Mengembalikan Kejayaan si Raja Rempah
12 December 2022 |
06:30 WIB
Sudah sejak ribuan tahun yang lalu Indonesia telah dikenal sebagai negara penghasil dan pemasok utama komoditas rempah dunia. Banyaknya tanaman rempah yang ada di Indonesia menjadikan negara ini dikenal sebagai spice island country.
Dari ratusan jenis rempah yang ada di Indonesia, lada atau merica menjadi salah satu yang paling banyak digunakan di seluruh dunia tak heran bila lada disebut juga sebagai the king of spice atau rajanya rempah-rempah.
Lada atau yang memiliki nama latin Piper nigrum memang telah menjadi salah satu komoditas perkebunan unggulan yang menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir atau penghasil lada terbesar kedua di dunia dengan luas lahan perkebunan lada terbesar di dunia yakni mencapai lebih dari 180 ribu hektare.
Baca juga: Dorong Potensi Rempah Nasional Lewat Transformasi Digital Jalur Rempah
Lukman Basri, dari Dewan Rempah Indonesia mengatakan bahwa pemerintah bersama asosiasi terus berupaya untuk mengembalikan kejayaan rempah Nusantara yang sebelumnya pernah menjadi jalur rempah dunia. Tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia memiliki berbagai jenis rempah, termasuk komoditas lada yang punya karakteristik dan cita rasa produk yang khas dibandingkan dengan produk serupa dari negara lain.
Misalnya saja lada putih dari Bangka Belitung atau yang dikenal dengan nama Muntok White Pepper memiliki piperin atau tingkat kepedasan di level 5-7 aroma minyak atsiri yang tajam, serta telah bersertifikat indikasi geografis (IG) yakni suatu tanda yang menunjukkan asal produk. Lada putih umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pedas masakan tanpa merubah rasa masakan itu sendiri.
Begitu pula dengan lada hitam yang dihasilkan oleh provinsi Lampung atau yang juga dikenal dengan nama Black Pepper Lampung memiliki keunggulan geografis dan bersertifikat indikasi geografis (IG) karena memiliki reputasi baik. Lada hitam memiliki karakteristik sebagai penguat aroma pada makanan.
Menurutnya prospek bisnis rempah-rempah terutama lada ini sangat besar apalagi hampir seluruh makanan menggunakan bahan baku lada sebagai penyedap rasanya sehingga potensi ekspornya pun sangat terbuka luas. Namun memang diakuinya bahwa dari sisi produktivitas lada di Indonesia masih rendah sehingga dibutuhkan adanya kontribusi dalam rangka meningkatkan daya saing dan nilai tambah lada yang menjadi salah satu komoditas unggulan ada rempah.
Selain itu, dalam proses ekspor, lada dan rempah dari Indonesia sering kali tersandung regulatory power atau dokumen sertifikat termasuk pemenuhan syarat standar ekspor mulai dari sistem keamanan pangan, packaging dan labeling, standar higienis dan lain sebagainya.
Padahal di Indonesia proses uji kesehatan dan kontaminasi sudah dilakukan dan sudah lulus sebagai persyaratan ekspor tapi tidak mendapat pengakuan pada saat komoditi tiba di negara tujuan karena sering kali mesin uji lab yang digunakan tidak presisi atau karena adanya kontaminasi benda asing di sepanjang perjalanan. Akibatnya harga rempah-rempah dari Indonesia jatuh di bawa nilai keekonomian.
Lukman mengatakan bahwa dalam hal pemenuhan berbagai persyaratan standar ekspor dan regulatory power, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam. Tak heran bila lada dari Indonesia sulit untuk bisa langsung menembus pasar Eropa dan Amerika
“Lada dari Indonesia biasanya akan diekspor ke Vietnam karena kita tidak bisa memenuhi kriteria dari Uni Eropa. Baru dari Vietnam, lada ini akan disortir dan disesuaikan dengan persyaratan untuk dikirim ke negara Eropa dan Amerika sehingga harganya bisa berkali lipat,” ucapnya.
Hal ini jelas sangat disayangkan karena lada dari Indonesia memiliki cita rasa dan karakteristik yang khas, dunia pun pasti membutuhkan lada dari Indonesia. Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi tersebut, maka pemerintah meluncurkan program Grasida yaitu Gerakan Peningkatan Produksi, Nilai tambah dan Daya Saing ) serta Gratikes (Gerakan mencapai tiga kali ekspor).
Melalui program tersebut, maka produksi lada ditargetkan bisa mencapai kapasitas produksi sebesar 138 ribu ton dengan volume ekspor 110rb dan nilai ekspor menjadi US$467 juta pada 2024.
Di samping menjual dan mengekspor lada dalam bentuk komoditi atau bahan mentah, ke depan Indonesia juga perlu melakukan proses hilirisasi, termasuk mengekspor rempah dalam bentuk bumbu racikan sekaligus untuk mendukung program Spice Up the World dengan menghadirkan 4000 restoran di luar negeri.
“Diharapkan bisa meningkatkan nilai ekspor bumbu rempah menjadi US$2 miliar dengan lada sebagai salah satu rempah prioritas. Kita juga harus memperkuat pasar dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan produk impor,” ucapnya.
Baca juga: 7 Rempah Khas Indonesia yang Mendunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dari ratusan jenis rempah yang ada di Indonesia, lada atau merica menjadi salah satu yang paling banyak digunakan di seluruh dunia tak heran bila lada disebut juga sebagai the king of spice atau rajanya rempah-rempah.
Lada atau yang memiliki nama latin Piper nigrum memang telah menjadi salah satu komoditas perkebunan unggulan yang menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir atau penghasil lada terbesar kedua di dunia dengan luas lahan perkebunan lada terbesar di dunia yakni mencapai lebih dari 180 ribu hektare.
Baca juga: Dorong Potensi Rempah Nasional Lewat Transformasi Digital Jalur Rempah
Lukman Basri, dari Dewan Rempah Indonesia mengatakan bahwa pemerintah bersama asosiasi terus berupaya untuk mengembalikan kejayaan rempah Nusantara yang sebelumnya pernah menjadi jalur rempah dunia. Tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia memiliki berbagai jenis rempah, termasuk komoditas lada yang punya karakteristik dan cita rasa produk yang khas dibandingkan dengan produk serupa dari negara lain.
Misalnya saja lada putih dari Bangka Belitung atau yang dikenal dengan nama Muntok White Pepper memiliki piperin atau tingkat kepedasan di level 5-7 aroma minyak atsiri yang tajam, serta telah bersertifikat indikasi geografis (IG) yakni suatu tanda yang menunjukkan asal produk. Lada putih umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pedas masakan tanpa merubah rasa masakan itu sendiri.
Begitu pula dengan lada hitam yang dihasilkan oleh provinsi Lampung atau yang juga dikenal dengan nama Black Pepper Lampung memiliki keunggulan geografis dan bersertifikat indikasi geografis (IG) karena memiliki reputasi baik. Lada hitam memiliki karakteristik sebagai penguat aroma pada makanan.
Menurutnya prospek bisnis rempah-rempah terutama lada ini sangat besar apalagi hampir seluruh makanan menggunakan bahan baku lada sebagai penyedap rasanya sehingga potensi ekspornya pun sangat terbuka luas. Namun memang diakuinya bahwa dari sisi produktivitas lada di Indonesia masih rendah sehingga dibutuhkan adanya kontribusi dalam rangka meningkatkan daya saing dan nilai tambah lada yang menjadi salah satu komoditas unggulan ada rempah.
Selain itu, dalam proses ekspor, lada dan rempah dari Indonesia sering kali tersandung regulatory power atau dokumen sertifikat termasuk pemenuhan syarat standar ekspor mulai dari sistem keamanan pangan, packaging dan labeling, standar higienis dan lain sebagainya.
Padahal di Indonesia proses uji kesehatan dan kontaminasi sudah dilakukan dan sudah lulus sebagai persyaratan ekspor tapi tidak mendapat pengakuan pada saat komoditi tiba di negara tujuan karena sering kali mesin uji lab yang digunakan tidak presisi atau karena adanya kontaminasi benda asing di sepanjang perjalanan. Akibatnya harga rempah-rempah dari Indonesia jatuh di bawa nilai keekonomian.
Lukman mengatakan bahwa dalam hal pemenuhan berbagai persyaratan standar ekspor dan regulatory power, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam. Tak heran bila lada dari Indonesia sulit untuk bisa langsung menembus pasar Eropa dan Amerika
“Lada dari Indonesia biasanya akan diekspor ke Vietnam karena kita tidak bisa memenuhi kriteria dari Uni Eropa. Baru dari Vietnam, lada ini akan disortir dan disesuaikan dengan persyaratan untuk dikirim ke negara Eropa dan Amerika sehingga harganya bisa berkali lipat,” ucapnya.
Hal ini jelas sangat disayangkan karena lada dari Indonesia memiliki cita rasa dan karakteristik yang khas, dunia pun pasti membutuhkan lada dari Indonesia. Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi tersebut, maka pemerintah meluncurkan program Grasida yaitu Gerakan Peningkatan Produksi, Nilai tambah dan Daya Saing ) serta Gratikes (Gerakan mencapai tiga kali ekspor).
Melalui program tersebut, maka produksi lada ditargetkan bisa mencapai kapasitas produksi sebesar 138 ribu ton dengan volume ekspor 110rb dan nilai ekspor menjadi US$467 juta pada 2024.
Di samping menjual dan mengekspor lada dalam bentuk komoditi atau bahan mentah, ke depan Indonesia juga perlu melakukan proses hilirisasi, termasuk mengekspor rempah dalam bentuk bumbu racikan sekaligus untuk mendukung program Spice Up the World dengan menghadirkan 4000 restoran di luar negeri.
“Diharapkan bisa meningkatkan nilai ekspor bumbu rempah menjadi US$2 miliar dengan lada sebagai salah satu rempah prioritas. Kita juga harus memperkuat pasar dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan produk impor,” ucapnya.
Baca juga: 7 Rempah Khas Indonesia yang Mendunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.