Review Balada Si Roy: Yang Muda Yang Bersuara
17 January 2023 |
08:36 WIB
Kalian generasi 1980-an boleh jadi begitu terinspirasi dengan sosok remaja ikonik bernama Roy, dalam cerita bersambung Balada Si Roy karya Gol A Gong. Ketika kumpulan cerita itu dihimpun menjadi novel dan diterbitkan pada awal 1990-an, makin bertambahlah penggemar Roy.
Kini, lewat tangan kreatif sutradara Fajar Nugros, cerita populer Balada Si Roy diadaptasi menjadi film layar lebar. Tak hanya menjadi obat kangen bagi para pembaca ceritanya, kisah Roy yang melegenda juga bisa menemui penggemar barunya dari kalangan muda.
Baca juga: Tarik Kisah Remaja 90-an, Ini Daftar Pemain Film 'Balada Si Roy'
Setelah banyak dijejalkan dengan kisah drama dan romansa anak remaja dengan konflik yang cenderung dangkal, film Balada Si Roy menawarkan kisah anak muda lebih kompleks dan menarik untuk diikuti ceritanya. Hal itu tentu tidak bisa terlepas dari kondisi sosial politik yang bergejolak pada 1980-an di Indonesia yang menjadi latar cerita.
Jika usia remaja kerap disebut-sebut sebagai masa pencarian jati diri, film Balada Si Roy boleh dibilang berhasil menerjemahkannya dengan cara asyik. Petualangan anak muda yang khas dari Roy dibumbui dengan berbagai aspek kehidupan yang kompleks, mulai dari pencarian jati diri, persahabatan, dan cinta dengan latar wajah masyarakat Indonesia pada 1980-an.
Lebih dalam dari sekadar kisah cinta remaja, Balada Si Roy hadir dengan konflik yang kuat, baik konflik personal, keluarga, hingga konflik yang berlatar pada kondisi sosial pada era itu. Namun, film ini tetap dikemas dengan cara yang lebih segar, sehingga terasa relevan dengan penonton saat ini.
Jiwa anak muda yang naik turun, terkadang ambisius tapi juga gampang rapuh, terkadang ingin ini tapi juga ingin itu, melekat dalam karakter Roy. Terkadang dia juga keras memberontak, tapi tak jarang juga bingung dengan pilihannya. Gejolak jiwa khas anak muda yang sedang mencari jati dirinya.
Penggambaran karakter yang kuat ini tak lepas dari duo Fajar Nugros selaku sutradara dan Salman Aristo selaku penulis skenario. Mereka memang menaruh perhatian tersendiri dengan cerita Balada Si Roy. Bagi mereka film ini merupakan wujud karya yang berangkat dari kesukaan pada kisah karakter Roy sejak era terbit di majalah Hai.
Semua karakter kuat itu lantas dengan apik diperankan oleh Abidzar Al Ghifari. Sebagai aktor pendatang baru dan debut membintangi film perdananya, Abidzar mampu mengimbangi kemampuan akting para aktor dan aktris senior yang lain seperti Lulu Tobing, Arswendy Bening Swara, dan Kiki Narendra.
Aktingnya meyakinkan, baik saat dia menjadi pemuda yang kharismatik di lingkungan sekolahnya, atau saat merasa kehilangan anjing kesayangannya, hingga harus beradu fisik dengan lawan mainnya. Tampaknya, tak salah jika Gol A Gong langsung menunjuknya untuk memerankan karakter tersebut.
Selain itu, latar belakang tiap-tiap karakter remaja dalam film ini juga cukup kuat dengan segala problematikanya. Latar belakang itulah yang akan membawa cara pandang dan pembawaan yang menarik dari tiap-tiap karakter.
Mulai dari Dullah (diperankan oleh Bio One) yang merupakan anak seorang kontraktor sekaligus pemegang modal daerah, Dewi (diperankan oleh Sitha Marino) sebagai anak dari keluarga yang tidak harmonis, begitupun dengan Andi (diperankan oleh Jourdy Pranata) yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Film Balada Si Roy lebih dari sekadar kisah petualangan, drama, dan romansa anak muda. Cerita film ini juga menyentuh berbagai aspek sosial dan politik yang bergejolak pada era 1980-an yang begitu mempengaruhi kehidupan masyarakat kala itu.
Persoalan yang diperjuangkan Roy lebih dari sekadar memperebutkan perempuan cantik di sekolah, atau konflik geng-gengan dengan problematika dangkal seperti kebanyakan film remaja kita. Dia melawan sikap penindasan dan kesewenang-wenangan dari orang-orang kalangan atas yang salah satunya disimbolkan dengan geng Borsalino.
Roy mengajak teman-temannya di sekolah yang selama ini takut melawan untuk berani bersuara. Bahkan, dia membentuk geng RAT untuk melawan geng Borsalino. Dari sini, dia pun bertekad untuk berani melawan tatanan sosial yang dianggapnya merendahkan satu kelompok tertentu.
Dengan segala keyakinannya, Roy ingin menghadirkan dunia yang setara bagi semua orang. "Feodal harus dilawan, oligarki harus ditumbangkan. Kita bikin tatanan jadi goyah," ucap Roy.
Semua itu hadir bukan secara ujug-ujug. Bapaknya Roy, yang diperankan oleh Ramon Y. Tungka, dikisahkan sebagai jurnalis sekaligus aktivis kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Bapaknya meninggal saat pergi ke Gunung Kerinci untuk membantu rakyat membela hak atas tanah mereka.
Api semangat perlawanan itu pun hadir dalam jiwa Roy. Dengan caranya sendiri dia mencari tahu tentang apa yang diperjuangkan oleh bapaknya selama ini. Dia bertemu dengan orang-orang yang menjadi korban dari imbas pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran pada era 1980-an, lalu mencoba menulis kebobrokan yang terjadi di daerahnya.
Hal itu pun sampai-sampai berpengaruh pada kisah cintanya. Perempuan yang ditaksirnya, Ani (diperankan oleh Febby Rastanty), adalah seorang anak bekas militer. Tahu bahwa Roy adalah anak seorang aktivis, dia pun menentang keras Ani untuk berhubungan dengan Roy dan menganggapnya sebagai seorang yang subversif.
Alih-alih galau karena cintanya kandas karena restu orang tua, Roy justru menarik diri dari lingkungan yang cenderung menentangnya, menentang idealismenya. Dari semua yang dihadapinya, itu hanya menjadi awal dari petualangan baru yang hendak dijalaninya.
Mengambil latar waktu 1980-an, film ini juga boleh dibilang berhasil menghadirkan suasana pada era tersebut. Mulai dari rumah, kendaraan, hingga perabotan khas zaman dulu hadir menjadi kesatuan visual yang ciamik dalam film.
Begitupun dengan kostum, riasan wajah, hingga tata rambut benar-benar dibuat semirip mungkin dengan gaya zaman 1980-an. Seperti misalnya Febby Rastanty yang berhasil melempar ingatan ke zaman dulu dengan tampilan rambut keriting yang mengembang.
Film juga kian lengkap dengan kehadiran skoring yang asyik dan menggugah. Musik pengiring yang hadir didominasi oleh genre rock yang memang populer pada era 1980-an, sampai-sampai rasanya berhasil membangkitkan jiwa muda siapapun yang mendengarnya.
Jika Fajar Nugros bilang bahwa film ini adalah surat cinta untuk generasi muda agar berani bergerak dan mengejar impiannya, rasanya dia berhasil meramu kalimat per kalimat dari surat itu sehingga tersampaikan sebagaimana mestinya.
Baca juga: Alasan Personal Sutradara Fajar Nugros Garap Film Balada Si Roy
Editor: Dika Irawan
Kini, lewat tangan kreatif sutradara Fajar Nugros, cerita populer Balada Si Roy diadaptasi menjadi film layar lebar. Tak hanya menjadi obat kangen bagi para pembaca ceritanya, kisah Roy yang melegenda juga bisa menemui penggemar barunya dari kalangan muda.
Baca juga: Tarik Kisah Remaja 90-an, Ini Daftar Pemain Film 'Balada Si Roy'
Setelah banyak dijejalkan dengan kisah drama dan romansa anak remaja dengan konflik yang cenderung dangkal, film Balada Si Roy menawarkan kisah anak muda lebih kompleks dan menarik untuk diikuti ceritanya. Hal itu tentu tidak bisa terlepas dari kondisi sosial politik yang bergejolak pada 1980-an di Indonesia yang menjadi latar cerita.
Jika usia remaja kerap disebut-sebut sebagai masa pencarian jati diri, film Balada Si Roy boleh dibilang berhasil menerjemahkannya dengan cara asyik. Petualangan anak muda yang khas dari Roy dibumbui dengan berbagai aspek kehidupan yang kompleks, mulai dari pencarian jati diri, persahabatan, dan cinta dengan latar wajah masyarakat Indonesia pada 1980-an.
Lebih dalam dari sekadar kisah cinta remaja, Balada Si Roy hadir dengan konflik yang kuat, baik konflik personal, keluarga, hingga konflik yang berlatar pada kondisi sosial pada era itu. Namun, film ini tetap dikemas dengan cara yang lebih segar, sehingga terasa relevan dengan penonton saat ini.
Poster film Balada Si Roy (Sumber gambar: IDN Pictures)
Karakter Remaja Realistis
Sebagai karakter ikonik, Roy memang telah digambarkan cukup kharismatik dalam novelnya. Sebagai anak muda, dia dicitrakan sebagai sosok semangat, petualang, pemberani, kritis, suka menulis, dan romantis. Namun, semua citra yang melekat itu tetap mewujud sebagai sosok remaja yang realistis dan pas.Jiwa anak muda yang naik turun, terkadang ambisius tapi juga gampang rapuh, terkadang ingin ini tapi juga ingin itu, melekat dalam karakter Roy. Terkadang dia juga keras memberontak, tapi tak jarang juga bingung dengan pilihannya. Gejolak jiwa khas anak muda yang sedang mencari jati dirinya.
Penggambaran karakter yang kuat ini tak lepas dari duo Fajar Nugros selaku sutradara dan Salman Aristo selaku penulis skenario. Mereka memang menaruh perhatian tersendiri dengan cerita Balada Si Roy. Bagi mereka film ini merupakan wujud karya yang berangkat dari kesukaan pada kisah karakter Roy sejak era terbit di majalah Hai.
Semua karakter kuat itu lantas dengan apik diperankan oleh Abidzar Al Ghifari. Sebagai aktor pendatang baru dan debut membintangi film perdananya, Abidzar mampu mengimbangi kemampuan akting para aktor dan aktris senior yang lain seperti Lulu Tobing, Arswendy Bening Swara, dan Kiki Narendra.
Aktingnya meyakinkan, baik saat dia menjadi pemuda yang kharismatik di lingkungan sekolahnya, atau saat merasa kehilangan anjing kesayangannya, hingga harus beradu fisik dengan lawan mainnya. Tampaknya, tak salah jika Gol A Gong langsung menunjuknya untuk memerankan karakter tersebut.
Selain itu, latar belakang tiap-tiap karakter remaja dalam film ini juga cukup kuat dengan segala problematikanya. Latar belakang itulah yang akan membawa cara pandang dan pembawaan yang menarik dari tiap-tiap karakter.
Mulai dari Dullah (diperankan oleh Bio One) yang merupakan anak seorang kontraktor sekaligus pemegang modal daerah, Dewi (diperankan oleh Sitha Marino) sebagai anak dari keluarga yang tidak harmonis, begitupun dengan Andi (diperankan oleh Jourdy Pranata) yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Cerita Kompleks tapi Kuat
Film Balada Si Roy lebih dari sekadar kisah petualangan, drama, dan romansa anak muda. Cerita film ini juga menyentuh berbagai aspek sosial dan politik yang bergejolak pada era 1980-an yang begitu mempengaruhi kehidupan masyarakat kala itu.Persoalan yang diperjuangkan Roy lebih dari sekadar memperebutkan perempuan cantik di sekolah, atau konflik geng-gengan dengan problematika dangkal seperti kebanyakan film remaja kita. Dia melawan sikap penindasan dan kesewenang-wenangan dari orang-orang kalangan atas yang salah satunya disimbolkan dengan geng Borsalino.
Roy mengajak teman-temannya di sekolah yang selama ini takut melawan untuk berani bersuara. Bahkan, dia membentuk geng RAT untuk melawan geng Borsalino. Dari sini, dia pun bertekad untuk berani melawan tatanan sosial yang dianggapnya merendahkan satu kelompok tertentu.
Dengan segala keyakinannya, Roy ingin menghadirkan dunia yang setara bagi semua orang. "Feodal harus dilawan, oligarki harus ditumbangkan. Kita bikin tatanan jadi goyah," ucap Roy.
Semua itu hadir bukan secara ujug-ujug. Bapaknya Roy, yang diperankan oleh Ramon Y. Tungka, dikisahkan sebagai jurnalis sekaligus aktivis kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Bapaknya meninggal saat pergi ke Gunung Kerinci untuk membantu rakyat membela hak atas tanah mereka.
Api semangat perlawanan itu pun hadir dalam jiwa Roy. Dengan caranya sendiri dia mencari tahu tentang apa yang diperjuangkan oleh bapaknya selama ini. Dia bertemu dengan orang-orang yang menjadi korban dari imbas pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran pada era 1980-an, lalu mencoba menulis kebobrokan yang terjadi di daerahnya.
Hal itu pun sampai-sampai berpengaruh pada kisah cintanya. Perempuan yang ditaksirnya, Ani (diperankan oleh Febby Rastanty), adalah seorang anak bekas militer. Tahu bahwa Roy adalah anak seorang aktivis, dia pun menentang keras Ani untuk berhubungan dengan Roy dan menganggapnya sebagai seorang yang subversif.
Alih-alih galau karena cintanya kandas karena restu orang tua, Roy justru menarik diri dari lingkungan yang cenderung menentangnya, menentang idealismenya. Dari semua yang dihadapinya, itu hanya menjadi awal dari petualangan baru yang hendak dijalaninya.
Seting yang Mendukung
Mengambil latar waktu 1980-an, film ini juga boleh dibilang berhasil menghadirkan suasana pada era tersebut. Mulai dari rumah, kendaraan, hingga perabotan khas zaman dulu hadir menjadi kesatuan visual yang ciamik dalam film.Begitupun dengan kostum, riasan wajah, hingga tata rambut benar-benar dibuat semirip mungkin dengan gaya zaman 1980-an. Seperti misalnya Febby Rastanty yang berhasil melempar ingatan ke zaman dulu dengan tampilan rambut keriting yang mengembang.
Film juga kian lengkap dengan kehadiran skoring yang asyik dan menggugah. Musik pengiring yang hadir didominasi oleh genre rock yang memang populer pada era 1980-an, sampai-sampai rasanya berhasil membangkitkan jiwa muda siapapun yang mendengarnya.
Jika Fajar Nugros bilang bahwa film ini adalah surat cinta untuk generasi muda agar berani bergerak dan mengejar impiannya, rasanya dia berhasil meramu kalimat per kalimat dari surat itu sehingga tersampaikan sebagaimana mestinya.
Baca juga: Alasan Personal Sutradara Fajar Nugros Garap Film Balada Si Roy
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.