sri Langka. Apa karena beda warna kulit? Apa karena bahasa kita berbeda?"

Adegan heroik yang sepertinya menyindir negara-negara maju, dianalogikan melalui kharakter supervisor. Negara maju ditampilkan memiliki dominasi terhadap negara berkembang. Relasi kuasa begitu tampak, menggambarkan siapa di atas, siapa di bawah.


7. Kewajiban Melampaui Segala

Saat Madam Sir menanyakan apakah Bharat bersedia menikahinya. Bharat dengan berat hati menjawab “…..aku sudah putus asa. Satu-satunyaa  hal yang membuatku tetap hidup adalah janjiku kepada Ayah. Bu Bos, aku sungguh menyukaimu. Dan mencintaimu. Tapi aku takut cintaku padamu akan mengahalangi kewajibanku. Maka dari itu aku memohon maaf.

Adegan yang cukup memicu emosi penonton. Lha wong dilamar perempuan yang dicintai kok nolak to? Penolakan Bharat ini sepertinya sedang meyentil kalau negara sebaiknya lebih fokus menjalankan kewajibannya terlebih dahulu.

 

8. Generasi Ada Masanya

Ayah, mereka akan merastakan toko. Mereka ingin membangun mall. Ini India yang baru. Aku ketinggalan jaman. Aku tidak marah soal itu. Aku marah karena memegang janji. Ayah, sudah bertahun-tahun aku menjaga toko ini, semata-mata karena ucapanmu ‘Ayah akan datang ke Hind Ration Store’. Aku jadi bodoh. Aku tak bisa lagi menghalangi masa depan orang lain gara -gara janji ini.”

Adegan ending ini menampilkan sosok Bharat renta yang merefleksikan hidupnya selama mempertahankan Toko Hind Ration Store. Di masa muda, ia rela bekerja jadi awak kapal pelayaran mengejar gaji besar demi bisa menebus toko pamannya. Sebelum toko tersebut dijual ke tangan orang lain. Bharat terlalu kekeh memegang janjinya pada ayahnya, Gautam. Hal itu membuatnya dianggap terlalu konservatif dan keras kepala dalam menerima perubahan.

Sikap Bharat menyiratkan bahwa negara India sekarang telah mengalami gelombang perubahan. Perubahan yang baik dan membawa kemajuan hendaknya didukung oleh generasi terdahulu. Tugas dan tanggung jawab generasi terdahulu untuk menjaga dan menghidupi negara sudah cukup dilakukan. Saatnya generasi muda memberi sumbangsih positif untuk negara.

Nah, demikian delapan pesan nasionalisme tersembunyi yang tersirat dari film Bharat. Salman Khan sama Katrina Kaif masih menampilkan chemistery yang hangat di film ini. Lagu yang mengiringi sepanjang film nikmat didengar. Film Bharat cocok dimasukkan dalam watchlist-mu.untuk memandu menjelajahi cuplikan-cuplikan sejarah di negara India.

Baca juga: 5 Film Terbaik Aamir Khan, dari 3 Idiots sampai Dangal


Disclaimer: Seluruh konten dalam tulisan ini merupakan murni hasil karya penulis yang bersangkutan sebagai penulis independen dan Hypeabis.id tidak bertanggung jawab jika di kemudian hari terdapat kekeliruan atau gugatan dari pihak lain.

SEBELUMNYA

Ingin Mulai Usaha? Intip Sektor Bisnis yang Diprediksi Moncer pada Tahun Kelinci Air

BERIKUTNYA

5 Cara Mendeteksi Oli Palsu dari Tutup Botol & Tampilan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: