Ini Nilai-nilai yang Diharapkan dari Film Animasi bagi Anak di Bawah 10 Tahun
29 December 2022 |
13:30 WIB
Anak-anak memang lekat dengan dunia fantasi lewat film animasi atau kartun. Lewat tayangan film jenis ini, wawasan mereka terbuka dan dapat dikenalkan dengan budaya nasional serta nilai-nilai luhur bangsa. Faktanya, film-film animasi yang diangkat dari legenda daerah atau bertema populer dan nasionalisme juga digemari anak-anak Indonesia.
Sebut saja mulai dari film animasi terkini seperti Meraih Mimpi, Si Juki the Movie, Knight Kris, Battle of Surabaya, Kuku Rock You dan lainnya. Selain itu, ada pula film animasi khas Indonesia yang mewakili keragaman suku dan budaya daerah yang terinspirasi dari dongeng anak-anak. Seperti kisah Kancil dan Buaya, Malin Kundang, Timun Emas dan sebagainya.
Ketika anak-anak kita sudah familiar dengan karya animasi luar negeri asal Jepang, atau garapan Universal Studios atau Disneyland, seperti Sinchan, Doraemon, Teletubies, hingga Winnie the Pooh mungkin yang akan disalahkan adalah stasiun TV karena TV hanya menayangkan kartun oleh produksi asing.
Menurut beberapa produser animasi, anak-anak malah menyukai kartun buatan dalam negeri. Tumbuhnya minat terhadap kartun karya anak bangsa juga tercermin dari tumbuhnya apresiasi terhadap kartun anak-anak. Begitu pula dengan rating yang menanjak naik.
Alasannya, animasi lokal dipandang lebih dekat secara psikologis dengan masyarakat. Sementara itu, dongeng-dongeng yang membangkitkan legenda lokal juga turut mendukung pengenalan anak-anak pada budaya nasional.
Di sisi lain, produk animasi atau film kartun impor yang melegenda di negeri sendiri juga belum tentu sesuai dengan budaya bangsa. Saat situasi ini terjadi, anak-anak pun bingung dengan nilai-nilai sosial yang direpresentasikan oleh karya animasi asing ini. Pasalnya ada norma atau nilai-nilai yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh orang tua mereka.
Profesor Frieda Mangunsong, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend mengatakan bahwa film kartun dengan muatan budaya daerah makin mendekatkan anak-anak dengan budaya lokal.
Namun, menurutnya, dongeng lokal tidak selamanya positif bagi anak-anak jika pesan ceritanya tidak mendidik. Sebaliknya, animasi asing tidak selalu negatif jika isi ceritanya positif. Menurutnya, pada situasi tersebut, lembaga sensor berperan dalam mengurasi cerita anak sebelum ditayangkan di media elektronik televisi.
Badan sensor, paparnya, dapat menyeleksi dengan cermat semua film komik, baik produksi lokal dan impor. Ketika pesan ceritanya tidak jelas atau terputus-putus, maka film kartun seperti itu dipandangnya tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anak-anak.
Baca juga: 4 Film Marvel Paling Ditunggu di 2023, Spider-Man versi Animasi Bakal Tayang Lagi!
Menurut Frieda, kemampuan anak mencerna cerita sebelum usia 10 tahun belum memadai. Oleh karena itu, pada saat menonton film kartun atau animasi serta acara TV lainnya, para orang tua dianjurkan untuk melakukan pendampingan untuk menjelaskan isi cerita.
Jika tidak ada yang mendampingi mereka saat menyaksikan TV, maka dikhawatirkan anak-anak akan salah mengartikan cerita. Selain itu, Frieda menegaskan bahwa anak di bawah 10 tahun memiliki daya imajinasi yang tinggi. Dengan demikian jika suatu tayangan dilihat negatif, maka tayangan tersebut justru berisiko memicu ilusi atau fantasi yang menyesatkan.
Dia memberi contoh, cerita-cerita mistis yang bisa berdampak negatif bagi anak-anak pada rentang usia 10 tahun ke bawah ini. Misalnya, anak dapat menjadi pribadi yang penakut. Sebaliknya, jika usia anak sudah di atas 10 tahun, pendampingan orang tua tidak terlalu dibutuhkan, karena pada masa remaja mereka sudah mampu membandingkan antara mana yang benar dan mana yang salah.
Pada intinya, Frieda tidak mempermasalahkan film kartun lokal maupun kartun asing selama isi ceritanya baik dan mendidik bagi anak-anak. Dia menyarankan agar sebaiknya tayangan babak akhir cerita dari film-film tersebut dapat dilengkapi dengan pesan-pesan moril atau makna yang dapat dikaitkan dengan kehidupan riil.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Indyah Sutriningrum
Sebut saja mulai dari film animasi terkini seperti Meraih Mimpi, Si Juki the Movie, Knight Kris, Battle of Surabaya, Kuku Rock You dan lainnya. Selain itu, ada pula film animasi khas Indonesia yang mewakili keragaman suku dan budaya daerah yang terinspirasi dari dongeng anak-anak. Seperti kisah Kancil dan Buaya, Malin Kundang, Timun Emas dan sebagainya.
Ketika anak-anak kita sudah familiar dengan karya animasi luar negeri asal Jepang, atau garapan Universal Studios atau Disneyland, seperti Sinchan, Doraemon, Teletubies, hingga Winnie the Pooh mungkin yang akan disalahkan adalah stasiun TV karena TV hanya menayangkan kartun oleh produksi asing.
Menurut beberapa produser animasi, anak-anak malah menyukai kartun buatan dalam negeri. Tumbuhnya minat terhadap kartun karya anak bangsa juga tercermin dari tumbuhnya apresiasi terhadap kartun anak-anak. Begitu pula dengan rating yang menanjak naik.
Alasannya, animasi lokal dipandang lebih dekat secara psikologis dengan masyarakat. Sementara itu, dongeng-dongeng yang membangkitkan legenda lokal juga turut mendukung pengenalan anak-anak pada budaya nasional.
Di sisi lain, produk animasi atau film kartun impor yang melegenda di negeri sendiri juga belum tentu sesuai dengan budaya bangsa. Saat situasi ini terjadi, anak-anak pun bingung dengan nilai-nilai sosial yang direpresentasikan oleh karya animasi asing ini. Pasalnya ada norma atau nilai-nilai yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh orang tua mereka.
Profesor Frieda Mangunsong, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend mengatakan bahwa film kartun dengan muatan budaya daerah makin mendekatkan anak-anak dengan budaya lokal.
Namun, menurutnya, dongeng lokal tidak selamanya positif bagi anak-anak jika pesan ceritanya tidak mendidik. Sebaliknya, animasi asing tidak selalu negatif jika isi ceritanya positif. Menurutnya, pada situasi tersebut, lembaga sensor berperan dalam mengurasi cerita anak sebelum ditayangkan di media elektronik televisi.
Badan sensor, paparnya, dapat menyeleksi dengan cermat semua film komik, baik produksi lokal dan impor. Ketika pesan ceritanya tidak jelas atau terputus-putus, maka film kartun seperti itu dipandangnya tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anak-anak.
Baca juga: 4 Film Marvel Paling Ditunggu di 2023, Spider-Man versi Animasi Bakal Tayang Lagi!
Menurut Frieda, kemampuan anak mencerna cerita sebelum usia 10 tahun belum memadai. Oleh karena itu, pada saat menonton film kartun atau animasi serta acara TV lainnya, para orang tua dianjurkan untuk melakukan pendampingan untuk menjelaskan isi cerita.
Jika tidak ada yang mendampingi mereka saat menyaksikan TV, maka dikhawatirkan anak-anak akan salah mengartikan cerita. Selain itu, Frieda menegaskan bahwa anak di bawah 10 tahun memiliki daya imajinasi yang tinggi. Dengan demikian jika suatu tayangan dilihat negatif, maka tayangan tersebut justru berisiko memicu ilusi atau fantasi yang menyesatkan.
Dia memberi contoh, cerita-cerita mistis yang bisa berdampak negatif bagi anak-anak pada rentang usia 10 tahun ke bawah ini. Misalnya, anak dapat menjadi pribadi yang penakut. Sebaliknya, jika usia anak sudah di atas 10 tahun, pendampingan orang tua tidak terlalu dibutuhkan, karena pada masa remaja mereka sudah mampu membandingkan antara mana yang benar dan mana yang salah.
Pada intinya, Frieda tidak mempermasalahkan film kartun lokal maupun kartun asing selama isi ceritanya baik dan mendidik bagi anak-anak. Dia menyarankan agar sebaiknya tayangan babak akhir cerita dari film-film tersebut dapat dilengkapi dengan pesan-pesan moril atau makna yang dapat dikaitkan dengan kehidupan riil.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.