Survei Tinkerlust: 85,6 Persen Masyarakat Tahu Bahaya Limbah Fesyen
15 November 2022 |
16:44 WIB
1
Like
Like
Like
Fesyen menjadi hal penting dalam menunjang penampilan. Setiap tahun, selalu saja ada model, ide, atau inovasi baru yang dikembangkan para industri mode yang memiliki banyak peminat ini. Namun tahu kah kamu, industri fesyen memainkan peran utama dalam polusi lingkungan?
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengidentifikasi industri fesyen sebagai industri kedua penyumbang pencemaran lingkungan di dunia. Industri ini menghasilkan 8 persen dari emisi karbon dan 20 persen limbah air. Industri ini juga menyumbang seperlima dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun pada skala global.
Namun sayangnya, konsumsi rata-rata fesyen terutama pakaian meningkat 60 persen setiap tahunnya. Indonesia pun tercatat sebagai salah satu dari 10 negara penghasil tekstil teratas dan merupakan eksportir tekstil dan pakaian terbesar ke-12 di dunia.
Baca juga: Ketahui 5 Fakta Limbah dalam Fesyen yang Punya Emisi Besar
Faktanya, dari 197 perusahaan garmen yang terdaftar, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang di Indonesia. Sekitar 2 juta ton pun berujung ke tempat tempat pembuangan sampah atau menjadi sampah di laut. Pada 2019 saja, Indonesia diperkirakan memproduksi 2,3 juta ton sampah tekstil.
Sementara itu, dari survei yang dilakukan Tinkerlust terhadap lebih dari 665 responden pada Juli 2022, 65 persen diantaranya ternyata mengetahui industri fesyen berdampak negatif terhadap lingkungan. Sebanyak 85,56 persen mengakui bahwa limbah fesyen berakhir menjadi tumpukan sampah, 33,8 persen mencemari air, dan 29,6 persen menjadi polusi tanah dan udara.
Dari ancaman pencemaran lingkungan yang tentu berdampak langsung terhadap kehidupan manusia ini, masih banyak masyarakat yang turut menyumbang sampah pakaian seperti yang tergambar dalam survei. Ada sejumlah alasan mereka membuang busana mereka.
Tinkerlust mencatat 37,2 persen dari responden mengaku bosan, 22, persen ingin mengubah gaya, 19,4 persen mengaku pakaian tersebut tidak lagi muat, dan 21,3 persen pakaiannya sudah rusak.
Ketika ditanya mengapa mereka tidak menjual pakaian tersebut, 41,8 persen tidak tahu harus menjual kemana, 18,8 persen terlalu sibuk untuk menjualnya, dan 46,4 persen menyebut kondisi barangnya buruk untuk dijual.
Kendati demikian, Founder dan COO Tinkerlust Aliya Amitra mengatakan saat ini sudah banyak masyarakat yang peduli terhadap keberlanjutan. Masih dalam survei yang sama, 75 persen responden tahu mengenai fesyen berkelanjutan.
Responden menjawab bahwa bentuk yang paling umum dari mode berkelanjutan adalah pakaian dengan bahan organik dan mampu didaur ulang, baju preloved atau bekas, maupun mode lambat. Tidak sedikit yang menganggap fesyen keberlanjutan adalah yang mengurangi penggunaan bahan kimia, memiliki daya tahan dan umur panjang keausan, praktik kerja yang adil, mode hippie, dan harga yang terlalu mahal.
“Mayoritas sudah mudah tau kalau semakin banyak fesyen yang menawarkan sustainability, masyarakat juga lebih tergugah lagi dan akan ikutan,” ujar Aliya kepada Hypeabis.id, di sela-sela acara Tinkerlust Fashion Impact Summit 2022 di Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Dia menyebut saat ini beberapa masyarakat yang mulai membeli pakaian bekas atau preloved di toko penjual baju bekas. Dari survei Tingkerlust, 9,5 persen mengaku selalu membeli barang preloved, 28,3 persen sering, 36 persen jarang, 13,8 sangat jarang San 12,4 persen tidak pernah.
Sementara itu, CEO Tinkerlust Samira Shihab berharap survei ini bisa menjadi guideline bagi para industri fesyen di Tanah Air. “Harapan kita report ini menjadi guideline fashion brand dan fashion stakeholder untuk mengerti dampak dari keberlanjutan dan memilih bahan yang berkelanjutan dalam hal memproduksi. Kita bisa sama-sama sebarkan isu ini,” tuturnya.
Baca juga: 7 Brand Indonesia yang Menerapkan Sustainable Fashion, Yuk Pakai Produk Ramah Lingkungan!
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengidentifikasi industri fesyen sebagai industri kedua penyumbang pencemaran lingkungan di dunia. Industri ini menghasilkan 8 persen dari emisi karbon dan 20 persen limbah air. Industri ini juga menyumbang seperlima dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun pada skala global.
Namun sayangnya, konsumsi rata-rata fesyen terutama pakaian meningkat 60 persen setiap tahunnya. Indonesia pun tercatat sebagai salah satu dari 10 negara penghasil tekstil teratas dan merupakan eksportir tekstil dan pakaian terbesar ke-12 di dunia.
Baca juga: Ketahui 5 Fakta Limbah dalam Fesyen yang Punya Emisi Besar
Faktanya, dari 197 perusahaan garmen yang terdaftar, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang di Indonesia. Sekitar 2 juta ton pun berujung ke tempat tempat pembuangan sampah atau menjadi sampah di laut. Pada 2019 saja, Indonesia diperkirakan memproduksi 2,3 juta ton sampah tekstil.
Sementara itu, dari survei yang dilakukan Tinkerlust terhadap lebih dari 665 responden pada Juli 2022, 65 persen diantaranya ternyata mengetahui industri fesyen berdampak negatif terhadap lingkungan. Sebanyak 85,56 persen mengakui bahwa limbah fesyen berakhir menjadi tumpukan sampah, 33,8 persen mencemari air, dan 29,6 persen menjadi polusi tanah dan udara.
Dari ancaman pencemaran lingkungan yang tentu berdampak langsung terhadap kehidupan manusia ini, masih banyak masyarakat yang turut menyumbang sampah pakaian seperti yang tergambar dalam survei. Ada sejumlah alasan mereka membuang busana mereka.
Tinkerlust mencatat 37,2 persen dari responden mengaku bosan, 22, persen ingin mengubah gaya, 19,4 persen mengaku pakaian tersebut tidak lagi muat, dan 21,3 persen pakaiannya sudah rusak.
Ketika ditanya mengapa mereka tidak menjual pakaian tersebut, 41,8 persen tidak tahu harus menjual kemana, 18,8 persen terlalu sibuk untuk menjualnya, dan 46,4 persen menyebut kondisi barangnya buruk untuk dijual.
Kendati demikian, Founder dan COO Tinkerlust Aliya Amitra mengatakan saat ini sudah banyak masyarakat yang peduli terhadap keberlanjutan. Masih dalam survei yang sama, 75 persen responden tahu mengenai fesyen berkelanjutan.
Responden menjawab bahwa bentuk yang paling umum dari mode berkelanjutan adalah pakaian dengan bahan organik dan mampu didaur ulang, baju preloved atau bekas, maupun mode lambat. Tidak sedikit yang menganggap fesyen keberlanjutan adalah yang mengurangi penggunaan bahan kimia, memiliki daya tahan dan umur panjang keausan, praktik kerja yang adil, mode hippie, dan harga yang terlalu mahal.
“Mayoritas sudah mudah tau kalau semakin banyak fesyen yang menawarkan sustainability, masyarakat juga lebih tergugah lagi dan akan ikutan,” ujar Aliya kepada Hypeabis.id, di sela-sela acara Tinkerlust Fashion Impact Summit 2022 di Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Dia menyebut saat ini beberapa masyarakat yang mulai membeli pakaian bekas atau preloved di toko penjual baju bekas. Dari survei Tingkerlust, 9,5 persen mengaku selalu membeli barang preloved, 28,3 persen sering, 36 persen jarang, 13,8 sangat jarang San 12,4 persen tidak pernah.
Sementara itu, CEO Tinkerlust Samira Shihab berharap survei ini bisa menjadi guideline bagi para industri fesyen di Tanah Air. “Harapan kita report ini menjadi guideline fashion brand dan fashion stakeholder untuk mengerti dampak dari keberlanjutan dan memilih bahan yang berkelanjutan dalam hal memproduksi. Kita bisa sama-sama sebarkan isu ini,” tuturnya.
Baca juga: 7 Brand Indonesia yang Menerapkan Sustainable Fashion, Yuk Pakai Produk Ramah Lingkungan!
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.