Borobudur Writers and Cultural Festival 2022 Mengupas Tuntas Durga
24 November 2022 |
11:52 WIB
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) kembali digelar secara daring pada 24-27 November 2022. Pada gelarannya yang ke-11, BCWF mengangkat tema Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko: Durga di Jawa, Bali, dan India. BWCF adalah festival tahunan yang pertama kali digelar pada 2012.
BWCF merupakan wahana pertemuan bagi para penulis, baik fiksi maupun non fiksi, para pekerja kreatif, aktivis budaya, dan keagamaan lintas iman.
Acara tahunan ini selalu menyajikan tema utama yang berbeda-beda. Tema besar tersebut dipilih untuk merangsang masyarakat kembali menyadari keunikan dan kekayaan berbagai pemikiran sastra, kesenian, dan religi nusantara.
Baca juga: Catat Tanggalnya, Bazar Buku Internasional Big Bad Wolf Books Hadir di ICE BSD City
Sampai saat ini masih banyak hal penting dalam sejarah dan kebudayaan nusantara yang belum tergali dan didiskusikan. Oleh karena itu, hadirnya BWCF diharapkan bisa memaknai kembali literasi dan kebudayaan Nusantara untuk menemukan relevansi aktualnya bagi masa kini dan masa depan Indonesia.
Tahun ini, BWCF mengangkat pemikiran almarhum Prof Hariani Santiko tentang ritus dan kultus Durga. Disertasi Hariana yang dipertahankan tahun 1987: Kedudukan Batari Durga di Jawa Pada Abad X-XV adalah disertasi yang sangat langka dan ditulis dengan standar ilmiah tinggi.
Kultus terhadap durga, menurut Hariani, merupakan bagian dari kultus dewi ibu pada masyarakat agraris. Durga dianggap sebagai ibu dunia penyebab adanya nama dan rupa karena Durga adalah Sakti Siwa saat mencipta.
Rektor Universitas Hindu Indonesia I Made Damriyasa mengatakan keberadaan ritus dan kultus Durga di Nusantara menarik untuk disimak. Keberadaan kultus Durga secara khusus telah menunjukkan adanya hubungan peradaban yang sangat lampau antara India, Jawa, dan Bali.
Damriyasa mengatakan kegiatan BWCF akan menambah literasi budaya masyarakat Indonesia dan dunia tentang kearifan lokal serta peradaban Hindu Budha pada umumnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan kajian dari Prof Hariani sangat menarik untuk dikaji dan dikupas. Kajian Hariani sangat spesifik, yakni tentang sosok Durga di dalam karya sastra klasik Jawa.
Namun, implikasi dari kajiannya cukup luas bagi kajian budaya Nusantara secara umum. Hilmar mengatakan di dalam disertasi tersebut, ada perbedaan yang mencolok antara sosok Durga yang lahir dalam ekosistem Istana dengan sosok Durga yang digambarkan dalam ekosistem masyarakat.
Di ekosistem Istana, sosok Durga digambarkan sebagai seorang Dewi. Hal ini dekat dengan konsep aslinya di dalam karya sastra di India.
Namun, dalam ekosistem sastra masyarakat, Durga digambarkan raseksi (raksasa) dan memiliki kekuatan demonic. Perbedaan itu muncul karena terjadi stratifikasi sosial di Jawa dalam kurun waktu tersebut.
“Ritual-ritualnya yang eksoterik di Istana tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga publik membangun pemahamannya sendiri. Dari sinilah kemudian lahir Durga sebagai suatu kekuatan demonic,” ungkapnya.
Hilmar mengatakan implikasi dari kajian tersebut dapat membantu kita melihat bagaimana kebudayaan yang datang dari luar tidak diterima dalam kondisi mentah. Masyarakat lokal menerimanya, menanggapi, mengolah, dan dijadikan jadi kebudayaan Nusantara.
Pembicara asal Indonesia yang akan hadir ialah peneliti Bali Ni Wayan Pasek Ariati yang merampungkan disertasinya mengenai Durga dan dibukukan dengan judul: Journey of the Goddes Durga: India, Java, and Bali.
Baca juga: Gairah Baru Ekosistem Seni di Makassar International Writers Festival
Pembicara lain dari Bali ialah I Wayan Budi Utama, Komang Indra Wirawan, Wayan Jarrah Sastwaran, Ida Bagus Made Baskara, dan I Gde Agus Darma Putra. BWCF juga mengundang arkeolog dan filolog internasional, seperti Stephen C Headley, Bihani Sarkar, Tapati Guha, Ambra Calo, Lydia Kieven, dan Cecelia Levin.
Tak kalah seru, BWCF juga akan menampilkan Durga Dance Film Festival secara daring. Durga Dance Film Festival tercipta berkat tangan dingin 9 koreografer dari berbagai negara. Mereka membuat karya dengan mengambil lokasi situs-situs yang berkaitan dengan Durga yang ada di daerahnya masing-masing.
Editor: Fajar Sidik
BWCF merupakan wahana pertemuan bagi para penulis, baik fiksi maupun non fiksi, para pekerja kreatif, aktivis budaya, dan keagamaan lintas iman.
Acara tahunan ini selalu menyajikan tema utama yang berbeda-beda. Tema besar tersebut dipilih untuk merangsang masyarakat kembali menyadari keunikan dan kekayaan berbagai pemikiran sastra, kesenian, dan religi nusantara.
Baca juga: Catat Tanggalnya, Bazar Buku Internasional Big Bad Wolf Books Hadir di ICE BSD City
Sampai saat ini masih banyak hal penting dalam sejarah dan kebudayaan nusantara yang belum tergali dan didiskusikan. Oleh karena itu, hadirnya BWCF diharapkan bisa memaknai kembali literasi dan kebudayaan Nusantara untuk menemukan relevansi aktualnya bagi masa kini dan masa depan Indonesia.
Tahun ini, BWCF mengangkat pemikiran almarhum Prof Hariani Santiko tentang ritus dan kultus Durga. Disertasi Hariana yang dipertahankan tahun 1987: Kedudukan Batari Durga di Jawa Pada Abad X-XV adalah disertasi yang sangat langka dan ditulis dengan standar ilmiah tinggi.
Tangkapan layar Pembukaan BWCF
Kultus terhadap durga, menurut Hariani, merupakan bagian dari kultus dewi ibu pada masyarakat agraris. Durga dianggap sebagai ibu dunia penyebab adanya nama dan rupa karena Durga adalah Sakti Siwa saat mencipta.
Rektor Universitas Hindu Indonesia I Made Damriyasa mengatakan keberadaan ritus dan kultus Durga di Nusantara menarik untuk disimak. Keberadaan kultus Durga secara khusus telah menunjukkan adanya hubungan peradaban yang sangat lampau antara India, Jawa, dan Bali.
“Di Bali, Durga memiliki posisi yang penting, baik dalam upacara ritual maupun seni pertunjukan. Bahkan, Durga selalu hidup dalam kesenian rakyat di Bali, seperti pada pementasan Calon Arang,” ujar Damriyasa dalam pembukaan The 11th BWCF 2022 secara daring, Kamis (24/11).
Damriyasa mengatakan kegiatan BWCF akan menambah literasi budaya masyarakat Indonesia dan dunia tentang kearifan lokal serta peradaban Hindu Budha pada umumnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan kajian dari Prof Hariani sangat menarik untuk dikaji dan dikupas. Kajian Hariani sangat spesifik, yakni tentang sosok Durga di dalam karya sastra klasik Jawa.
Namun, implikasi dari kajiannya cukup luas bagi kajian budaya Nusantara secara umum. Hilmar mengatakan di dalam disertasi tersebut, ada perbedaan yang mencolok antara sosok Durga yang lahir dalam ekosistem Istana dengan sosok Durga yang digambarkan dalam ekosistem masyarakat.
Di ekosistem Istana, sosok Durga digambarkan sebagai seorang Dewi. Hal ini dekat dengan konsep aslinya di dalam karya sastra di India.
Namun, dalam ekosistem sastra masyarakat, Durga digambarkan raseksi (raksasa) dan memiliki kekuatan demonic. Perbedaan itu muncul karena terjadi stratifikasi sosial di Jawa dalam kurun waktu tersebut.
“Ritual-ritualnya yang eksoterik di Istana tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga publik membangun pemahamannya sendiri. Dari sinilah kemudian lahir Durga sebagai suatu kekuatan demonic,” ungkapnya.
Hilmar mengatakan implikasi dari kajian tersebut dapat membantu kita melihat bagaimana kebudayaan yang datang dari luar tidak diterima dalam kondisi mentah. Masyarakat lokal menerimanya, menanggapi, mengolah, dan dijadikan jadi kebudayaan Nusantara.
Agenda Borobudur Writers and Cultural Festival
Ada banyak rangkaian agenda yang diselenggarakan Borobudur Writers and Cultural Festival. Selama 24-27 November 2022, para hadirin bisa mengikuti rangkaian diskusi, bedah buku, lecture, dan meditasi setiap harinya.Pembicara asal Indonesia yang akan hadir ialah peneliti Bali Ni Wayan Pasek Ariati yang merampungkan disertasinya mengenai Durga dan dibukukan dengan judul: Journey of the Goddes Durga: India, Java, and Bali.
Baca juga: Gairah Baru Ekosistem Seni di Makassar International Writers Festival
Pembicara lain dari Bali ialah I Wayan Budi Utama, Komang Indra Wirawan, Wayan Jarrah Sastwaran, Ida Bagus Made Baskara, dan I Gde Agus Darma Putra. BWCF juga mengundang arkeolog dan filolog internasional, seperti Stephen C Headley, Bihani Sarkar, Tapati Guha, Ambra Calo, Lydia Kieven, dan Cecelia Levin.
Tak kalah seru, BWCF juga akan menampilkan Durga Dance Film Festival secara daring. Durga Dance Film Festival tercipta berkat tangan dingin 9 koreografer dari berbagai negara. Mereka membuat karya dengan mengambil lokasi situs-situs yang berkaitan dengan Durga yang ada di daerahnya masing-masing.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.