VTuber (sumber gambar: Vtuber Music Video/Youtube)

Hypereport: VTuber, Mengaburkan Batas Imajinasi & Realita?

05 November 2022   |   20:16 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Perkembangan teknologi semakin pesat dan memunculkan beragam inovasi yang memudahkan interaksi antara pembuat konten dengan penontonnya. YouTube menjadi salah satu mediumnya di mana platform berbagi video ini turut mengakomodasi keinginan para pengguna untuk berinteraksi dengan idolanya.

Bahkan platform tersebut menciptakan idola baru dengan konten-konten menarik yang diciptakan. Bukan hanya dalam bentuk fisik namun juga virtual.

Ya, beberapa waktu terakhir, muncul fenomena virtual youtuber atau VTuber. Tidak seperti Atta Halilintar atau Baim Wong yang menampilkan diri dengan konten yang dibuat, VTuber adalah tokoh rekaan virtual yang didesain dengan pencitraan komputer dan mereka bertingkah layaknya youtuber

Baca juga: Kpopers, Dimulai dari Fandom hingga Kekuatan Nyata Media Sosial

Namun demikian, VTuber tidak semuanya digerakkan komputer ya, Genhype. Tetap ada orang di baliknya yang mengisi sosok virtual itu dan akan berinteraksi dengan para penonton ketika melakukan live streaming. 

Adanya VTuber menjadi hiburan baru bagi masyarakat, terutama di tengah pandemi. VTuber dianggap menjadi tontonan menarik terlebih sosok virtual yang hadir cukup menggemaskan. Biasanya, sosok VTuber ini berupa karakter animasi/anime.

VTuber tidak memiliki kekurangan manusia yang terlihat seperti streamer non-virtual lainnya. Pada saat yang sama, mereka juga cukup relatable. Kombinasi ini memberi kesempurnaan dan reliabilitas yang membentuk ikatan kuat antara penonton dan VTuber. Dengan kata lain, penonton terlibat dalam hubungan parasosial, hubungan sepihak yang melibatkan pengguna media dengan persona media. 

Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi menerangkan walaupun berupa karakter virtual, VTuber bisa menciptakan penggemar yang berasal dari para penontonnya. Alhasil, mereka menjadi idola palsu atau bayangan yang membuat penontonnya berimajinasi menyusun karakter maupun perilaku tertentu.

“Kondisi ini yang memunculkan parasosial. Mereka tidak membangun relasi dengan individu secara faktual tapi imagine berdasarkan konstruksi tentang sosok idola yang muncul dan diharapkan,” tutur Sigit kepada Hypeabis.id

Para VTuber secara tidak langsung membiasakan penontonnya untuk membangun khayalan yang tidak terbatas, entah itu khayalan dalam konotasi baik atau buruk. Para fans ini juga dilatih untuk mengedepankan perasaan dibandingkan logika. Perasaan itu ditambah kuat karena sosok yang muncul bukan objek sesuai realita atau sesungguhnya. 

Memang semua orang berhak untuk berimajinasi. Namun demikian, tetap perlu batasan. Interaksi yang sejati tetap harus dibangun dengan tatap muka secara langsung serta membangun komunitas, bukan sekadar dunia maya. 

Oleh karena itu, Sigit cukup khawatir dengan generasi internet masa kini yang didominasi generasi Z. Mereka cukup asyik dengan kesendiriannya berselancar di dunia maya sepanjang hari.

“Itu bisa memunculkan asosial, sikap yang tidak peduli pada lingkungan, keluarga,  teman. Mereka kurang perhatikan aktivitas main bersama, menikmati VTuber di kamar sendiri, marah, nangis, ketawa sendiri,” tuturnya.


Lebih jauh, generasi yang hanya aktif di dunia maya ini bisa saja menghilangkan unsur kehidupan sosial di masa mendatang. Eksistensi komunitas seperti rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), karang taruna, hingga perkumpulan agama bisa terancam. Itu karena lebih banyak orang yang berinteraksi melalui internet, termasuk dengan VTuber. “Kalau terjadi, lonceng kematian bagi komunitas,” tegasnya.

Lebih khawatir lagi, ketika banyak orang yang memilih untuk menikah karena bisa menyalurkan hasrat seksualnya melali tokoh-tokoh virtual yang diciptakan.

Oleh karena itu, menurut Sigit, tetap harus ada kontrol dari para orang tua kepada anaknya untuk mengakses internet. Tidak masalah jika mereka menjadikan VTuber sebagai hiburan, tetapi harus ada batasan waktu yang ditetapkan. 

Dia juga meminta agar orang tua menganjurkan anak untuk terlibat dan aktif dalam komunitas, baik di sekolah maupun masyarakat. Jangan habis waktu memuja khayalan. “Kalau terus menerus, dunia sosial mereka yang nyata jadi rusak. Ini yang membahayakan masa depan komunitas. sebutnya.

Baca laporan khusus terkait: Fenomena Vtuber, Adu Persona Karakter Animasi Lewat Konten Youtube (1)

Psikolog Anak dan Keluarga Samanta Elsener menilai dampak psikologis yang timbul antara VTuber dan para fansnya bersifat individual. Selama pembuat konten dan penonton dapat membedakan mana realitas dan imajinasi, artinya mereka dapat menjaga level kesadaran diri.

Soal risiko menjadi antisosial atau gangguan psikologis lainnya, menurut Samanta tidak bisa hanya karena satu alasan tunggal, dibutuhkan beberapa penyebab lain yang menyertainya. “Mengaju pada spesifik antisosial ini merupakan akibat dari pengasuhan dan peran lingkungan yang besar yang akhirnya membentuk karakter atau kepribadian seseorang,” imbuhnya.

Saat ini banyak konten dari VTuber yang berkaitan dengan edukasi atau informasi bermanfaat. Dengan tampilan karakter virtual, proses edukasi dan penyampaian informasi tersebut lebih tersampaikan karena menarik untuk ditonton.

Kendati demikian, tidak sedikit pula konten yang kurang baik untuk ditonton anak-anak. Oleh karenanya, orang tua perlu melihat secara utuh konten yang disajikan dan bagaimana penyajiannya agar sesuai dengan kebutuhan anak.

“Informasikan bahaya-bahaya yang ada di dalam sosial media, seperti grooming, harassment, cyberbully, dan bagaimana yang harus dilakukan anak saat itu terjadi,” saran Samanta. 

Selain itu, memang tetap perlu batasan dalam menggunakan media sosial agar tidak kecanduan, asyik dengan dunia maya. Anak maupun remaja butuh lebih banyak berdiskusi dan bersosialisasi secara langsung. 

“Dampak psikologis dari kecanduan media sosial itu kecemasan, gangguan tidur, keterampilan sosial di kehidupan nyata terganggu, mood swing atau emosi tidak stabil, hingga sulit konsentrasi,” tambahnya.

Baca juga: Fanatisme Idola K-Pop dan Kegaduhan Fan War di Ruang Maya

Di sisi lain, dia menyarankan agar orang tua selalu bantu anak maupun remaja untuk merasa nyaman dengan dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Komunikasi yang lancar antara anak dan orang tua dapat mengurangi risiko gangguan psikologis berat yang dikhawatirkan.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Pecah! Ardhito Pramono Sihir Penonton dengan 9 Hits di Soundsfest 2022

BERIKUTNYA

Trio Legendaris Batak Menyihir Generasi Z di Soundsfest 2022

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: