Intip 7 Prediksi Tren Konsumsi 2023 Hadapi Ancaman Resesi, Siap Beradaptasi?
22 December 2022 |
20:07 WIB
Salah satu kekhawatiran yang dihadapi generasi muda saat ini adalah terkait dengan kondisi keuangan pada masa depan. Hal itu, tidak lepas dari prediksi perekonomian yang disebut suram akibat ancaman resesi dan inflasi tinggi yang bakal menghambat laju pertumbuhan global pada tahun depan.
Namun kekhawatiran tersebut sebaiknya dapat dikendalikan. Salah satunya dengan mengetahui tentang prospek perekonomian yang dapat diperoleh dari pubikasi informasi para pakar di bidangnya ataupun lembaga kredibel. Pada akhir tahun ini, ada banyak lembaga keuangan nasional maupun global yang membuat publikasi tentang proyeksi perekonomian untuk tahun 2023, termasuk tren konsumsi.
Baca juga: Ada Risiko Resesi, Minat Masyarakat untuk Traveling pada Tahun Depan Masih Tinggi
Setidaknya, proyeksi tersebut dapat menjadi gambaran dan pijakan bagi semua pihak, termasuk generasi Z dan milenial, dalam mempersiapkan diri mengarungi tahun yang cukup menantang tersebut, serta dapat menjadi pijakan dalam membuat perencanaan bisnis dan keuangan.
Kemudian hal ini membuat strategi investasi, hingga menyusun resolusi keuangan dan konsumsi yang tepat dalam situasi sulit. Nah, kira-kira bagaimana dengan gambaran kondisi ekonomi dan tren konsumsi pada 2023?
Salah satunya dapat dilihat dari laporan DBS Group Research tentang perubahan perilaku belanja konsumen melalui riset bertajuk Indonesia Consumption Basket, terhadap lebih dari 700 responden Indonesia dari berbagai kelas pemasukan pada November 2022.
Riset ini menitikberatkan tentang bagaimana inflasi dan ancaman resesi akan mengubah pola pengeluaran dan konsumsi mereka. Simak tujuh hasil riset tersebut di bawah ini!
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar masyarakat memandang pandemi virus Corona hampir sepenuhnya berlalu dan inflasi menjadi tantangan selanjutnya. Hal itu terindikasi dari hasil riset di mana 98% responden merasakan tren kenaikan harga, dan 55% masyarakat memandang inflasi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan konflik geopolitik Ukraina dan Rusia.
Sementara itu, masyarakat mengemukakan beberapa alasan lain yang menyebabkan inflasi, yakni disrupsi rantai pasokan akibat Covid-19 (19% responden) dan kenaikan suku bunga The Fed (16% responden).
Pada November 2022, tingkat inflasi mencapai 5,42% secara tahunan. Pada kenyataannya, DBS Group Research menemukan bahwa 54% responden merasa pengeluaran mereka melebihi statistik inflasi Indonesia, meningkat di atas 10?hkan lebih. Konsumen memilih BBM dan bahan makanan sebagai dua hal dengan peningkatan paling signifikan, terutama karena perannya sebagai kebutuhan sehari-hari.
Konsumen memperkirakan kenaikan tingkat inflasi akan terjadi dalam kurun waktu yang lebih panjang. Dengan persentase yang tinggi, yakni 89% responden melihat tren ini akan berlangsung selama 6 bulan ke depan dan lebih jauh. Hal ini berarti konsumen mengantisipasi situasi inflasi yang tinggi akan bertahan hingga paruh pertama 2023 atau bahkan hingga 2024.
Sejalan dengan hal tersebut, riset membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat akan mengubah pola konsumsinya relatif lebih cepat untuk beradaptasi dengan inflasi. 62% responden menyatakan bahwa perilaku konsumsinya akan berubah dalam 3—6 bulan ke depan, karena mereka memperkirakan situasi inflasi yang berkepanjangan.
Sebesar 71% responden dari kelas menengah ke bawah berencana untuk menyesuaikan pengeluaran jika inflasi dan harga barang-barang tetap tinggi selama 3—6 bulan ke depan. Namun 40% responden kelas menengah dan kelas menengah ke atas memilih untuk tidak langsung mengubah pola konsumsinya di tengah inflasi.
Untuk kelas menengah ke atas, 56% responden akan menyesuaikan gaya hidupnya dalam kurun waktu 3—6 bulan ke depan, sedangkan 7% responden tidak akan mengubah pola konsumsinya sama sekali.
Menabung lebih banyak, mengeluarkan uang lebih sedikit (save more, spend less) menjadi langkah yang diambil untuk menghadapi situasi yang menantang tersebut. Hal itu, disertai dengan pilihan mencari alternatif barang yang lebih murah atau meningkatkan pendapatan.
Setengah dari responden akan mengambil langkah save more, spend less tersebut, sedangkan sisanya terpecah menjadi penggunaan barang yang lebih murah (19%), investasi untuk hasil yang lebih tinggi (20%), serta pencarian pendapatan yang lebih besar dan pemasukan tambahan (10%).
Selain itu, hampir setengah dari masyarakat kelas menengah ke atas yang mencari pendapatan lebih tinggi dalam merespon inflasi. Mereka berinvestasi untuk keuntungan lebih besar (30%), mencari pendapatan yang lebih tinggi dan pemasukan tambahan (15%), dan sisanya tidak akan melakukan apapun terlepas adanya inflasi (2%).
DBS Group Research melihat konsumen kelas menengah ke atas memiliki disposable income yang lebih tinggi dan keleluasaan untuk berinvestasi sebagai jalan menghadapi inflasi sehingga mereka tidak perlu mengubah gaya hidupnya. Di sisi lain, masyarakat kelas menengah dan kelas menengah ke bawah memiliki disposable income terbatas sehingga perlu lebih banyak menabung dan menyesuaikan pengeluaran.
Sebagai pengeluaran sehari-hari, BBM dan bahan makanan tetap menjadi prioritas konsumen di atas hal-hal lain terlepas keduanya mencatatkan peningkatan harga tertinggi. Hal ini diikuti dengan pengeluaran rumah tangga lainnya seperti sewa rumah, cicilan, serta produk perawatan rumah dan pribadi.
Tren ini serupa di semua kelas dengan kelas menengah ke atas yang turut mengutamakan investasi dibanding kelas-kelas pemasukan lain. Untuk pengeluaran diskresioner (discretionary spending) seperti rekreasi, belanja, dan makan di luar menjadi prioritas terakhir.
DBS Group Research mendapati responden memiliki tendensi untuk menggunakan barang alternatif dengan harga yang lebih murah dibandingkan harus mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok, bahan makanan serta produk perawatan pribadi dan kebutuhan rumah tangga. Hal ini juga berlaku untuk pengeluaran rumah tangga serta BBM atau biaya transportasi.
Untuk kebutuhan non-pokok seperti makan di luar, rekreasi, dan pakaian, tidak masalah bagi konsumen mengurangi intensitasnya, sehingga terlihat bahwa mereka memilih kualitas dibandingkan dengan kuantitas.
Hasil yang cukup berbeda terjadi pada kelas menengah ke atas di mana mereka memilih untuk mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok dibanding mencari alternatif yang lebih murah. Untuk itu, DBS Group Research menyimpulkan masyarakat kelas tersebut telah memiliki standar kehidupannya sendiri dengan kualitas yang tidak dapat dikompromi.
Baca juga: Melihat Suburnya Konser Musik dan Ekonomi Kreatif di Tengah Ancaman Inflasi
Editor: Roni Yunianto
Namun kekhawatiran tersebut sebaiknya dapat dikendalikan. Salah satunya dengan mengetahui tentang prospek perekonomian yang dapat diperoleh dari pubikasi informasi para pakar di bidangnya ataupun lembaga kredibel. Pada akhir tahun ini, ada banyak lembaga keuangan nasional maupun global yang membuat publikasi tentang proyeksi perekonomian untuk tahun 2023, termasuk tren konsumsi.
Baca juga: Ada Risiko Resesi, Minat Masyarakat untuk Traveling pada Tahun Depan Masih Tinggi
Setidaknya, proyeksi tersebut dapat menjadi gambaran dan pijakan bagi semua pihak, termasuk generasi Z dan milenial, dalam mempersiapkan diri mengarungi tahun yang cukup menantang tersebut, serta dapat menjadi pijakan dalam membuat perencanaan bisnis dan keuangan.
Kemudian hal ini membuat strategi investasi, hingga menyusun resolusi keuangan dan konsumsi yang tepat dalam situasi sulit. Nah, kira-kira bagaimana dengan gambaran kondisi ekonomi dan tren konsumsi pada 2023?
Salah satunya dapat dilihat dari laporan DBS Group Research tentang perubahan perilaku belanja konsumen melalui riset bertajuk Indonesia Consumption Basket, terhadap lebih dari 700 responden Indonesia dari berbagai kelas pemasukan pada November 2022.
Riset ini menitikberatkan tentang bagaimana inflasi dan ancaman resesi akan mengubah pola pengeluaran dan konsumsi mereka. Simak tujuh hasil riset tersebut di bawah ini!
1. Inflasi jadi kekhawatiran terbesar
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar masyarakat memandang pandemi virus Corona hampir sepenuhnya berlalu dan inflasi menjadi tantangan selanjutnya. Hal itu terindikasi dari hasil riset di mana 98% responden merasakan tren kenaikan harga, dan 55% masyarakat memandang inflasi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan konflik geopolitik Ukraina dan Rusia.Sementara itu, masyarakat mengemukakan beberapa alasan lain yang menyebabkan inflasi, yakni disrupsi rantai pasokan akibat Covid-19 (19% responden) dan kenaikan suku bunga The Fed (16% responden).
2. Kenaikan harga bahan makanan dan harga BBM tinggi
Pada November 2022, tingkat inflasi mencapai 5,42% secara tahunan. Pada kenyataannya, DBS Group Research menemukan bahwa 54% responden merasa pengeluaran mereka melebihi statistik inflasi Indonesia, meningkat di atas 10?hkan lebih. Konsumen memilih BBM dan bahan makanan sebagai dua hal dengan peningkatan paling signifikan, terutama karena perannya sebagai kebutuhan sehari-hari.
3. Prediksi inflasi berkepanjangan dan indikasi perubahan pola konsumsi
Konsumen memperkirakan kenaikan tingkat inflasi akan terjadi dalam kurun waktu yang lebih panjang. Dengan persentase yang tinggi, yakni 89% responden melihat tren ini akan berlangsung selama 6 bulan ke depan dan lebih jauh. Hal ini berarti konsumen mengantisipasi situasi inflasi yang tinggi akan bertahan hingga paruh pertama 2023 atau bahkan hingga 2024. Sejalan dengan hal tersebut, riset membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat akan mengubah pola konsumsinya relatif lebih cepat untuk beradaptasi dengan inflasi. 62% responden menyatakan bahwa perilaku konsumsinya akan berubah dalam 3—6 bulan ke depan, karena mereka memperkirakan situasi inflasi yang berkepanjangan.
4. Adaptasi cepat kelas menengah bawah
Sebesar 71% responden dari kelas menengah ke bawah berencana untuk menyesuaikan pengeluaran jika inflasi dan harga barang-barang tetap tinggi selama 3—6 bulan ke depan. Namun 40% responden kelas menengah dan kelas menengah ke atas memilih untuk tidak langsung mengubah pola konsumsinya di tengah inflasi.Untuk kelas menengah ke atas, 56% responden akan menyesuaikan gaya hidupnya dalam kurun waktu 3—6 bulan ke depan, sedangkan 7% responden tidak akan mengubah pola konsumsinya sama sekali.
Baca juga: Sinyal Resesi Kian Menguat, Yuk Lakukan Ini Agar Bisnis Tetap Bertahan
5. Defensif untuk menghadapi dampak inflasi dan kenaikan harga
Menabung lebih banyak, mengeluarkan uang lebih sedikit (save more, spend less) menjadi langkah yang diambil untuk menghadapi situasi yang menantang tersebut. Hal itu, disertai dengan pilihan mencari alternatif barang yang lebih murah atau meningkatkan pendapatan.Setengah dari responden akan mengambil langkah save more, spend less tersebut, sedangkan sisanya terpecah menjadi penggunaan barang yang lebih murah (19%), investasi untuk hasil yang lebih tinggi (20%), serta pencarian pendapatan yang lebih besar dan pemasukan tambahan (10%).
Selain itu, hampir setengah dari masyarakat kelas menengah ke atas yang mencari pendapatan lebih tinggi dalam merespon inflasi. Mereka berinvestasi untuk keuntungan lebih besar (30%), mencari pendapatan yang lebih tinggi dan pemasukan tambahan (15%), dan sisanya tidak akan melakukan apapun terlepas adanya inflasi (2%).
DBS Group Research melihat konsumen kelas menengah ke atas memiliki disposable income yang lebih tinggi dan keleluasaan untuk berinvestasi sebagai jalan menghadapi inflasi sehingga mereka tidak perlu mengubah gaya hidupnya. Di sisi lain, masyarakat kelas menengah dan kelas menengah ke bawah memiliki disposable income terbatas sehingga perlu lebih banyak menabung dan menyesuaikan pengeluaran.
6. Pengeluaran harian menjadi prioritas
Sebagai pengeluaran sehari-hari, BBM dan bahan makanan tetap menjadi prioritas konsumen di atas hal-hal lain terlepas keduanya mencatatkan peningkatan harga tertinggi. Hal ini diikuti dengan pengeluaran rumah tangga lainnya seperti sewa rumah, cicilan, serta produk perawatan rumah dan pribadi.Tren ini serupa di semua kelas dengan kelas menengah ke atas yang turut mengutamakan investasi dibanding kelas-kelas pemasukan lain. Untuk pengeluaran diskresioner (discretionary spending) seperti rekreasi, belanja, dan makan di luar menjadi prioritas terakhir.
7. Memilih kebutuhan pokok yang lebih murah dan berhemat
DBS Group Research mendapati responden memiliki tendensi untuk menggunakan barang alternatif dengan harga yang lebih murah dibandingkan harus mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok, bahan makanan serta produk perawatan pribadi dan kebutuhan rumah tangga. Hal ini juga berlaku untuk pengeluaran rumah tangga serta BBM atau biaya transportasi.Untuk kebutuhan non-pokok seperti makan di luar, rekreasi, dan pakaian, tidak masalah bagi konsumen mengurangi intensitasnya, sehingga terlihat bahwa mereka memilih kualitas dibandingkan dengan kuantitas.
Hasil yang cukup berbeda terjadi pada kelas menengah ke atas di mana mereka memilih untuk mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok dibanding mencari alternatif yang lebih murah. Untuk itu, DBS Group Research menyimpulkan masyarakat kelas tersebut telah memiliki standar kehidupannya sendiri dengan kualitas yang tidak dapat dikompromi.
Baca juga: Melihat Suburnya Konser Musik dan Ekonomi Kreatif di Tengah Ancaman Inflasi
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.